Fenomena Gayus

16.39 / Diposting oleh Drs. Achmad Chambali Hasjim, SH /

FENOMENA GAYUS - SUSNO
Oleh : Ach. Chambali. Hasjim.

Memasuki tahun 2010 ini, sampai pada bulan keempat, yang menjadi bintang pembicaraan banyak orang adalah Gayus dan Susno Duadji, pemanasannya diawali muncul nama Boediono dan Srimulyani yang terkait dengan “Century Bank Gate” . Yang menjadi titik picu perhatian public (bukan kaget sih, karena sudah banyak orang tahu tapi tak bisa nunjukan) mengenai sosok Gayus yang seorang birokrat (alias PNS) dikementrian strategis karena tugasnya ngumpulin duit Negara ( sekali lagi- duwit negara ) melalui pajak yang ‘cuma’ dengan Golongan III/a dan masih muda usia (baik usia betulan maupun usia kerjanya) sudah mengantongi (eh meng-karung-i) uang milyaran, konon Presiden kita yang puluhan tahun menjadi punggawa Negara saja kekayaannya kalah jauh dari punya Gayus. Hebatkan. !!.


Pak Susno ?, juga hueebat, karena (walau terlambat, tetapi masih lebih baik kok dari pada nggak) dengan keberanian berjibaku, membongkar aib wilayah domestiknya (kepolisian) yang selama ini (mungkin) menggelisahkan nuraninya. Jujur saja, penulis angkat jempol atas keberaniannya dalam kontek sekarang ini, yaitu membongkar ‘mak-kas’ alias makelar kasus ( tak pakai singkatan ini saja, takut ada yang punya nama mirip singkatan makelar kasus). Walau apa yang diungkap sebenarnya bukan hal baru (dari bisik-bisik banyak orang), Cuma yang mengejutkan justru karena yang mengungkapkan adalah seorang jenderal bintang tiga (Komjen) Susno Duaji, sehingga implikasinya juga sangat hebat ( kalau gempa gitu kira-kira berkekuatan 7,5 sekala richter kali ), sehingga mengguncang bintang-bintang yang bertaburan dilangit yang tadinya cerah menjadi mendung (hikmahnya setiap mendung itu pertanda hujan, dan hujan adalah simbul kesuburan dan kesejukan, karenanya ini pertanda baik untuk nantinya, Semoga !!).

Fenomena Susno menunjukan gejala positif dalam pemberantasan korupsi di Indonesia, selama ini kita pesimis para elite mau mengungkap kebrobrokan birokrasi, karena ada anggapan mereka dalam lingkungan system yang kuat dan cenderung dalam arus yang kuat itu. Tetapi Susno mencoba membubarkan asumsi itu. Dukungan kepada Pak Susno kita tempatkan pada ruang dan waktu secara proporsional, persoalan nanti beliau, secara hukum terseret gelombang tsunami yang ia ciptakan, ya kita tempatkan pada posisi yang semestinya. Karena kita telah sepakat bahwa “ Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya “ kata UUD 1945 kita di pasal 27 ayat (1), sekedar mengingatkan biar tidak lupa, karena sekarang banyak orang kena serangan penyakit lupa.

Siapapun yang mau ‘berjibaku’ (masih dengan istilah berjibaku, karena butuh keberanian ekstra, walau sebenarnya nahi munkar itu wajib hukumnya, apalagi ada perintah : qulil haq walau kaana murro atau katakanlah kebenaran itu, walau pahit !! ) terutama para birokrat yang ingin membuka ketidakberesan diwilayah domestiknya (tempat tugasnya), perlu ada jaminan bahwa dia tidak ditembak dulu dengan peluru “ pencemaran nama baik, perbuatan tidak menyenangkan, melanggar kode etik, atau pasal-pasal karet (haatzai artikelen) lainnya “, tetapi apa yang diungkapkan itulah menjadi prioritas penanganan, soal merembet kepada yang bersangkutan, lain persoalan, karena persoalan hukum harusnya tidak mengenal bulu ( pokoknya bulu apa saja).

Pemberantasan korupsi memang harus dilakukan bersama-sama masyarakat, kendalanya dalam UU Nonor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, “ setiap orang yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara ….…….. bisa dipidana penjara 1 s/d 5 tahun dan atau pidana denda dari lima puluh juta rupiah s/d dua ratus lima puluh juta rupiah. ( Pasal 5 ayat 1 huruf a dan b ). Padahal sering konteknya, ketidak berdayaan public, maka terpaksa harus membayar sesuai permintaannya (syukur kalau masih bisa nego), kalau tidak urusan kita nggak bakalan kelar. Apalagi untuk pelayanan-pelayanan yang sifatnya monopoli, sehingga public tidak bisa “exit mecanishm”. Memang ini bisa diadukan berdasarkan Pasal 12 huru e,f,g (Pemerasan) UU tersebut, tetapi bukti materiil tidak ada, makanya kasus pemerasan seperti pada pasal 12 e,f,g ini sulit dibuktikan. Masyarakat sebenarnya sudah lama mendambakan pelayanan public yang bersih, cepat dan murah. Itu semua masih dalam mimpi.

Karena itu, seperti kata Susno, apa yang terjadi sekarang ini dijadikan momentum untuk melakukan akselarasi pemberantasan korupsi. Pertanyaannya apakah ada susno-susno lain di wilayah tugas badan-badan public lainnya. Itu masalahnya, karena untuk melakukannya butuh keberanian ekstra, (terutama diharapkan dari kalangan elitisnya, seperti yang dilakukan Susno agar gemanya berdampak). untuk berjibaku melawan dominasi dan kemapanan dari kelompok yang memegang jargon “crime does pay”, yang seharus dalam jargon kriminologi ditulis “crime does NOT pay”. Yang maksudnya, kejahatan TIDAK akan membawa keuntungan. Tetapi anehnya, selama ini, jargon “ crime does pay” ( kejahatan itu membawa keuntungan ) masih merajalela.

Fenomena Gayus ini memiliki dua dimensi, ibarat pisau ia telah “merobek” (dalam arti merusak kepercayaan public) dan “merobek” (dalam arti membuat terbuka sehingga ada lubang untuk mengetahui kebobrokan yang ada didalamnya ). Kalau selama ini kita “tahu” dalam arti tidak secara sesungguhnya, maka kini dengan meminjam istilahnya Pak SBY terlihat “terang benderang”. Apa sesungguhnya yang selama ini lamat-lamat dan tidak merdu sudah kita dengar, kini terbukti.

Menelusuri jejak korupsi pegawai negeri /penyelenggara Negara, sebenarnya tidaklah sulit kalau kita menggunakan system “ pembuktian terbalik “. Karena sebagai kelompok masyarakat dengan penghasilan tetap ( yaitu gaji bulanan ), yang ditetapkan dengan peraturan penggajian dan tunjangan lainnya yang resmi dikeluarkan oleh satuan kerjanya, mudah dilakukan anlisis penghitungan. ( ada yang nyeletuk ) Lho kan dia juga pengusaha, jawabannya, -- lho kan bisa diaudit, pengusaha kan banyak sebagai pembanding. Alasan apapun boleh, tetapi dengan system “pembuktian terbalik” kiranya sulit untuk tidak diketahui. ( Yang perlu diiingat, dinegeri ini siapapun boleh kaya, cuma cara menjadi kaya, yang harus dijalan yang benar, karena katanya, besuk saat dihisab diakherat, yang lain satu pertanyaan, tetapi untuk masalah harta ada dua pertanyaan, yaitu, bagaiamana cara memperolehnya dan kemana dibelanjakannya).

Gayus, sebagai pegawai dilingkungan Kementrian Keuangan, lebih khusus lagi di Ditjen Pajak yang lulusan STAN tahun 2000 ini, sebenarnya sudah merupakan keberuntungan tersendiri yang patut disyukuri, bila ia mau menengok sesama ‘abdi negara’ ditempat lain, Mungkin mereka dengar tentang “renumerasi” saja karena munculnya “ontran-ontran gayus” yang diartikan “PNS dengan bayaran gede bangeeet !!”, karena PNS ditempat lain, dengan golongan sama, jabatan sama, paling gajinya cuma seperlima dari Gayus). Inilah menjadi bukti bahwa, apa yang telah diperingkatkan Allah SWT [Q.S. Ibrahim (14):7] "Jika kamu bersyukur pasti akan aku tambah (nikmat-Ku) untukmu dan jika kamu kufur (nikmat) maka sesungguhnya siksa-Ku amat pedih". Dan dalam Q.S. Al-Luqman (31):24 Allah SWT mengingatkan : “Kami (Allah) biarkan mereka bersenang-senang sebentar, kemudian Kami paksa mereka (masuk) ke dalam siksa yang keras” Allah Maha Benar dengan segala firman-Nya !!

Kenikmatan dan kesenangan harta yang didapat dengan jalan tidak khalal, kenikmatannya memang sesaat, namun kesengsaraannya berkepanjangan, banyak bukti empiris yang kita saksikan. Tetapi hal ini belum juga menjadi pelajaran bagi kita, memang kejahatan dan kebaikan selalu berjalan beriringan, tergantung kita berteman dengan yang mana, dan itu adalah pilihan.

Dalam perjalanan bangsa ini, ada big question dalam diri penulis, kenapa ini terus terjadi, padahal orde juga terus berganti. Janji juga terus diperbaiki, Anti KKN sudah menjadi icon Reformasi. Regulasi sudah banyak diproduksi, norma moral dan norma social juga terus mengawal. Apa ada yang salah ? Pegawai negeri atau penyelenggara Negara dengan sebutan “abdi Negara “ justru kok menjadi abdi nafsu memperkaya diri. Pengawasan eksternal dari diri kita memang tidak cukup, pengawasan internal oleh nurani itu yang lebih ampuh, tetapi justru disini permasalahan, nurani sudah mati, kalbu sudah muntaqoliba.


Mungkin, semua ini ada yang salah dalam meletakkan orientasi kita dalam membangun negeri ini. selama ini pembangunan kita selalu berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, sehingga pertumbuhan moral dan kebutuhan rohani menjadi terlewatkan. Kita selalu bangga dengan pertumbuhan ekonomi yang menjacapai target sekian persen secara angka-angka dan itu hanya dirasakan oleh segelintir orang, tidak berdampak pada masyarakat luas sampai dilapis bawah, pembangunan partisipatif yang seharusnya melibatkan masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan dan yang lebih penting dalam penikmatan hasil pembangunan tidak terealisir.

Dampak dari berorientasi pada pertumbuhan ekonomi ( kehartaan ) akibatnya ada pergeseran nilai dan cara pandang masyarakat terhadap suksesnya seseorang. Orang sukses adalah orang yang secara ekonomi mendadak meningkat secara fantastic, penghormatan dan pengahargaan terhadapnya juga terus meningkat, dan menempatkan dirinya dalam komunitas elitis ekonomi dan eklusif, memisahkan diri dari lingkungan masyarakat sekelilingnya. Yang mengiringi nilai-inilai materialistis ini adalah hilangnya budaya malu, berkembangnya budaya korup yang dipicu oleh pemikiran yang instan Ini sudah satu paket.


Stereotipe orang sukses yang dilihat dari aspek status ekonomi, sudah merambah hampir sebagian besar masyarakat, lihat saja untuk mendapatkan peluang itu, berani merogoh kocek yang tidak kecil karena yang ada dalam pikirannya ini merupakan investasi, diharapkan nanti akan dapat kembalian yang lebih besar, Para orang tua juga tanpa sadar telah menciptakan kondisi seperti ini, kebanggaan orang tua adalah kalau anaknya menjadi kaya, dan tidak pernah ditanyakan bagaimana bisa jadi kaya ( banyak orang tua kalau ketemu anaknya yang ditanyakan pertama kesehatannya, kedua sudah punya apa, hampir tidak pernah tanya mengenai bagaimana ibadahnya atau sholatnya apakah masih lengkap lima waktu ?)

Boleh jadi, akhirnya aku percaya omongan banyak orang, kalau masuk pegawai atau pejabat harus bayar, ya setelah didalam situ ya harus cari kembalian (agar BEP), kemudia tinggal cari untung saja. Ini sebenarnya tidak bisa dipercaya seratus persen, karena kata para pejabat, tidak ada itu, masuk PNS membayar !!!. ( ah embuh ah ).

Kata kuncinya, kembali lagi pada pertanyaan, masih adakah rasa malu yang selalu kita bawa kemanapun ?. masih adakah bisikan nurani yang melarang untuk tidak mengambil yang bukan hak kita ? masih adakah kepercayaan terhadap proses dalam mendapatkan sesuatu ? Disamping itu, harus diciptakan situasi yang membuat seseorang enggan melakukan perbuatan menyimpang ? Karena sistem social yang baik akan membuat bahkan memaksa orang berbuat baik. Situasi yang kondusif adalah suatu aturan yang memberi jaminan kenyamanan bagi orang jujur melaksanakan tugasnya, bukan sebaliknya. Kalau peraturan yang berkaitan dengan itu, jangan tanya model aturan apa saja ada, cuma sayang kita seneng bikin aturan, tapi lupa kalau ada aturan yang pernah dibuatnya.

Kata kunci berikutnya, hilangkan budaya “pendendam” dalan mengurus pemerintahan ini, karena setiap pergantian orde selalu, menumpahkan kesalahan pada orde sebelumnya. Apakah kita akan terus mewariskan budaya “kamu” (artinya yang ngomong tidak ikut) kenapa bukan “kita”. (yang didalamnya ada kamu dan aku), Artinya semua mengambil bagian untuk bertanggung jawab terhadap kemaslahatan umat. Bukankah sikap yang selalu menuding yang jelek adalah yang kemarin saat “kamu”, bukan “Aku” sudah waktunya dibuang jauh-jauh. Pada Orde Baru semua kesalahan tertumpah pada Orde Lama, kini pada orde Reformasi tertumpah pada Orde Baru, lantas apa masih perlu ada orde lagi dengan mengorbankan rakyat. Aduh mak pusing aku !!

Kita sadar, bahwa setiap perubahan orde tidak secara otomatis terjadi perubahan perilaku didalamnya, tetapi niat bersama dalam perjuangan membangun orde yang diinginkan, apakah tidak menjadi mutivasi untuk berubah sesuai dengan janji yang diusungnya ?. Ada ungkapan bijak untuk ini yang patut direnungkan bersama “ Pengalaman kang pahit kuwi lir pindhane guru sejathi kang becik dewe, dene ana klerune panindak anggepen kaya kaca brenggala, aja malah pepes, sing wis mungkur ayo padha disingkur, ning dipethani endi sing dari pitutur “ (Jw ). Maksudnya bahwa pengalaman yang pahit itu bagaikan guru yang sesungguhnya dan yang paling baik, apabila ada yang salah anggap seperti kaca cermin (yang dapat untuk mengaca dihari berikutnya), jangan putus asa. Yang sudah mari kita lupakan, tetapi tetap kita ambil yang bagus-bagus untuk menjadi referensi dimasa datang. [ filosofi cermin itu adalah simbul kejujuran, karena cermin (datar) itu akan memberikan respon apa adanya ].

Sebagai penutup ngudoroso ini, marilah kita renungkan, kenapa akhir-akhir ini kita sering mendengar banyak musibah, banjir, gempa, kerusuhan, kecelakaan, kelaparan dan lain, yang penulis rasa ini adalah peringatan Allah SWT seperti dalam firman-Nya : “ Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezkinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat “[Q.S An-Nahl (16):112]. Allah Maha benar dengan segala firmannya.

Saudaraku, kalau sampai adzab dari Allah SWT seperti yang difirmankan itu, karena kita kufur nikmat, yaitu pakaian kita (yang selalu melekat pada tubuh kita ) adalah kelaparan dan ketakutan tak bisa dibayangkan bagaimana kehidupan masyarakat bangsa ini. Subkhaanallah !!! ***(15042010)





Label:

0 komentar:

Posting Komentar