Wawasan Kebangsaan di Era Informasi

03.06 / Diposting oleh Drs. Achmad Chambali Hasjim, SH /

WAWASAN KEBANGSAAN
DITENGAH BADAI INFORMASI
Oleh : Achmad Chambali Hasjim.


PENGANTAR.
Perkembangan yang pesat dibidang information technology (IT) telah mendorong percepatan arus globalisasi di hampir semua aspek kehidupan. Negara-negara didunia sudah tidak mengenal batas secara defakto, hanya tinggal batas dejure saja, karena melalui dunia maya warga masyarakat dunia menjelajahi Negara-negara didunia ini. Globalisasi yang didorong oleh derasnya arus informasi dan difasilitasi oleh kemajuan teknologi informasi dan komunikasi (ICT) berdampak para perilaku manusia-manusia dunia.

Globalisasi bagi suatu Negara disatu sisi adalah peluang untuk go international, karena semakin terbukanya pasar internasional dengan aroma liberalisasi pasar terutama bagi produk barang dan jasa yang mempunyai nilai komparatif dan keunggulan kompetitif, terutama dengan dimulainya pasar bebas Asia dan China mulai tahun 2010 ini. Namun disisi lain, bisa menjadi ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan terhadap nilai, norma, dan kultur bangsa.

DAMPAK INFORMASI BAGI PERILAKU SOSIAL.
Pesatnya laju perkembangan ICT pada dewasa ini, telah menjadikan dunia terang benderang, transparan dan terasa kasat mata. Berbagai peristiwa dibelahan bumi mana secara bersamaan dapat dilihat dibelahan bumi lainnya. Begitu cepat dan serentak sehingga jarak, ruang dan waktu menjadi lenyap.

Tampilnya media massa sebagai “ medium of message” menjadikan informasi dan berita sebagai konsumsi utama masyarakat dan merangsang untuk merefleksikan secara kritis. Media massa berfungsi mentransformasikan berita tidak hanya sekedar fakta, tetapi lebih berwujud sebagai “ the free marked of ideas” seperti yang disinyalir oleh John Stuart Mills.

Kemajuan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK/ICT) disamping memberikan kemudahan bagi fleksibilitas kehidupan manusia, juga membawa serta sejumlah masalah. Informasi menciptakan kemajemukan baru yang semakin kompleks tetapi semakin sensitive. Kemajemukan juga membawa serta dampak yang positif dan negative. Perubahan-perubahan besar dibidang politik, ekonomi dan social budaya menjadi realitas yang menghadirkan diterima dan disikapi secara proaktif, bukan secara reaktif. Setiap informasi membentuk pola tingkah laku social dan bergulir dari waktu ke waktu.

Arus informasi yang begitu deras menerpa, berpeluang menawarkan nilai-nilai baru secara beruntun tanpa henti terhadap masyarakat yang strata sosialnya secara ekonomi, pendidikan, budaya masih dibawah standar, telah membangun keprihatinan baru terhadap perilaku social yang bersifat destruktif.

Kondisi empiris telah mengungkapkan bahwa berbagai gejolak yang cenderung anarkhis saat ini, mengambil bentuk yang serupa dan terpola. Isu sentral yang secara universal menjadi permasalahan berbagai Negara dibelahan dunia seperti demokratisasi, hak-hak azasi, transparansi, hapus korupsi menjadi begitu signifikan utnuk diungkapkan dalam konteks kesenjangan social, penuntutan hak-hak politik, ekonomi dan social budaya yang berwujud melahirkan fragmentasi social dan eklusifisme.

Dinamika transparansi, demokratisasi dan hak-hak azasi senantiasa menuntut tanggung jawab dan kedewasaan dan kesalehan social. Demokrasi, transparansi dan hak azasi sebuah ide kemanusiaan yang memberi peluang bagi perlakuan manusia secara personal sesuai dengan harkat dan martabatnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun pada tataran kolektif, manusia sebagai makhluk social diikat oleh berbagai format cultural, etika dan moral kemanusiaan berdasar ruang dan waktu. Oleh karena itu setiap perilaku social harus mencerminkan keterikatan individu/personal dalam tatanan masyarakat bersangkutan.

Demokrasi, transparansi dan hak-hak azasi tidak harus menjadi kondisional baru yang hanya didengung-dengungkan dalam arena pertarungan politik, atau menjadi isu pada orasi-orasi dikancah demontrasi yang dihiasi spanduk dan ban-ban bekas yang dilalap kobaran api. Demonkrasi, transparansi dan hak-hak azasi seharusnya diramu dan diracik secara apik dalam bungkus hak dan kewajiban secara proporsional, sehingga perilaku social tidak hanya mengabdi pada kebebasan, tetapi kebebasan menjadi medium menuju dinamika kolektif yang bermakna manusiawi.

PERUBAHAN SOSIAL DI ERA INFORMASI.
Pembangunan bangsa dilaksanakan dengan maksud untuk mewujudkan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang semakin baik dan maju. Ini artinya pembangunan adalah gerak perubahan menuju kemajuan dan kesejahteraan. Perubahan kearah kemajuan (progress) dari pembangunan juga termasuk perubahan social, berubah seiring dengan kemajuan jalan. Karena hakekat semua akan berubah kecuali perubahan itu sendiri.

Perubahan social dari factor internal yang manifest antara lain seperti inovasi-inovasi baru yang ditopang oleh kemajuan teknologi tinggi ( hi-tech) dan Information Communication Technology (ICT) telah mampu menggeser nilai dan tatanan social yang ada. Dari budaya dan norma mekanik yang tradisional ( sabar dan telaten ), manual dan birokratik beralih kepada budaya elektronik, dari analog ke digital.

Dalam sejarah peradaban manusia, sarana bantu kehidupan manusia akan mempengaruhi social budayanya. Demikian juga kehidupan pada era mekanik yang tradisonal dengan sarana bantu manual dan analog ini, melahirkan budaya yang manual juga. Sebaliknya sarana bantu elektronik dengan sarana bantu yang elektronikb dan digital akan melahirkan sikap dan budaya yang serba cepat, praktis, dinamis, tepat, berkualitas, professional dan biaya tinggi (nilai ikutannya adalah budaya instan).

Dalam kontek interaksi antar negara, pada era mekanik ‘perang’ yang terjadi adalah perang secara konvensional dengan penghancuran negara secara fisik dengan senapan dan mesiu. Sedang pada era elektronik bahkan diera digital sekarang ini, perang dan penjajahan yang terjadi adalah perang informasi dan penjajahan informasi. Sasaran tembaknya adalah sikap mental, nilai, norma dan ideology bangsa. Dalam ‘perang’ informasi, peran media benar-benar tidak sekedar “ medium of message” tetapi lebih pada “ free marked of ideas”

Kedahsyatan dari ‘perang’ informasi ini diawal arus globalisasi mulai menggelinding, telah mampu merobohkan tembok Berlin yang memisahkan Jerman Timur dan Jerman Barat, serta memporak-poranda kekuatan penyeimbang Amerika waktu itu, yaitu Uni Sovyet dengan isu sentralnya Glasshnoth dan Phaeresthroika, juga beberapa Negara di Eropa Timur lainnya yang menurut tukang ramal (futuristic) John Naisbitt dalam Bukunya Global Paradox banyak Negara besar nantinya akan kena musibah perpecahan ( Indonesia sebagai Negara kepulauan, kalau kita tidak waspada, memiliki potensi untuk itu )

Apalagi bila melihat bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang plural seperti beragamnya suku, budaya daerah, agama, dan berbagai aspek politik lainnya, serta kondisi geografis negara kepulauan yang tersebar. Semua ini mengandung potensi konflik (latent sosial conflict) yang dapat merugikan dan mengganggu persatuan dan kesatuan bangsa.

Dewasa ini, dampak krisis multi-dimensional ini telah memperlihatkan tanda-tanda awal munculnya krisis kepercayaan diri (self-confidence) dan rasa hormat diri (self-esteem) sebagai bangsa. Krisis kepercayaan sebagai bangsa dapat berupa keraguan terhadap kemampuan diri sebagai bangsa untuk mengatasi persoalan-persoalan mendasar yang terus-menerus datang, seolah-olah tidak ada habis-habisnya mendera Indonesia. Aspirasi politik untuk merdeka di berbagai daerah, misalnya, adalah salah satu manifestasi wujud krisis kepercayaan diri sebagai satu bangsa, satu “nation”.

ANTISIPASI PADA PERUBAHAN.
Perubahan-perubahan yang sangat cepat akibat badai informasi di tatanan global ini, sudah tidak mungkin dihindari oleh Negara-negara penghuni dunia ini. Bagi Negara-negara yang masih ruwet dengan internal dalam negrinya yang tidak tersedia waktu untuk mempersiapkan diri dari arus perubahan, maka ia akan ketinggalan tanpa ada kesempatan mengejarnya. Bangsa-bangsa yang demikian itu, akan menjadi penonton kemajuan dan menjadi peristirahatan terakhir dari teknologi kedaluwarsa. Kondisi semacam ini, dengan adanya perubahan arus global dari geo-politik kepada geo-ekonomi setelah usai perang dingin, Negara yang lemah secara ekonomi akan termarginalkan dalam arus utama (main-stream) dunia.

Dilain pihak kekuatan arus informasi global akan menyentuh seluruh sendi-sendi kehidupan masyarakat bangsa dan Negara. Dalam keadaan seperti ini, bagi bangsa yang perekat kebangsaannya sangat rapuh akan mudah tercerai beraikan. Informasi tidak saja meningkatkan kecerdasan dan kualitas hidup suatu bangsa, tetapi informasi juga dapat menjadi senjata yang ampuh untuk merontokan sendi-sendi kehidupan berbangsa. Kita mengenal banyak bentuk dan ragam perekat kebangsaan , namun yang terpenting adalah pandangan hidup dan falsafah bangsa serta wawasan kebangsaan yang melandasi sikap batin, pola pikir dan perilaku kehidupan dari suatu masyarakat bangsa.

Menyikapi arus perubahan tersebut, yang bisa dilakukan adalah mengembang sikap antisipatif dan proaktif bukan reaktif, artinya meletakkan pandangan dan perhatian ke masa depan dengan memperhatikan apa yang sudah berlalu sebagai referensinya. “ Pengalaman kang pahit kuwi lir pindhane guru sejati kang becik dewe, dene ono kleruning panindak anggepen koyo koco brenggolo, ojo pepes. Sing wis mungkur ayo podho di singkur, ning dipethani endhi sing biso dadhi petutur “ (Jw. : pengalaman yang pahit itu sebetulnya merupakan guru yang paling baik, jika ada salah dalam bertindak, jadikan cermin untuk kemudian hari, jangan putus asa. Yang sudah ya sudah, namun mari kita timang-timang mana yang dapat jadikan nasehat)

Bangsa Indonesia yang tingkat heterogenitasnya cukup tinggi, didalamnya terpendam kerawanan yang sangat hakiki dalam arti dapat menumbuhkan “gaya centrifugal” yang tidak boleh begitu saja diabaikan. Karena itu upaya untuk mencegah merebaknya kerawanan social yang berbuntut perpecahan bangsa, perlu terus dilakukan untuk memperkokok perekat kebangsaan, meningkatkan kualitas wawasan kebangsaan.

REFLEKSI WAWASAN KEBANGSAAN.
Wawasan sering dimaknai dengan konsepsi dan cara pandang seseorang terhadap apa yang ketahui tentang satu hal. Kaitannya dengan negara, wawasan kebangsaan bermakna cara pandang seseorang sebagai warga negara terhadap identitas diri bangsa yang melekat pada dirinya. Secara tidak langsung, wawasan kebangsaan menekankan adanya pengetahuan mendalam tentang identitas nasional untuk menjelaskan ciri-ciri, tanda-tanda atau jati diri yang melekat dengan dirinya yang diikat oleh kesamaan fisik (seperti budaya, agama, dan bahasa) atau non-fisik (seperti keinginan, cita-cita dan tujuan).

Mengadopsi pemikiran Talcott Parsons mengenai teori sistem, wawasan kebangsaan dapat dipandang sebagai suatu falsafah hidup yang berada pada tataran sub-sistem budaya Dalam tataran ini wawasan kebangsaan dipandang sebagai ‘way of life’ atau merupakan kerangka pengetahuan yang mendorong terwujudnya tingkah laku dan digunakan sebagai acuan bagi seseorang untuk menghadapi dan menginterpretasi lingkungannya. Jelaslah, bahwa wawasan kebangsaan tumbuh sesuai pengalaman yang dialami oleh seseorang, dan pengalaman merupakan akumulasi dari proses tataran sistem lainnya, yakni sub-sistem sosial, sub-sistem ekonomi, dan sub-sistem politik.

Meningkatkan kualitas wawasan kebangsaan yang dilakukan terus menerus dimaksudkan untuk mengantisipasi modernisasi dan globalisasi serta arus perubahan yang cepat melanda seluruh negri di belahan bumi. Seharusnya apapun perubahan itu, Bangsa Indonesia hendaknya tetap dalam format Ke-Indonesia-an.

Kualitas wawasan kebangsaan, ditentukan oleh tiga elemen, yaitu Rasa Kebangsaan, Paham Kebangsaan dan Semangat Kebangsaan. Ketiga elemen ini seharusnya terus menjadi rujukan dan tameng bagi setiap individu bangsa Indonesia dalam menghadapi perubahan jaman. Terlebih para pengelola negera ini, tiga elemen Wawasan Kebangsaan ini seharus menjadi benteng dalam setiap menjalankan amanah yang diberikan rakyat, dan ter-refleksi pada setiap langkah kebijakannya.

Rasa Kebangsaan, tidak hanya merefleksikan bahwa seseorang adalah bagian dari masyarakat bangsanya, tetapi sekaligus mengandung unsure loyalitas untuk menjaga integritas dan identitas masyarakat bangsanya. Rasa kebangsaan memancarkan secara nyata didalam perilaku serta jati diri bangsa, dan mampu menjaganya dari arus modernisasi dan perubahan serta kemajuan teknologi. Artinya, bahwa kemajuan itu terus diupayakan tetapi tetap dalam bingkai budaya bangsa. Dalam perspektif yang demikian itu, akan menetralisir kecenderungan primordialisme yang sangat merugikan persatuan dan kesatuan bangsa. Para stakeholder Negara, dapat mengambil peran yang proporsional untuk mendorong arus demokratisasi, transparansi, dan menjunjung hak azasi, yang dibingkai dengan budaya nasional kita.

Rasa kebangsanaan adalah kesadaran berbangsa, yakni rasa yang lahir secara alamiah karena adanya kebersamaan sosial yang tumbuh dari kebudayaan, sejarah, dan aspirasi perjuangan masa lampau, serta kebersamaan dalam menghadapi tantangan sejarah masa kini. Dinamisasi rasa kebangsaan ini dalam mencapai cita-cita bangsa berkembang menjadi wawasan kebangsaan, yakni pikiran-pikiran yang bersifat nasional dimana suatu bangsa memiliki cita-cita kehidupan dan tujuan nasional yang jelas. Berdasarkan rasa dan paham kebangsaan itu, timbul paham kebangsaan dan semangat kebangsaan atau semangat patriotisme.

Paham Kebangsaan, pada gilirannya merupakan satu dorongan dan sekaligus tuntutan di dalam mentransformasikan rasa kebangsaan menjadi pagar-pagarnya kemajuan maupun pergeseran social karena arus modernisasi dan perubahan global. Secara normative, pahan kebangsaan berwujud sebagai Wawasan Nusantara yang mengamanatkan kesatuan politik, ekonomi, social-budaya dan hankam.

Semangat Kebangsaan, derajat semangat kebangsaan sangat ditentukan oleh derajat rasa kebangsaan dan paham kebangsaan, karena tinggi rendahnya derajat semangat kebangsaan diwarnai oleh seberapa jauh pemahaman dan penghayatan serta pengamalan dari rasa kebangsaan dan paham kebangsaan. Semangat kebangsaan yang lebih dikenal dengan ‘nasionalisme’ yang secara wantah diungkapkan oleh Disraeli dengan ungkapan “ wright or wrong my country “.

Semangat kebangsaan pada dimensi social, ekonomi dan politik, maka wujud nyatanya akan berupa semangat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, bukan kesejahteraan segelintir orang. Karena semangat kebangsaan pada dimensi ini, pada hakekatnya merupakan semangat batin yang mengandung misi untuk mewujudkan cita-cita proklamasi kemerdekaan Indonesia, yaitu terwujudnya keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.

Suasana batin yang warnai oleh semangat kebangsaan akan selalu berupaya untuk memenuhi hak-hak rakyat, apapun profesinya, seperti hak memperoleh pendidikan, hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan, hak untuk hidup yang layak, hak untuk menyuarakan pendapatnya, hak perlindungan dan perlakuan hukum yang sama, dan lain-lainnya yang saat ini masih menjadi barang yang teramat mahal dinegeri ini.

Nasionalisme atau Semangat Kebangsaan mengemban misi untuk mewujudkan social, itu berarti terus menghapus adanya kemiskinan, kebodohan, ketertinggalan dan ketidak adilan. Karena ancaman terhadap kehidupan kebangsaan yang akan kita hadapi di era kini dan kedepan bersumber dari ketimpangan-ketimpangan social-ekonomi dan politik, dan merupakan sumber konflik yang potensial, disamping ras, agama dan golongan.

Elit Negara yang memiliki akses distributive kesejahteraan social hendaknya mengimplementasikan secara nyata semangat kebangsaan ini sesuai dengan kebutuhan kekinian. Kepekaan social terus diasah dalam melihat realitas adanya kesenjangan social yang ada. Sekarang yang ada masih sebaliknya, program ‘pengentasan kemiskinan’ justru yang tampak adalah ‘pementasan kemiskinan’. Kesenjangan social lebih perjelas dengan membentuk klaster-klaster eklusifisme elitis, dll.

PANCASILA DAN WAWASAN KEBANGSAAN.
Ditengah hiruk pikuk era reformasi yang mengusung isu demokratisasi, transparansi dan hak-hak azasi justru sumber dari isu-isu tersebut melemah gaungnya, Yaitu Pancasila. Pancasila sebagai landasan wawasan kebangsaan, tidak menerima praktek-praktek yang mengarah pada dominasi dan diskriminasi social, baik karena alas an perbedaan suku, agama, ras maupun golongan. Sebab Sila Ketuhanan Yang Maha Esa mengajarkan kepada kita bahwa kita sederajat dihadapan Sang Khaliq.

Wawasan kebangsaan menentang segala bentuk penindasan oleh satu bangsa terhadap bangsa lain, oleh satu golongan terhadap golongan yang lain, penindasan oleh manusia terhadap manusia yang lainnya. Sebab sila Kemanusiaan yang adil dan beradab mengajarkan kepada Bangsa Indonesia untuk menghormati harkat dan martabat manusia, untuk menjamin hak-hak azasi manusia.

Wawasan kebangsaan menentang segala bentuk sparatisme, baik atas dasar suku, agama, ras dan golongan. Sebab sila persatuan Indonesia member tempat kepada kemajemukan dan tidak menghilangkan perbedaan, alamiah dan budaya bangsa.

Wawasan kebangsaan menentang segala bentuk kolonialisme dan feodalisme (baik yang klasik maupun neo) serta kediktatoran oleh mayoritas maupun minoritas. Sebab sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmahn kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan mendambakan sebuah Negara yang demokratis yang menjunjung tinggi hak azasi dan supremasi hokum.

Wawasan kebangsaan mencita-citakan perwujudan masyarakat yang makmur dan berkeadilan, dalam suasana kesalehan social dibingkai dalam wadah Negara Kesatuan Republic Indonesia. Karena ini perintah sila Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dalam kontek kekinian, maka peningkatan kualitas wawasan kebangsaan akan mampu menggerakkan semua krida kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan yang pada ujungnya dapat menempatkan Negara dan bangsa Indonesia di dalam ‘main stream dunia’. Selain itu Wawasan kebangsaan inilah yang sanggup menarik benang merah kebangsaan di sepanjang episode perubahan dan kemajuan masyarakat.*(11/05/2010)*

Diposting : Ach. Chambali. Hs.















Label:

0 komentar:

Posting Komentar