Ibu Peluklah Aku

23.49 / Diposting oleh Drs. Achmad Chambali Hasjim, SH / komentar (0)

IBU AKU RINDU PELUKAN HANGATMU
Oleh : Drs. Ach. Chambali Hasjim. SH

Rabu, tanggal 22 Desember 2010, Bangsa Indonesia, memperingati Hari Ibu yang ke 82, tanggal tersebut diambil dari momentum terselenggaranya “KONGGRES PEREMPUAN INDOENSIA“ pada tanggal 22-25 Desember 1928 di Joyodipuran Jogjakarta, yang diprakarsai oleh perkumpulan-perkumpulan wanita seperti : WANITA UTOMO ; WANITA TAMAN SISWO ; PUTERI INDONESIA ; AISYIAH ; JONG ISLAMIETEN BON BAGIAN WANITA ; WANITA KATHOLIK dan JONG JAVA BAGIAN WANITA. Sejak tahun 1959 telah ditetapkan oleh Pemerintah sebagai Hari Nasional, yaitu dengan Keputusan Presiden RI Nomor 316/1959 tertanggal 19 Desember 1959. Dengan demikian Hari Ibu ini tidak saja diperingati oleh kaum ibu, tetapi oleh seluruh bangsa Indonesia. Berbeda dengan di Amerika dan Kanada yang merayakan Hari Ibu atau Mother’s Day pada hari Minggu di minggu kedua bulan Mei.

Tradisi peringatan ini untuk membuktikan bahwa kita adalah bangsa yang besar yang tahu akan menghormati jasa para pahlawannya, khususnya para pahlawan pejuang wanita, atau dari kaum ibu. Dalam setiap peringatan, relevansinya terhadap kondisi kekinian adalah bukan meriahnya acara seremonial peringatan, namun bagaimana memaknai dan menarik benang merah dari kepahlawan para pejuang kaum ibu dulu kepada kondisi kekinian yang tidak kalah pula besarnya tantangan yang dihadapi.

Posisi seorang ibu atau pada umumnya kaum wanita, dari aspek sumberdaya manusia Indonesia, memiliki potensi yang cukup besar, karena lebih dari separuh jumlah penduduk Indonesia adalah kaum wanita, yang pada saat nanti akan mengambil peran sebagai seorang ibu. Dari aspek socio-cultural, seperti pada pemahaman agama Islam, seorang ibu ditempatkan posisinya lebih dibanding kaum pria, seperti yang dalam riwayat seorang sahabat yang bertanya kepada Rasulullah SAW, siapa yang patut kita hormati ya Rasullah? Jawab Rasulullah SAW, Ibumu, kemudian siapa lagi, Ibumu, siapa lagi, Ibumu, baru pada pertanyaan yang keempat Rasulullah SAW menjawab, Bapakmu. Maknanya, ibu memiliki posisi yang kuat dalam pembentukan watak anak sebagai generasi bangsa.

Anak, adalah generesi penerus bangsa.
Kata yang sering diucapkan, tetapi lebih banyak dalam retorika, implementasi dari komitmen ini yang paling penting. Ungkapan ini sudah cukup tua, setua sejak lahirnya genersi yang namanya anak. Yang harus dilakukan, bagaimana menyiapkan anak sebagai penerus genarasi ini menjadi anak yang siap memikul tanggung jawab sebagai generasi penerus, bukan anak yang lemah, anak yang banyak menyandang masalah, bahkan menjadi anak yang tidak jelas masa depannya, sehingga bukan tidak mungkin kelak menjadi bangsa ini mengalami “lost generation” (generasi yang hilang), Terancamnya “lost generations” ini karena dipicu oleh kondisi generasi anak bangsa ini pada situasi dan kondisi yang terbelenggu oleh kemiskinan, kebodohan, kurang gizi, kering akan kasih sayang, baik oleh lingkungan keluarganya maupun oleh lingkungan sosialnya. Allah SWT telah memperingatkan seperti dalam firmannya : “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (QS. An Nisaa’ : 9).

Peringatan Allah SWT tersebut jelas, bahwa jangan meninggalkan anak-anak yang lemah, dan untuk kesejahteraan mereka (anak-anak)nya, hendaklah bertaqwa dan berkata yang benar. Kuncinya bertaqwa dan berkata yang benar. Artinya bekerja dan terus berdo’a. serta tidak kalah pentingnya harus terus selalu berkata benar (tidak berkata bohong). Berkata bohong, implikasinya sangat besar bagi kelangsungan hajat hidup manusia.

Potret buram anak-anak generasi bangsa.
Terabaikannya peran “Ibu” (dalam pengertian ibu yang melahirkan anak-anaknya, serta sekaligus yang melahirkan generasi penerus) sebagai pendidi pertama dan utama bagi anak-anaknya, telah banyak melahirkan sisi-sisi kelam dunia anak-anak. Jangan protes dulu, memang bukan kesalahan tunnggal dari seorang ibu semata, juga karena factor lingkungan internal keluarga (ada peran ayah, dan saudara) juga dipengaruhi oleh factor social dan lingkungannya. Namun banyak kondisi empiris yang menyuguhkan fakta bahwa, anak-anak yang “gagal”, terlahir karena kurangnya perhatian ibunya (terlalu sibuk berkerja diluar rumah, bisa karena menjadi orang tua karir, atau karena kemiskinan yang menghimpitnya), sehingga anak kehilangan figure sentral yang menjadi “social modelling” bagi dirinya.

Bisa dibayangkan, ketika anak dalam kesendiriannya secara social maupun secara psikologis, yang hanya ditemani oleh ibu asuh upahan, atau ditemani tayangan televisi, maka proses internasilasi yang ada pada anak tersebut adalah apa yang ia terima dalam kesehariannya. Terintalisasi hubungan pengasuh dengan dia yang tanpa rasa kasih dan nilai-nilai relasinya secara ekonomis antara pengasuh dengan anak (pengasuh sering banyak ngalah terhadap anak asuhnya, sehingga tidak bisa menginternalisasi nilai-nilai baik, seperti penghormatan kepada orang yang lebih tua, tidak berbuat yang buruk, dll), Juga mendapat internasilsasi acara-acara televise yang tidak selalu tepat untuk pertumbuhan psikologi anak. Dan dampaknya sudah cukup banyak seperti yang kita lihat dari pemberitaan media, banyak anak yang liar, terlibat tawuran, narkoba, peminum, dll.

Hal ini karena anak yang pertumbuhan akal pikiran belum sempurna, sejatinya membutuhkan bimbingan dari Ibunya (dan ayahnya) untuk dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, justru ia mendapat referensi untuk pertumbuhannya dari sumber yang salah, seperti dari teman, publik figure, buku, tayangan tv, pemberitaan yang dia sendiri belum memiliki kemampuan untuk melakukan filter terhadap itu semua.

Akibatnya jadilah ia menjadi anak bermasalah, yaitu anak yang prilakunya atau tindakannya tidak diharapkan orangtua atau masyarakat/lingkungan sosialnya dan tindakannya cenderung merugikan dirinya dan orang lain.

Potret buram anak-anak generasi bangsa, semakin memprihatinkan, seperti yang dirilis oleh Kepala BKKBN, Sugiri Syarief, bahwa data yang dimiliki oleh BKKBN menunjukan makin banyak remaja yang telah aktif secara seksual sebelum nikah akibat merebaknya pergaulan bebas dikalangan para remaja. Ditahun 2010, data yang dimiliki BKKBN (Koran Surya, 29/11/2010) menunjukan 54 % remaja perempuan di Surabaya sudah tidak perawan, di medan 52 % dan Bandung mencapai 47 %. Data tersebut juga menunjukan bahwa 51 % perempuan usia belasan tahun diwilayah Jakarta, Bogor, depok, Tangerang dan Bekasi (Jabidetabek) kehilangan kegadisannya. Artinya, dari 100 remaja 51 orang diantaranya sudah tidak perawan. Masih dari data BKKBN tersebut, di Jogjakarta menunjukan 37 % mahasiswa menikah akibat hamil diluar nikah ( married by accident ), dan estimasi jumlah aborsi di Indonesia pertahun mencapai 2,4 juta, dan sebanyak 800.000 terjadi dikalangan remaja). Belum lagi yang terkait dengan AIDS, berdasarkan relis Kemetrian kesehatan pada pertengahan tahun 2010 ini, menyebutkan bahwa jumlah kasus HIV/AIDS di Indonesia mencapai 21.770 kasus AIDS positif dan kasus 47.157 HIV positif. Dari jumlah itu prosentasi pengidap pada usia 20-29 tahun (relative masih muda) sebesar 48,1 %. Sedang pengguna narkoba di Indonesia pada pertengahan tahun 2010 mencapai 3,2 juta jiwa, 75 % nya atau 2,5 juta adalah para remaja.

Jadikan Keluaga Sebagai Basis Pendidikan Anak.
Allah SWT berfiman : ”Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu". (QS. at-Tahriim: 6). Ini menginsyaratkan bahwa ”nahkoda” keluarga memiliki tanggung jawab menyelamatkan biduk keluarga agar dapat mencapai tujuan hidup ini baik yang jangka pendek ”fiddun ya khasanah” lebih-lebih tujuan jangka panjang ”akhirati khasanah” .

Dalam kondisi kebebasan dalam aksesibilitas informasi sekarang ini, fungsi negara dan masyarakat lemah dalam memberi perlindungan terhadap perlindungan anak dari serangan modernitas (dalam tanda kutib) yang diterjemahkan salah oleh banyak anak-anak, maka pilihan benteng akhir adalah kembali kepada ”keluarga”.

Keluarga, yang merupakan suatu institusi tertua, dan sebagai unit terkecil atau sebagai inti dari suatu sistem sosial dalam masyarakat – bangsa. Sebagai sub sistem dari sistem sosial dalam masyarakat, keluarga menjadi variabel penting dalam mewujudkan kesalehan sosial dalam masayarakat. Terbentuknya keluarga yang ”sakinah – mawadah dan warrahmah”, keluarga yang mampu mengayomi dan memberi ketrenteman bagi anggota keluarga didalamnya, akan memberi kontribusi terwujudnya masyarakat yang aman dan tenteran yang pada gilirannya masyarakat yang sejahtera.

Begitu penting peran keluarga ‘khususnya ibu’ dalam membentuk karakter anak sejak dini bahkan sejak ia di dalam kandungan. Keluarga memiliki peran yang besar disamping sekolah dalam memberikan pengetahuan tentang nilai baik dan buruk kepada anak-anaknya. Keluarga pulalah wadah dimana anak dapat menerapkan nilai-nilai yang diajarkan di sekolah, maupun di institusi keagamaan. Mengentaskan anak-anak bermasalah harus dimulai dengan mengembalikan fungsi keluarga sesuai nilai-nilai ajaran moral dan agama.

Mengembalikan fungsi keluarga secara utuh menjadi kebutuhan yang tidak dapat terelakkan dalam memposisikan ”keluarga” sebagai ”madrasatun ’ula” atau ’kampus’ yang pertama bagi anak-anaknya. Fungsi- fungsi tersebut tersebut meliputi :
1. Fungsi Edukasi dan Advokasi.
Keluarga merupakan wahana pendidikan yang pertama dan utama, sebagai wahana pembinaan nilai-nilai dan norma agama dan budaya bagi generasi manusia. Memberikan dukungan afektif, berupa hubungan kehangatan, mengasihi dan dikasihi, mempedulikan dan dipedulikan, memberikan motivasi, saling menghargai, dan lain-lain. Pengembangan pribadi, berupa kemampuan mengendalikan diri baik fikiran maupun emosi; mengenal diri sendiri maupun orang lain; pembentukan kepribadian; melaksanakan peran, fungsi dan tanggung jawab sebagai anggota keluaraga; dan lain-lain.

2. Fungsi Sosial.
Dengan berkeluarga individu-individu didalamnya mendapat status atau pretige tersendiri, yakni menjadi suami atau isteri, dan dari sini keduanya akan mendapat harga diri dan status sosial tersendiri. Keluarga juga untuk menanamkan kesadaran atas kewajiban, hak dan tanggung jawab individu terhadap dirinya dan lingkungan sesuai ketentuan dan norma-norma yang berlaku di masyarakat.

3. Fungsi Religius.
Berkeluarga merupakan sebuah pengalaman hidup beragama, mengingat menikah adalah sebuah sunnah rosul dan didalamnya terdapat aturan-aturan hidup sesuai ketentuan ajaran agama. Keluarga sebagai wahana untuk beribadah dan pengamalan syariat agama.

4. Fungsi Afeksi,
Keluarga untuk membina dan bertumbuh kembangnya kasih sayang yang terwujud dalam hubungan biologis antara suami-isteri. Mengembangkan kasih sayang diatara anggota keluarga yang berdampak rasa untuk saling mengasihi dengan sesamanya.

5. Fungsi Protektif.
Keluarga merupakan tempat berlindung individu-individu didalamnya, baik dari secara fisik maupun psikhisanggota keluarga saling melindunginya.

6. Fungsi Rekreatif,
Suasana keluarga yang harmonis merupakan tempat hiburan yang sehat bagi anggota keluarga, kenyamanan rumah tangga akan memberikan kehangatan, kedamaian, dan kesenangan anggota keluarga ( baiti jannati).

7. Fungsi Ekonomis,
Keluarga adalah unit terkecil dari suatu masyarakat bangsa yang mandiri yang merupakan tumpuan kegiatan perekonomian. Kebutuhan primer dan kebutuhan skunder dari suatu keluarga menjadi tujuan produksi suatu usaha.

8. Fungsi Reproduksi.
Dengan berkeluarga yang diikat oleh suatu perkawinan yang sah baik menurut ketentuan agama maupun ketentuan negara, manusia dapat mengembangkan keturunan sebagai generasi penerus kehidupan dan peradaban manusia.

Pencapaian fungsi-fuingsi keluarga tersebut akan membentuk suatu komunitas yang berkualitas dan menjadi lingkungan yang kondusif bagi pengembangan potensi setiap anggota keluarga, sehingga terwujudlah ketahanan keluarga yang mejadi landasan untuk ketahanan mental dan fisik generasi penerus terhadap tantangan jaman, yang pada gilirannya akan mewujudkan ketahanan social, ketahanan masyarakat dan bangsa.

Ibu kembalikan kehangatanmu untukku
Kehadiran seorang Ibu untuk mendampingi pertumbuhan baik secara phisik maupun psikis anak menjadi sangat penting ketika kita berharap generasi mendatang menjadi generasi yang pintar, cakap, tangguh dan santun. Ini disebabkan karena seorang ibu, memahami betul tentang anaknya. Bukankah Ibu dan Anaknya tersebut pernah mengalami ”hidup bersama dan tak terpisahkan” selama sembilan bulan saat ia mengandungnya? Sebagaimana difirmankan Allah SWT “…Waham luhu wafisa luhu syalaa-syuna syahron….” (…mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan,…) (QS. Al – Ahqaaf : 15). Disamping itu seorang Ibu pula yang memberi kehangatandan kasih sayang yang pertama kalinya untuk kehidupannya, dengan memberi asupan makan dengan ” ASI ” nya, Fimna Allah SWT : “Walwalidatu yurdzikna auladahunna khaulaini kaamilaini…“ (Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan - QS. Al-Baqarah : 233 ).

Jadi dari sinilah mestinya antara Ibu dan anaknya sudah ada ikatan psikologis yang kuat, sehingga kondisi ini memberikan modal yang besar bagi proses internalisasi kehidupan spiritual, sosial dan budaya seorang anak.

Ketika lahir, seorang anak merupakan makhluk yang tidak berdaya dan amat tergantung pada orang yang terdekat dengan dirinya. Dan, orang terdekat itu adalah ibunya, karena kebutuhan pangannya harus dipenuhi dari air susu ibunya. Menurut Neuman (1990) usia 20-22 bulan merupakan masa penting hubungan ibu-anak dan pembentukan diri individu, yang disebut Neuman primal relationship yaitu hubungan yang terbentuk diawal kehidupannya.

Dalam pandangan ahli social learning maka apa yang dilakukan oleh ibu terhadap anaknya merupakan proses yang pengadobsian perilaku dan sikap oleh si anak melalui proses social-modelling, model-model kehidupan social yang diperankan oleh ibunya. Bagaimana suasana ibu mengasuhnya, apakah dengan penuh kelembutan dan kasih sayang atau apakah dengan kasar dan amarah serta penolakan akan membentuk perilaku manusia muda tersebut dikemudian hari. Itulah sebabnya posisi Ibu adalah sebagai pendidik pertama dan utama bagi generasi manusia.

Tumbuhnya kesadaran akan pentingnya tugas-tugas ibu dalam memberikan pendidikan dan pembimbingan terhadap anak-anaknya yang tak tergantikan oleh siapapun ini, sudah menjadi gerakan baru di negara maju, seperti Amerika, yang merupakan pencetus pertama kali gerakan feminisme, (yaitu gerakan perempuan yang menuntut emansipasi atau kesamaan dan keadilan hak dengan pria) yang dipelopori oleh aktivis sosialis uotpis Charles Fourier pada tahun 1837

Kini mereka menggiatkan gerakan kembali kerumah atau “ back to family “, hal ini dipicu oleh meluasnya syndrome “Cinderella Complex” yaitu perasaan yang gamang sebagai “public women”. Untuk mewujudkan keinginannya itu, mereka mendirikan kelompok yang ia beri nama “Moms Offering Mom Support Club“ Tahun 1983, kemudian karena responnya bagus maka tahun 1984, didirikannya Yayasan “Mothers at Home”, kemudian ada lagi Yayasan “Mothers & More” yang didirikan tahun 1987, dan resposnnya terus meningkat. Dari semua ini, yang penting kita ambil pelajarannya adalah, bahwa pandangan dunia kepada kaum ibu telah mengalami perubahan paradigma, bahwa perannya sebagai ibu dari anak-anaknya tetap menjadi penting tak bisa tergantikan, walau ia menjadi wanita karir dibidangnya masing-masing. Di Indonesia, saat memperingati Hari Ibu 22 Desember 2004, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pernah mengkampanyekan “Gerakan Kembali Ke Rumah” (al ruju' ila al usroh). namun gaungnya kurang mendapat respon dari kaum ibu sendiri (Republika, 16/12/2004).

Kembali ke rumah, melakukan fungsi domestiknya, tidak selalu diartikan melepas perannya diwilayah public. Tetapi yang penting adanya penyadaran dini bahwa, naluri keibuannya dibutuhkan oleh anak-anaknya dirumah. Pada aspek psikologi perkembangan anak, untuk memahi keseluruhan karaketeristik dan pola tingkah laku anak, perlu dilakukan penelusuran kemampuan sumber pembawaan dan kemampuan sumber perolehan. Kemampuan bawaan atau kapasitas seseorang anak dipengaruhi oleh genetikanya, dan kemampuan yang diperoleh karena proses belajar atau abilitas (seperti internasilsasi, sosialisi, interaksi, edukasi dan advokasi, dll). Faktor Kapasitas dan abilitas anak sangat dipengaruhi oleh factor keturunan, factor lingkungan, factor sosiso ekonomis atau hygienis baik pada masa prenatal (masih dikandungan) maupun postnatal, setelah dilahirkan.

Membentuk prilaku anak yang sehat dan produktif, yang dilakukan melalui proses abilitas atau belajar akan menampakkan pengaruhnya pada tingkah laku yang bersifat koknitif, konatif, afektif, dan motorik yang dimanisfetasikan dalam bentuk pengetahuan, pengertian, kebiasaan, ketrampilan, apresiasi, emosional, hubungan social, jasmani, etis/budi pekerti dan sikap/attitude. Dan semua itu tidak cukup diperoleh dari pendidikan formal baik mulai jenjang PAUD (pendidikan anak usia dini) atau apapun namanya sampai jenjang tertinggi. Lebih-lebih dalam kondisi sekarang ini, berkembang persepsi umum, bahwa kecerdasan intelektual yang mengandalkan kemampuan berlogika menjadi target pendidikan yang diburu para orang tua untuk anaknya.

Orang tua merasa bangga dan berhasil mendidik anak, bila melihat anak-anaknya mempunyai nilai rapor yang bagus, menjadi juara kelas. Tentu saja hal ini tidak salah, dan menjadi harapan setiap orang tua, tetapi tidak juga benar seratus persen. Karena beberapa penelitian justru menunjukkan bahwa kecerdasan emosional (EQ), kecerdasan sosial dan kecerdasan spiritual (SQ) berkontribusi lebih besar bagi “kesuksesan hidup” seorang anak. Penelitian Daniel Goleman (1995 dan 1998) memperlihatkan bahwa kecerdasan intelektual hanya memberi kontribusi 20 persen terhadap kesuksesan hidup seseorang. Yang 80 persen bergantung pada kecerdasan emosi, kecerdasan sosial dan kecerdasan spiritualnya. Bahkan dalam hal keberhasilan kerja, kecerdasan intelektual hanya berkontribusi empat persen. Kecerdasan emosional, kecerdasan social dan kecerdasan spiritual ini, banyak membutuhkan peran orang tua, lebih-lebih peran ibunya.

Dalam memperingati hari Ibu 22 Desember 2010 ini, mari dimaknai dengan merenung kembali tentang gagasan “Gerakan kemabali Ke Rumah”, atau mengapa negara-negara maju seperti AS telah melakukan gerakan yang tidak populis dengan “back to family”. Tentu semua ini berkaca dari perkembangan kondisi jaman yang yang telah berbalik arah, bahwa ketidak berdayaan anak yang tanpa pendampingan orang tua, memliki kecenderungan terjadinya kemerosotan kemampuan emosional maupun social dasar. Anak cenderung menjadi pemarah, pemurung, gampang resah, emosinya labil dan kurang patuh.

Harus kita akui, bahwa generasi bangsa kini banyak menampilkan anak-anak cerdas, bahkan mampu menunjukan kecerdasannya di tingkat dunia dalam berbagai bidang keilmuan dan ketrampilan. Namun tidak bisa dipungkiri, seperti data yang dilansir BKKBN maupun Kementrian Kesehatan seperti diatas, banyak juga anak generasi bangsa ini yang terjerumus maka tindak criminal, penyalahgunaan narkoba, sek bebas, anarkhis, tawuran, dan memeiliki kenekatan yang tinggi dalam bunuh diri, yang selalu sudah menjadi konsumsi sehari-hari belalui berita di layar tv.

Akhirnya, Selamat Hari Ibu tahun 2010, kita selalu memohon agar kita dianugerahi anak-anak yang soleh dan soleha "Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang saleh, tentulah kami termasuk orang-orang yang bersyukur". (QS. Al-A’faar : 189).

Marilah kita panjatkan do’a kehadirat Allah SWT demi anak-anak kita seperti do”a Lukman untuk anak-anaknya : “Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. “ ( QS. : Lukman : 17-18) ***(Malang, 20 Desember 2010)


Label:
04.38 / Diposting oleh Drs. Achmad Chambali Hasjim, SH / komentar (0)

SEMOGA MENJADI HAJI MABRUR

Oleh : Achmad Chambali Hasjim
www.chambali-hasjim.blogspot.com



"LABBAIK ALLAHUMMA LABBAIK, LABBAIK LAA SYARIKKA LAKA LABBAIK,
INNAL HAAMDA WANNI'MATA LAKA WAL MULK LAA SYARIIKA LAKA."

("Aku datang memenuhi panggilanMu ya Allah, Aku datang memenuhi panggilanMu, Tidak ada sekutu bagiNya,
Ya Allah aku penuhi panggilanMu.
Sesungguhnya segala puji dan kebesaran untukMu semata-mata.
Segenap kerajaan untukMu.
Tidak ada sekutu bagiMu")

Kalimah talbiyah inilah yang menjadi tujuan untuk berhaji, yaitu memenuhi panggilan Allah SWT, selain memang untuk memenuhi kewajiban menjalankan rukun (tiang agama) Islam yang kelima setelah syahadat, shalat, zakat dan puasa. Juga untuk memenuhi perintah Allah SWT seperti yang difirmankan dalam Surah Ali-Imran : “ ….mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah…. (QS : Ali-Imran/3 : 97)

Ibadah haji akan memberikan pengalaman spiritual yang baik bagi peningkatan keimanan seorang muslim, karena ibadah haji bukan merupakan ibadah ritual semata. Lebih dari itu, ibadah haji adalah napak tilas perjalanan hamba-hamba Allah yang suci; Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, Siti Hajar, dan Ismail. Banyak peristiwa yang menggambarkan hidayah Allah SWT kepada hambanya yang sabar, taat dan bertaqwa kepadanNya.

Setiap datang musim haji, kita selalu menaruh harapan besar terhadap para jemaah haji yang banyaknya rata-rata 200 ribu lebih orang, agar kelak pulang dengan sandangan predikat ‘haji mabrur’. Predikat ini tentu menjadi dambaan tidak saja bagi yang melaksanakan ibadah haji, namun juga kita semua.

Rasulullah saw bersabda, “Sebaik-baik amal ialah iman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian jihad fi sabilillah, kemudian haji mabrur.” Pada kesempatan lain Rasulullah juga bersabda, “Jihadnya orang yang sudah tua dan jihadnya orang yang lemah dan wanita ialah haji mabrur.”

Balasan untuk haji mabrur adalah surga, seperti yang disabdakan Rasulullah SAW “..tidak ada balasan bagi haji mabrur kecuali surga.” (“Al hajjul mabrrur laisa lahuu jazaa illal jannah.”,. Surga adalah tempat yang pantas bagi orang yang hajinya mabrur.

Secara terminologis, kata “mabrur” dari kata “al-birru” berarti kebaikan atau mendapatkan kebaikan atau menjadi baik. Dalam QS. ke-3 (Ali ‘Imran) ayat 92 Allah SWT berfirman: “lantanalul birra, khatta tunfiquu mimma tuhibbun….. [Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai….. ].
Dalam Q.S. Al-Baqarah [2]: 177 : “Bukanlah menghadapkan wajah kamu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu adalah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, para nabi, dan memberikan harta yang dicintainya...” .


Kata mabrur ketika dirangkai dengan kata haji, maka ia menjadi sifat yang mengandung arti bahwa hajinya makbul/diterima dan hajinya diikuti dengan peningkatan kebajikan, kebaikan, bersih dan suci yang mendapat keridhoan Allah SWT dari keadaan sebelumnya.

Bahwa haji mabrur akan selalu ditandai dengan perubahan dalam diri pelakunya dengan mengalirnya amal saleh yang tiada putus-putusnya. Bila setelah berhaji seseorang selalu berbuat baik-beramal soleh, sampai ia menghadap Allah SWT, maka insya-Allah telah mendapatkan kemabruran yang berujung diridhoi Allah untuk masuk syurga.

Dan insya-Allah inilah makna yang dapat dipahami dari Firman Allah SWT dalam QS :Al-Baqoarah ayat ke 197 : “ (Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi (ialah bulan Syawal, Zulkaidah dan Zulhijjah), barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats (artinya mengeluarkan perkataan yang menimbulkan berahi yang tidak senonoh atau bersetubuh , berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal”

Dengan kata lain haji mabrur adalah haji yang akan mendapatkan kebaikan. Sering juga dikatakan sebagai ibadah yang diterima Allah Swt. Dengan demikian, haji mabrur adalah haji yang mendatangkan kebaikan bagi pelakunya atau pelakunya selalu memberikan kebaikan kepada orang lain. Jika logika itu dibalik, maka haji yang mardud (tertolak) adalah haji yang tidak mendatangkan kebaikan bagi pelakunya atau pelakunya tidak memberikan kebaikan kepada orang lain.

Sulitkah untuk menjadi mabrur ?, Ada satu kisah yang patut untuk direnungkan, yaitu kisah perjalanan haji Ibnu Muwaffaq yang dikutip al-Ghazali dalam Ihya 'Ulum al-Din. Ketika Ibnu Muwaffaq melaksanakan ibadah haji, dan sedang berada di suatu masjid di Mina, ia sempat tertidur sejenak. Dalam tidurnya ia bermimpi, melihat dan mendengar dialog dua orang malaikat. Mulaikat yang satu bertanya, ''Berapa jumlah jamaah haji tahun ini?'' ''Enam ratus ribu orang,'' jawab malaikat satunya. Kemudian ia bertana lagi ''Berapa orang dari mereka yang hajinya maqbul/mabrur?'' .Dijawab oleh malaikat satunya ''Enam orang saja,''. Mendengar jawaban ini, Ibnu Muwaffaq terjaga, gemetaran, ia termenung sejenak, memikirkan betapa besarnya jumlah jamaah haji ketika itu, tetapi betapa sedikitnya jumlah mereka yang maqbul atau mabrur.

Kemabruran dalam ibadah haji seseorang, justru akan ditampakkan setelah ia pulang dari beribadah haji. Kemabruran berupa meningkatnya amal kebajikan, amal soleh baik secara “hablumminanallah” maupun dalam “hablumminannas”. Amal ibadah hajinya ter-refleksi dalam kehidupan sosialnya. Kebajikan dari buah ibadahnya berbanding lurus dengan perilaku sosialnya. Ia sumber kebaikan dan kebajikan bagi lingkungannya sosialnya.

Perilaku ibadah haji, banyak mengajarkan menjadi perilaku yang mabrur sebagai hikmah dari ibadah haji. Hikmah memang merupakan hidayah dan anugerah dari Allah SWT. “ Allah menganugerahkan hikmah kepada siapa yang dia kehendak-Nya. Dan barang siapa dianugerahi hikmah itu, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (Al Baqarah : 269)

Kegiatan ritual ibadah haji, telah banyak memberikan hikmah yang dapat dijadikan pelajaran untuk meningkatkan ketaqwaan, tentunya seperti yang ditegaskan dalam ayat diatas, “…hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran…. Dan sangat disayangkan bila dalam beribadah haji kita kehilangan hikmah yang terkandung didalamnya, dan hanya mendapatkan capek dan lelah belaka (seperti dalam Ibadan syiam banyak orang yang hanya mendapatkan lapar dan dahaga saja ).

Keabsahan menjalan ibadah haji yaitu harus memenuhi rukun haji, yaitu meliputi : Ihram, yaitu pernyataan mulai mengerjakan ibadah haji dengan memakai pakaian ihram disertai niat haji di miqat (yaitu tempat atau waktu untuk memulai berniat ihram) ; Wukuf di Arafah (yaitu berdiam diri dan berdoa di Arafah pada tanggal 9 Zulhijah) : Tawaf Ifadah (yaitu mengelilingi Ka'bah sebanyak 7 kali, dilakukan setelah melontar jumroh Aqabah pada tgl 10 Zulhijah); Sa’i (yaitu berjalan atau berlari-lari kecil antara bukit Shafa dan Marwah sebanyak 7 kali, dilakukan setelah Tawaf Ifadah); Tahallul (yaitu bercukur atau menggunting rambut setelah melaksanakan Sa'i); Tertib (Mengerjakan kegiatan sesuai dengan urutan dan tidak ada yang tertinggal).

Hikmah Ihram.
Pakain ihram kaum laki-laki hanya terdiri dua lembar kain yang tanpa berjahit, yang disebut izaar (kain) dan rida' (selendang), dan disunahkan berwarna putih. Sedangkan bagi wanita, tidak ada pakaian khusus dan warna khusus untuk ihram, yang penting menutup aurat dan memenuhi adab-adab berpakaian bagi wanita dalam Islam.

Ini mengajarkan kepada kita, bahwa pakaian ihram ini disamping pertanda bahwa seseorang itu telah “labbaik allahumma labbaik” (aku datang memenuhi panggilan-Mu ya Allah), juga mengingatkan kita akan “memenuhi panggilan-Mu untuk selamanya atau meninggal di kelak kemudian hari” (yang akan dibungkus kain kafan).

Karena itu berihram, memberi hikmah bahwa status seseorang baik itu pangkat, jabatan, kekayaan, dan segala asesoris duniawi tidak pantas menjadikan manusia menjadi sombong, karena dihadapan Allah SWT hanya yang bertaqwalah yang lebih mulia. “Inna akramakum ‘indallahi ad-qaakum “ (QS Al-Hujurat :13).

Pakaian sering cenderung menjadi simbul status seseorang dan kemewahan pakaian dapat membangkitkan sikap sombong dan arogan. Dengan berihram, maka umat manusia sedunia yang berkumpul untuk berhaji, telah ikhlas menanggalkan status duniawinya demi memenuhi panggilan Allah. Hadist Qudsy Allah berfirman : “Wahai manusia sesungguhnya engkau kelaparan, AKU-lah yang memberimu makan. Sesungguhnya engkau telanjang AKU-lah yang member pakaian”

Saat berihram banyak larangan yang harus dipatuhi, larangan yang dimaksud dalam kehidupan keseharian diluar kegiatan ibadah haji mungkin hal-hal yang biasa seperti : Tidak boleh memotong dan mencabut rambut, memotong kuku, menggaruk sampai kulit terkelupas atau mengeluarkan darah; Tidak boleh menggunakan parfum, termasuk parfum yang ada pada sabun; Tidak boleh bertengkar; Tidak boleh membunuh binatang (kecuali mengancam jiwa), memotong atau mencabut tumbuhan dan segala hal yang mengganggu kehidupan mahluk; dll. dan kalau melanggar akan dikenakan dam/denda.

Kemampuan membayar dam mungkin tidak jadi masalah, karena menurut ukuran duniawi tidaklah begitu besar. Essensinya adalah sejauhmana kepatuhan dan ketaatan kita akan hukum Allah. Komitmen ini yang akan memberi dampak pada kehidupan sesudah ibadah haji. Komitmen terhadap keyakinan bahwa Allah Maha Mengetahui, akan menjadi sikap hidupnya dalam menggapai surga kelak dikemudian hari.

Hikmah Wukuf.
Kata ‘wukuf” berarti berhenti, diam tanpa bergerak. Wukuf di Padang Arafah pada 9 Dzulhijjah sebagai rukun ibadah haji. Rasulullah SAW bersabda : “Haji adalah (wukuf) di Arafah (HR. Bukhari & Muslim). Tidak ada haji jika tidak wukuf di Arofah.

Wukuf, merupakan cermin kehidupan bahwa, aktivitas sepadat apapun, ada saat untuk berdiam, bertafakur, bermunajat kehadirat Allah SWT. Ini konsekwensi logis dari komitmen mukminin “ iyyaka na’budu – wa iyyaka nastaiin” (Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan) (QS. Al-Fatiha : 5). Telampau sombong jika manusia tidak pernah bertafakur, bermunajat kehadirat Allah SWT.

Wukuf di Padang Arofah merupakan gambaran kelak kita akan dikumpulkan Allah SWT di Padang Mahsyar pada Hari Kebangkitan. Wukuf atau berdiam, bisa bermakna kelak kalau semua anggota badan sudah diam atau berhenti (wafat) akan dibangkitkan lagi di Padang Mahsyar. Padang Arafah ini sebagai miniatur Padang Mahsyar.

Waktu yang pendek di padang Arafah ini, pada 9 Zulhidjjah, terhitung mulai tergelincir matahari sampai matahari terbenam (maghrib). Mengisyaratkan kepada kita, betapa singkatnya hidup didunia ini dibanding dengan kehidupan yang abadi kelak. Karena waktu yang singkat itu, banyak-banyaklah berdo’a , berzikir, bertalbiyah, istighfar, bertobat dan minta ampunan kehadirat Allah SWT, seperti yang telah dilakukan saat wukuf di Arofah, serta berbuat baik, agar kelak tidak menjadi manusia yang merugi.

Rasulullah SWA pernah bersabda : "Aku berlindung kepada Allah SWT dari (godaan) syetan yang terkutuk. Tiada hari yang lebih banyak Allah membebaskan seorang hamba dari neraka selain Hari Arofah." (HR. Muslim)


Melontar Jumrah.
Melontar jumroh simbul permusuhan Nabi Ibrahim a.s. dengan iblis karena telah menggoda agar membatalkan niatnya untuk melaksanakan perintah Allah SWT. (menyembelih putranya Ismail a.s).

Melontar Jumrah mengingatkan kepada orang mukmin, bahwa Godaan iblis terhadap manusia tak akan berhenti, karena itu sudah tekadnya sejak iblis menolak perintah untuk bersujud kepada nabi Adam a.s : “Iblis mengatakan : Tuihanku, karena Engkau telah menilaiku sesat, niscaya akan kuhiasi kehidupan manusia di bumi, dan akan kusesatkan mereka semua, kecuali hamba-hamba-Mu diantara mereka yang ikhlas, hidup mentaati petunjuk-petunjuk-Mu" (QS. Al-Hijj : 40). Dalam Hadist Nabi SAW diingatkan : “Sungguh syetan merayap pada manusia sebagaimana jalannya darah “

Begitu intensnya iblis/syetan menggoda manusia yang beriman, maka melontar jumrah memberi peringatan akan permusuhan orang mukmin dengan iblis dan syetan. Kita harus berusaha “melontar jumrah” tidak saja saat beribadah haji, tetapi dalam kehidupan sehari-hari pasca beribadah haji. Lempar jauh-jauh pikiran-pikiran buruk dan niatan jahat yang dibisikan oleh iblis bin syetan ini.

Hikmah Thawaf.
Thawaf artinya berkeliling. Maksudnya mengelingi Ka’bah sebanyak tujuh kali putaran dimulai dan diakhir dari Rukun Hajar Aswad, dan Ka’bah berada pada sisi kiri yang berthawaf. “ …hendaklah mereka thawaf disekeling Bhait al-Altiq (Batitullah) “ (QS.: Al-Hajj : 29).

Tujuh putaran dalam thowaf mengelilingi Ka’bah untuk memenuhi panggilan Allah dengan tak hendi berdo’a, berdzikir, bertasbih, memuja akan kebesaran Allah, memberi hikmah kepada kita, bahwa dalam “putaran waktu 7 hari dalam seminggu” hendak dalam keseharian kita setelah berhaji tetap tidak terlepas dari berdo’a, berdzikir, bertasbih kepada Allah SWT. Inilah kebajikan buah dari Ibadah haji, meningkatnya kedekatan kita dengan Allah SWT, karena baru saja “bertamu kerumah Allah / Baitullah”

Hikmah Sa’i.
Kata Sa’i memiliki arti ‘usaha’ maksudnya hidup ini harus dipenuhi dengan usaha atau ikhtiar dalam mencapai kebahagiaan ‘fiddun ya wal akhirah’.

Kegiatan sa’i adalah berjalan kaki atau lari-lari kecil antara Bukit Safa dan Bukit Marwah sebanyak 7 kali. merupakan napak tilas perjuangan Siti Hajar yang sabar dan tawakal kepada Allah untuk mendapatkan air bagi putranya Ismail r.a yang akhirnya Allah mengalirkan Air Zam-zam.

Hikmah yang didapat dari sa’i, bahwa seorang muslim, lebih-lebih seorang mukmin haruslah giat dalam berusaha, berikhtiyar, bukan pemalas tetapi rajin dan giat bekerja, sabar, ulut dan bertawaqal. Karena sadar bahwa manusia hanya mampu berusaha dan berikhtiyar, Allah jua yang akan menetapkan hasilnya. Maka tawaqallah. Disamping itu hikmah lain adalah betapa besar kasih saying dan tanggung jawab seorang ibu terhadap putranya. Dari kasih sayang seorang ibulah, generasi yang santun, ulet, sabar dan bertawakal akan disiapkan, karena ibu adalah pendidik utama dan pertama bagi anak-anaknya.

Hikmah Tahallul.
Tahallul atau bercukur (wajib bagi laki-laki) merupakan perbuatan untuk melepaskan diri dari larangan-larangan ihram selama berihram atau penegasan dan realisasi akan selesainya masa ihram.

Makna yang tersimpan sebagai hikmah tahallul adalah membersihkan ‘batok kepala’ yang didalamnya terdapai otak atau pikiran-pikiran manusia dari pikiran-pikiran buruk. Bersihnya hati dan pikiran dari penyakit rohani (iri, dengki, hasut, ghibah, sombong, dll) sangat diperlukan untuk menapai kehidupan yang soleh/soleha dikemudian hari menuju keridhoan Allah SWT.


Semoga menjadi haji mabrur.
Kalau saja perjalanan ritual ibadah haji, juga dapat memaknai hikmah yang terkandung dalam perbuatan-perbuatan ibadah haji, sehingga setelah pulang kembali tempat tinggal semula, berdampak meningkatnya kebajikan dan kebaikan dari perilaku sosialnya, sehingga kemabruran hajinya akan sangat berdampat kepada ketentraman dan kesalehan social.

Kemabruran haji seseorang akan terlihat, seberapa membekas dan terinternailsasi dalam dirinya segala aktivitas ibadah haji yang dijalani, sehingga menjadi sikap hidup dan perilakunya.

Seorang haji yang mabrur, akan memiliki sikap
yang rendah hati, jauh dari sikap congkak, sombong, arogan, pamer kekayaan – jabatan – status, dll, karena mendapat hikmah dari ihramnya. Memiliki sikap tawaddu' (tahu diri) dan istiqomah dengan keimanannya,hikamah dari wukufnya. Sikap yang kuat dan tidak mudah tergoda oleh iming-iming syetan untuk berbuat curang dan sikap buruk lainnya (korup, manupulasi,dll), yang didapat dari hikmah melontar jumrah, karena setiap ada bisikan iblis bin syetan, ia lemparkan dari dirinya.

Thowafnya membekas kuat menjadikan dia orang yang selalu ingat kepada Sang Khaliq, kalimah talbiyahnya tetap mewarnai kehidupannya. Dalam putaran waktu 7 hari dalam seminggu tidak pernah putus melakukan “hablumminallah” Aktifitas ibadahnya semakin meningkat baik secara kualitas maupun kualitasnya.

Sa’inya telah memberi motivasi bahwa hidup ini penuh perjuangan yang memerlukan usaha yang gigih, kerja keras, tidak gampang putus asa, optimis, namun tetap sabar dan bertawaqal. Manusia yang berusaha, tetapi Allah jua yang menetapkan hasilnya.

Akhirnya, dengan tahallul, dengan mencukur rambut untuk menghilangkan ‘pikiran-pikiran buruk’. Hati dan pikiran setelah usai melaksanakan ibadah haji menjadi bersih, bercahaya. Karena itu di tutup dengan ‘tutup kepala putih’ /topi putih (tanda sudah haji ) juga pertanda bahwa hati dan pikirannya sudah suci dan bersih. Sebagai haji yang mabrur.

Makanya, do’a yang dibaca orang yang pulang dari ibadah haji adalah : TAUBAN TAUBAN TAUBAN, LIRABBINAA AUBAN LAA YU GHAADIRU (Aku bertaubat, aku bertaubat, aku bertaubat kepada Allah aku mengharapkan taubatku diterima, aku tidak akan mengulangi dosa-dosa lagi). Insya-Allah. ******* ( 25/XI/2010)






Label:

REFORMASI BIROKRASI DAN PERILAKU BIROKRASI

01.17 / Diposting oleh Drs. Achmad Chambali Hasjim, SH / komentar (0)

REFORMASI BIROKRASI, DAN
REFORMASI PERILAKU APARAT BIROKRASI

(Tulisan ini didedikasikan untuk menyambut HUT KORPRI
dan Hari Jadi Kabupaten Malang Tahun 2010)

Oleh : Drs. Ach. Chambali Hasjim. SH
www.chambali-hasjim.blogspot.com



Kalau kita mendengar kata ‘birokrasi’, yang terlintas dibenak kita adalah sesuatu yang memusingkan, kalau berkaitan dengan urusan pasti ‘mbulet’ (rumit), kalau bisa berusaha menjauhinya, atau bahkan kalau mungkin tidak usah bersinggungan dengannya. Persepsi ini muncul karena seringnya terdapat pengalaman buruk dan tidak menyenangkan bila berurusan dengan birokrasi. Tetapi sayangnya kita tak mungkin menghindar dari urusan birokrasi ini, mulai kita lahir sudah harus berurusan dengan birokrasi, kita butuh akta kelahiran, kemudian KTP, kemudian KK, SIM, dll, sehingga ‘birokrasi’ ini bagaikan necessary evil atau bayangan yang menakutkan tetapi kita butuh kehadirannya.

Kalau kita mencoba membuat catatan tentang masalah yang bersinggungan dengan birokrasi, kita akan dapatkan daftar panjang mengenai ketidak nyamanan berurusan dengan birokrasi, Anda boleh menambahkan, mungkin ada punya pengalaman yang kurang menyenangkan dengan birokrasi ini. Setidak-tidaknya daftar kritik yang terlontar terhadap birokrasi, seperti :
  1. Masih belum memuaskannya pelayanan public oleh birokrasi;
  2. Besarnya angka kebocoran anggaran Negara ;
  3. Rendahnya profesionalisme dan kompetensi aparat birokrasi ;
  4. Sulitnya pelaksanaan koordinasi antar instansi ;
  5. Masih banyaknya tumpang tindih kewenangan antar instansi, aturan yang tidak sinergis dan tidak relevan dengan perkembangan aktual, dan masalah-masalah lainya.
  6. Birokrasi juga dikenal enggan terhadap perubahan, eksklusif, kaku dan terlalu dominan, sehingga hampir seluruh urusan masyarakat membutuhkan sentuhan-sentuhan birokrasi.
  7. Tingginya biaya yang dibebankan untuk pengurusan hal tertentu baik yang berupa legal cost maupun illegal cost, waktu tunggu yang tidak jelas, banyaknya pintu layanan yang harus dilewati dan tidak berperspektif pelanggan/publik.
  8. Dll.

Kita akui dibeberapa tempat sejak bergulirnya reformasi, telah mengalami perubahan, namun terasa kurang signifikan dengan ketertinggalannya selama ini. Banyak pelayanan public yang secara regulasi sudah memberikan nafas baik bagi public, namun implementasinya masih juga dengan paradigma lama, menempatkan ‘custumer’ yaitu public pada posisi yang selalu tidak berdaya menghadapi aparat birokrasi.

Birokrasi berasal dari kata “bureau” yang berarti meja atau kantor; dan kata “kratia” (cratein) yang berarti pemerintah. Pada mulanya, istilah ini digunakan untuk menunjuk pada suatu sistematika kegiatan kerja yang diatur atau diperintah oleh suatu kantor melalui kegiatan-kegiatan administrasi (Ernawan, 1988). Dalam konsep bahasa Inggris secara umum, birokrasi disebut dengan “civil service”. Selain itu juga sering disebut dengan public sector, public service atau public administration.

Dalam Kamus besar Bahasa Indonesia, birokrasi didefinisikan sebagai : Sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai bayaran yang tidak dipilih rakyat; cara pemerintahan yang sangat dikuasai oleh pegawai negeri. (hal 120). Berdasarkan definisi tersebut nyatalah bahwa pegawai dari birokrasi didapat dengan cara pengangkatan atau penunjukan (appointed) dan bukan dengan cara pemilihan (elected).

Mengurai soal birokrasi, tidak bisa lepas dari konsep yang digagas Max Weber, sosiolog ternama asal Jerman, dalam karyanya ”The Theory of Economy and Social Organization”, yang dikenal melalui ‘ideal type’ birokrasi modern. Model ini yang sering diadopsi dalam berbagai rujukan birokrasi berbagai negara, termasuk di Indonesia, walaupun dalam penerapan tidak sepenuhnya bisa dilakukan.

Weber membangun konsep birokrasi berdasar teori sistem kewarganegaraan yang dikembangkannya. Ada tiga jenis kewenangan yang berbeda. Pertama, Kewenangan tradisional (traditional authority) atau kurang lebih di kita itu semacam, Tokoh Adat; yaitu yang mendasarkan legitimasi kewenangan pada tradisi yang diwariskan antar generasi. Kedua, Kewenangan kharismatik (charismatic authority), atau Tokoh Masyarakat/Agama, mempunyai legitimasi kewenangan dari kualitas pribadi dan yang tinggi dan bersifat supranatural, yangn keduanya merupakan pimpinan informal (informal leader). Dan Ketiga, kewenangan legal-rasional (legal-rational authority) mempunyai legitimasi kewenangan yang bersumber pada peraturan perundang-undangan. Yang terakhir ini biasa disebut Pimpinan Formal, yang dianggap oleh Weber, pimpinan yang paling efektif.

Ciri-ciri pokok organisasi birokrasi modern, menurut Weber yang sesuai dengan masyarakat modern, adalah :
1. sistem kewenangan yang hierakis (A hierarchical system of authority)
2. pembagian kerja yang sistematis (A systematic division of labour)
3. spesifikasi tugas yang jelas (A clear specification of duties for anyoneworking in it)
4. kode etik disiplin dan prosedur yang jelas serta sistematis (Clear ang systematic diciplinary codes and procedures)
5. kontrol operasi melalui sistem aturan yang berlaku secara konsisten (The control of operation through a consistent system of abstrac rules)
6. aplikasi kaidah-kaidah umum kehal-hal pesifik dengan konsisten (A consistent applications of general rules to specific cases)
7. seleksi pegawai yang didasarkan pada kualifikasi standar yang objektif (The selection of emfloyees on the basic of objectively determined qualivication)
8. sistem promosi berdasarkan senioritas atau jasa, atau keduanya (A system of promotion on the basis of seniority or merit, or both)

Paradigma Weber atas birokrasi adalah organisasi yang rasional dengan mengedepankan mekanisme social dan memaksimalkan efisiensi. Birokrasi sebagai institusi formal yang memerankan pengaturan, pelayanan dan pengembangan. Kehadiran birokrasi adalah kebutuhan rasional dalam mewujudkan tujuan pemerintah.

Sistem kewenangan yang hierakis (A hierarchical system of authority) sebagai salah satu konsep tipe idealnya Weber, dalam implementasi bias menjadi birokrasi yang lebih condong pada ‘berkuasa’ dari pada ‘bekerja’, ini sangat ditunjukan dalam birokrasi kita yang lebih pada pendekatan ‘struktur’ dari pada ‘fungsi’. Dalam birokrasi yang sanghat weberian ini, jabatan structural menjadi primadona, dibandingkan jabatan fungsional, padahal titik pokok pekerjaan birokrasi, yaitu pelayanan, berarti ada pada tugas fungsional, yaitu melayani public. Paradigma kekuasaan yang lebih melekat pada birokrasi telah terjadi hampir disemua tempat dan waktu di belahan bumi ini, hal ini dibuktikan munculnya adagium dari Lord Acton : power trend to corrupt, absolutely power tren to curropt absolutely.

Upaya untuk mengubah mainset aparat birokrasi/pegawai pemerintah menjadi pekerja fungsional, (bukan structural oriented) pernah dilakukan oleh Menpan Sawono Kusuma Artmadja dengan paradigma ‘miskin struktur, kaya fungsi’ sebagai upaya efisiensi, baik efisiensi sumberdaya manusia maupun efisiensi sumberdaya anggaran. Tetapi ‘perlawanan terselubung’ dari lingkungan aparat birokrasi lebih kuat dari gagasan tersebut, ini terbukti tidak direspon positif oleh kalangan aparat birokrasi, karena jabatan fungsional sangat dihindari (bahkan dianggap bukan jabatan) dan cenderung dijauhi, sehingga tidak kedengaran lagi upaya itu. Dan justru diera reformasi ini, ‘penggemukan’ aparat birokrasi lebih nampak (gemuk dalam arti jumlah aparat maupun jabatan structural sehingga gemuk pula anggaran aparatur yang selalu lebih tinggi dari anggaran pembangunan dalam anggaran belanja pemerintah), dan masalah eseloninasi lebih terasa dari pada masalah kopetensi.

Munculnya Reformasi 1998, salah satu picunya adalah buruknya pelayanan birokrasi yang sudah pada titik nadir, wabah virus bureaumania telah memperlihatkan wajah birokrasi yang cenderung korup, kolusi dan nepotisme. Birokrasi sebagai alat politik untuk mempertahankan kekuasaannya, bukan meningkatkan aspek ‘bekerja untu melayani’ tetapi menguatkan ‘penguasa yang harus dilayani’. Mengutip pendapat Karl D Jackson, birokrasi Indonesia merupakan beuracratic polity. Model ini merupakan birokrasi dimana menjadi akumulasi dari kekuasaan dan menyingkirkan peran masyarakat dari politik dan pemerintahan.

Kondisi di era reformasi dan eforia otonomi ini, kalau tidak hati-hati bisa jadi terserang penyakit ‘bureaumania jilid kedua’ seperti yang dialami di era orde baru yaitu mengalami Parsonian dan Orwelisasi seperti yang dikatakan Hans Dieter Evers. Birokrasi Parsonian merujuk pada pertumbuhan jumlah anggota serta pemekaran structural dalam birokrasi yang tidak terkendali. Birokrasi Orwel merujuk pada pola birokratisasi yang merupakan proses perluasan kekuasaan pemerintah yang dimaksudkan sebagai pengontrol kegiatan ekonomi, politik dan social dengan menggunakan regulasi yang bila perlu ada suatu pemaksaan. Model seperti ini wajah birokrasi memperlihatkan kinerja birokrasi yang tidak efisien, berbelit-belit, memiliki pegawai birokrasi (birokrat) yang semakin membengkak jumlahnya, secara structural lebih menitik beratkan pelayanan kepada penguasa dari masyarakat. Apakah masih seperti ini yang dirasakan ? Anda sendiri yang patut menjawab.

Pegawai birokrasi (PNS) diawal pemerintahan orde baru, melihat posisinya yang strategis maka pemerintah (kekuatan plotik penguasa) perlu mengkooptasinya sebagai mesin politik untuk melanggengkan kekuasaannya, Dengan Keppres Nomor 81 Tahun 1971, dilahirkanlah Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI) yang menjadi satu-satunya wadah untuk menghimpun dan membina pegawai diluar kedinasan, yang ternyata dalam implementasinya masuk dalam wilayah kedinasan.
Sampai akhir kekuasaan rezim orde baru, kita belum memiliki kebijakan publik yang mengatur pembatasan hubungan partai politik terhadap birokrasi. Akibatnya birokrasi menjadi infinitas (meluas tidak terbatas) terjadi politisasi birokrasi, yang ikut mendorong terjadi inefisiensi dan melemahnya kinerja birokrasi. Sampai menjelang masa transisi tahun 1998, kondisi birokrasi di Indonesia masih mengalami sakit bureaumania seperti kecenderungan inefisiensi, penyalahgunaan wewenang, kolusi, korupsi dan nepotisme.

Birokrasi dijadikan alat status quo mengkooptasi masyarakat guna mempertahankan dan memperluas kekuasaan monolitik. Birokrasi Orde Baru yang telah mengkooptasi Korpri secara struktural untuk mendukung pemenangan partai politik pemerintah. Padahal seharusnya birokrasi didorong menjadi institusi yang professional yang diperlukan sebagai aktor public services yang netral dan adil, demokratis dan transparan.


Dimasa trasisional menuju birokrasi yang bersih dari KKN, posisi pegawai birokrasi yang strategis karena menguasai aspek hajat hidup masyarakat, mulai dari urusan kelahiran, pernikahan, kegiatan usaha sampai urusan kematiannya, masyarakat tidak bisa menghindar dari birorkasi. Besarnya peran birokrasi tersebut akan turut menentukan keberhasilan pemerintah dalam menjalankan program dan kebijakan pembangunan. Keberhasilan suatu program pembangunan yang ditujukan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat, sangat tergantung dari bagaimana kinerja birokrasi dan perilaku birtokratnya. Kalau kinerja birokrasi dan perilaku birokratnya buruk, maka buruk pula yang dihasilkan, artinya menjadi penghambat perwujudan dari tujuan pembangunan yang dilakukan. Begitu juga sebaliknya.


Reformasi birokrasi yang mengiringi kehadiran era reformasi di Indonesia sejak tahun 1998, sudah menjadi prasyarat untuk hadirnya pemerintahan yang bersih dari KKN. Reformasi birokrasi berdasarkan teori Max Weber adalah upaya-upaya strategis dalam menata kembali birokrasi yang sedang berjalan sesuai prinsip-prinsip span of control, division of labor, line and staff, rule and regulation, and professional staff / rentang kendali, pembagian kerja, garis dan staf, ketentuan dan peraturan, dan staf profesional (Setiyono, 2004).


Babak baru untuk mengawali reformasi birokrasi, yaitu perlunya kesadaran akan pentingnya netralitas PNS. Maka pemerintahan BJ Habibie, mengeluarkan PP Nomor 5 Tahun 1999, yang menekankan PNS harus netral. Kalaupun PNS akan menjadi anggota parpol, maka harus tidak boleh aktif dalam jabatannya. Setelah itu, gaung reformasi birokrasi selalu bergema di mana-mana. Aturan netralitas PNS itu dikuatkan lagi dengan pengesahan UU Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian untuk menggantikan UU Nomor 8 Tahun 1974. Dikuatkan pula dengan UU No. 28 tahun 1999, tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dari korupsi, Kolusi dan nepotisme. Penataan untuk meregulasi aparat birokrasi yang terus dilakukan seiring tuntutan reformasi dan kebutuhan public akan birokrasi yang bersih, jujur dan bebas dari KKN.

PNS sebagai kekuatan strategis birokrasi pemerintahan memang menjadi kebutuhan yang utama dalam reformasi birokrasi. Mendudukan posisi netral para PNS yang dilakukan diawal era reformasi, karena memiliki pengalaman buruk di rezim orde baru. Namun regulasi yang dibuat untuk mendorong kenetralan aparat birokrasi (PNS) tidak dengan segera dikuti oleh perilaku aparat birokrasi. Keperpihakan PNS kepada kekuatan politik (yang berdampak pada melemahnya profesionalisme) masih tampak walau dalam wajah yang lain. Seharusnya tiga pilar kekuatan kepemerintahan di daerah memposisikan dirinya dengan posisi yang kuat. Pertama, Kepala Daerah (Gubernur/Bupati/Walikota) sebagai Pimpinan Eksekutif yang berbasis politik ; Kedua, Ketua DPRD sebagai Pimpinan Legeslatif yang berbasis Politik dan Ketiga, Sekretaris Daerah adalah Pimpinan Birokrasi yang berbasis professional. Aparat birokrasi secara professional yang dikomandani oleh Sekretaris daerah ini seharusnya tidak ikut bermain (mata) dengan masalah politik. Ia harus memposisikan dirinya secara professional dalam tataran birokrasi.

Kondisinya, birokrasi belum professional dan kurang memperhatikan kompetensi, jabatan-jabatan birokrasi masih banyak berbau politik. Mungkin ini yang membuat kegelisahan jajaran Kementrian Pendidikan Nasional yang dipimpin oleh Pak. Nuh mengeluarkan Permendiknas Nomor 28 tahun 2010 tertanggal 27 oktober 2010 tentang Penugasan Guru Menjadi Kepala Sekolah. Dengan Permendagri ini, Kepala Daerah tidak lagi berwenang memutasi kepala sekolah (TK/RA, SD/MI, SMP/MTs/SMA/MA dan SMK) dengan alasan “melindungi Kasek dari politik pemerintah yang sering merugikan mereka” (Jawa Pos 03/11/2010). Ini pertanda secara empiris aparat birokrasi masih ikut bermain di ranah politik kalau mau aman dengan kedudukannya. Mudah-mudahan kementrian lainnya tidak menyusul mengeluarkan permen yang sama untuk melindungi profesionalisme dan kompetensi aparat jajaran bidang tugasnya. Kalau itu terjadi, terus ada apa dengan otoda ?

Memang, dengan menghitung waktu, dari tahun 1998 hingga saat ini tahun 2010, artinya reformasi yang berjalan di Indonesia, yang didalamnya termasuk reformasi birokrasi sudah berjalan selama 12 tahun. Kalau dianalogkan dengan pertumbuhan seorang bayi sudah lumayan besar, tinggal sisi siapa yang melihatnya. Namun ‘menanam’ bibit reformasi yang kini jadi pohon reformasi diusianya 12 tahun ini, belum terasa rindang ‘untuk mengayomi’ kepentingan public.

Mereformasi birokrasi, memang tidak semudah mereformasi perilaku birokrat (aparat birokrasi)nya. Regulasi dan aturan yang menghantarkan kepada pemerintahan yang bersih, demokratis dan transparan, jauh dari perilaku korup, kolusi dan nepotisme yang didukung segala fasilitas pelayanan public dengan pemanfaatan teknologi informasi (E-Governance) sudah lebih dari cukup. Lagi-lagi jargon kuno masih harus diingatkan disini, man behin the tool, lagi-lagi tergantung siapa yang ada dibalik peralatan itu.

Salah satu penghambat perubahan perilaku birokrat, ditinjau dari aspek kebudayaan, aparatur birokrasi memiliki status sosial yang tinggi di tengah masyarakat. Status sosial tersebut merupakan aset kekuasaan, karena orang cenderung mau tunduk pada orang lain yang memiliki status sosial lebih tinggi (budaya patuh keatasan/raja), dan cenderung mempertahankan status quo nya. Padahal ditinjau dari aspek kedudukan birokrasi sebagai pelayan public, seharusnya dia tunduk kepada kamauan public yang telah tergambar dalam kebijakan public. Status sebagai Abdi Negara, yang didalamnya terkandung sisi pemerintah/penguasa dan sisi masyarakat, selama ini masih lebih kepada penguasa, dan sedikit kepada masyarakat.

Budaya paternalistic memang positif, jika komunikasi ‘keteladanan yang baik dan positif’ dapat dikembangkan dilingkungan social pekerjaan aparat birokrasi, karena dapat meng-internalisasi nilai-nilai dan norma-norma baik terhadap bawahannya. Tetapi kalau yang terjadi sebaliknya, maka yang terinternasilasi jadinya adalah norma-norma yang sudah ‘mapan’ dan dianut oleh banyak orang dilingkungan tugasnya.

Perubahan perilaku individu dapat terjadi karena adanya konflik motif yang dapat menimbulkan frustasi. Seorang individu yang berada dalam suatu komunitas tertentu dan menghadapi situasi approach-avoidance conflict, yaitu konflik psikis dalam diri individu karena dalam waktu yang bersamaan menghadapi situasi yang mengandung motif positif dan motif negative yang sama kuatnya. Maka yang terjadi adalah akan menentukan sikap kemana ia akan berpihak, dan ini sangat dipengaruhi oleh suasana kebathinannya dan suasana lingkungan ia bekerja dan sosialnya.

Dalam kondisi seperti ini, banyak yang mengalami frustasi, artinya motif yang kuat dalam dirinya kalah dengan suasana lingkungannya. Kalau sebelumnya ia memiliki motif positif dalam dirinya, ia harus meninggalkannya karena suasana lingkungan lebih memilih motif negatif. Sebaliknya motif negative yang ada dalam dirinya hilang karena terpengaruh suasana lingkungannya yang mendorong kuat arus motif positif. Karena itu system social yang baik, dan kuat mengikat dalam system social dimana individu ada (tempat kerja dan masyarakat) maka system social yang baik itu berkemampuan untuk menghadirkan individu-individu yang baik pula, karena yang ter-internasisasi terhadap individu-individu adalah norma dan nilai yang baik itu. Demikian sebaliknya. Perubahan individu dengan lingkungan dengan cara adaptasi untuk hidup yang lebih baik dalam arti positif disebut autoplastis, tetapi kalau adaptasi yang dilakukan menuju perubahan individu yang negative itu namanya alloplastis.

Disamping itu, adanya sterotipe masyarakat yang yang salah, bawa seorang pegawai negeri itu memiliki status social dan ekonomi yang tinggi, stereotype ini mendorong untuk membuktikannya walau dengan cara yang instan dan tidak terpuji, serta mendorong perilaku koripsi. Kondisi yang demikian ini dapat dijelaskan seperti apa yang akhir-akhir ini menjadi focus berita seluruh media di Indonesia. Konon Kementrian Keuangann RI, yang telah melakukan ‘reformasi birokrasi’ dengan bonus ‘renumerasi’ yang berarti digaji tinggi, menghebohkan karena toh masih ada perilaku aparat birokrasi yang tidak terpuji, karena masih korupsi, memperkaya diri, dengan mencuri, dari uang pajak negeri ini, akhirnya ditangkap polisi, atas pernyataan Susno Duadji, dan itu tidak sendiri, ramai-ramai dari staf sampai direksi.

Mereformasi perilaku aparat birokrasi akan sia-sia manakala rekruitmen aparat birokrasi tidak dilakukan secara bersih dan bebas dari KKN yang menjadi idiom era reformasi. Sudah menjadi omongan masyarakat bahwa untuk menjadi PNS tidak gratis (walau tidak semuanya), omongan ini semakin ramai dan mendekati kebenaran tatkala pengakuan tersangka penipuan CPNS, Joko Suparno cs yang menyebutkan bahwa ada 200 PNS dilingkungan Penprov Jatim lewat jalur belakang, walau sudah dibantah oleh BKDnya (Surya, 10/11/2010). Kondisi ini akan menciptakan perilaku aparat birokrasi yang kurang baik, karena waktu ia masuk kan tidak gratis, jadi sulit untuk memberikan ‘pelayanan publik’ nya secara gratis.

Untuk memperkuat system social yang memiliki motif positif secara kuat dilingkungan aparat birokrasi, memang tidak cukup dengan instrument regulasi, karena selama ini, aparat birokrasi yang sudah senyawa dengan instrument regulasi, tahu bagaimana menyiasatinya. Pengawasan eksternal dan internal juga sudah jelas mekanismenya, bahkan ada istilah pengawasan melekat, justru semakin melekat erat dan tersimpan rapat.

Terkait upaya pengawasan, pemerintah telah mengeluarkan PP No. 60 tahun 2008 tentang Sistem Pengawasan Intern Pemerintah/SPIP tanggal 28 Agustus 2008 untuk menjawab tantangan birokrasi pemerintahan, dan sekaligus sebagai penjabaran Pasal 58 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, yakni Presiden selaku Kepala Pemerintahan mengatur dan menyelenggarakan sistem pengendalian intern di lingkungan pemerintahan secara menyeluruh.

Pada Pasal 4 PP tersebut menyebutkan bahwa : Pimpinan Instansi Pemerintah wajib menciptakan dan memelihara lingkungan pengendalian yang menimbulkan perilaku positif dan kondusif untuk penerapan Sistem Pengendalian Intern dalam lingkungan kerjanya, melalui : penegakan integritas dan nilai etika ; komitmen terhadap kompetensi; kepemimpinan yang kondusif; pembentukan struktur organisasi yang sesuai dengan kebutuhan ; pendelegasian wewenang dan tanggung jawab yang tepat; penyusunan dan penerapan kebijakan yang sehat tentang pembinaan sumber daya manusia; perwujudan peran aparat pengawasan intern pemerintah yang efektif; dan hubungan kerja yang baik dengan Instansi Pemerintah terkait.


Pengawasan yang efektif adalah pengawasan internal yang melekat, yaitu pengawasan dari diri setiap individu yang melekat dalam hati nuraninya. Caranya dengan meng-internasilasi seluruh peraturan perundangan tentang kepegawaian itu kepada setiap individu aparat (tanpa membedakan jenjang jabatan), yaitu pemahaman terhadap peraturan berbanding lurus dengan perilaku tugasnya sebagai aparat.

Demikian juga pemahaman keyakinan yang dianutnya berbanding lurus dengan perilakunya. Karena tidak ada peraturan berperspektif buruk, dan juga tidak ada agama yang mengajarkan amalan buruk. Ini akan lebih baik kalau diawali oleh jajaran tingkat pimpiman, karena budaya kita adalah budaya paternalistic yang mengembangkan budaya anutan dan komunikasi keteladanan. Insa-Allah.

Akhirnya, saya ucapkan Dirgahayu KORPRI dan Selamat Hari Jadi Kabupaten Malang, 28 Nopember 2010. Marilah kita laksanakan apa yang telah diamanatkan kepada kita sebagaimana mustinya, tidak kurang dan tidak lebih, seperti yang difimankan Allah SWT : “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. [ Q.S. An-Nisaa’ (4):58] ******* ( Malang, 07/11/1020)

Label:

HK, Erros in Persona

16.45 / Diposting oleh Drs. Achmad Chambali Hasjim, SH / komentar (0)

ERROR IN PERSONA

Diposting : Drs. Ach. Chambali Hasjim, SH.


A. ERROR IN PERSONA dan ABERATIO ICTUS.

1. Error in persona,

Adalah suatu dawling, suatu salah faham atau kekeliruan dari pihak terdakwa terhadap orang yang akan dituju. Jalah sasaran tentang obyek perbuatan.

Umpamanya, akan membunuh A, tetapi yang terbunuh adalah B, karena yang ia anggap A tersebut sesungguhnya adalah B.

Dalam keadaan semacam itu dikatakan bahwa terdakwa tidak mempunyai kesengajaan untuk membunuh B. -- Apakah terdakwa dapat dipidana ?, tergantung dakwaannya. Kalau terdakwa didakwa telah membunuh B, tidak dapat dipidana, oleh karena memang kesengajaannya untuk itu tidak ada, yang ada adalah untuk membunuh A. Seharusnya didakwakan telah membunuh orang lain, yang ternyata B.----------- Rumusan KUHP Pasal 338 hanya mensyaratkan matinya orang lain (lain dari pada terdakwa). ------------ Jadi error in persona tersebut tidak membawa akibat apa-apa.

Lain halnya kalau kualitas obyek menjadi unsur delik, --- misalnya penghinaan terhadap Kepala Negara (Pasal 134), --penghinaaan yang ditujukan kepada kepala negara, tetapi orang itu bukan kepala negara, maka ia tidak bisa didakwa dengan pasal 134, sebaliknya menghina seseorang dan orang itu ternyata kepala negara, ia dikenakan pasal 134.


2. Aberatio ictus. --

Dalam aberatio ictus, terdakwa tidak salah paham, tidak ada dawling, memang tetap terjadi salah sasaran atas pebuatannya yang menimbulkan perbuatan melawan hukum.

Misalnya, terdakwa akan membunuh A, tetapi A sudah tahu bahwa ia akan akan dibunuh (misalnya dengan senjata tajam) sehingga A sempat menghindar tatkala parangnya diayunkan oleh terdakwa, malangnya parang tersebut melukai (sampai mati) B, ---- disini tidak ada salah faham, yang ada adalah bahwa jalannya kausal menjadi berbeda dengan apa yang dikehendaki terdakwa. Dalam hal ini terdakwa dapat dituntut karena percobaan pembunuhan atau percobaan penganiayaan terhadap A.


3. Dolus Praemeditatus (Voorbedachte raad )

Unsur dolus praemeditatus, adalah merupakan delic yang diterjemahkan sebagai " dengan rencana lebih dahulu" yaitu yang menentukan bahwa doodslag (pembunuhan) yang dilakukan dengan "voorbedachte raad" dinamakan " moord" ( pembunuhan direncanakan ) dan diancam dengan pidana lebih berat dari pembunuhan biasa.

Dalam pasal 338 ,--- pembunuhan biasa diancam pidana penjara paling lama 15 tahun.--- sedang pasal 340 -- moord, diancam hukuman mati, seumur hidup atau selama 20 tahun. ****

Diposting tanggal 28 Juli 2010




Label:

HK, Kealpaan (Culpa)

16.40 / Diposting oleh Drs. Achmad Chambali Hasjim, SH / komentar (0)

KEALPAAN ( CULPA )

Diposting : Drs. Ach. Chambali Hasjim, SH.



A. KEALPAAN ( CULPA )


Pasal 359 KUHP, dapat dipidananya orang yang menyebabkan matinya orang lain karena kealpanaanya. sedang pada pasal 338 KUHP : dengan sengaja menyebabkan matinya orang lain.


Dalam kealpaan kurang mengindahkan larangan sehingga tidak berhati-hati dalam melakukan sesuatu perbuatan yang obyektif kausal menimbulkan keadaan yang dilarang. ( Dalam kesengajaan sikap batin orang menentang larangan ).

Kealpaan mengandung dua syarat ( Van Hamel ) :
1) tidak mengadakan penduga-duga sebagaimana diharuskan oleh hukum ;
2) tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum.

1. Tidak Mengadakan Penduga-duga Yang perlu menurut Hukum.

Ada dua kemungkinan :

  • a) terdakwa berpikir bahwa akibat tidak akan terjadi karena perbuatannya, padahal pandangan itu kemudian ternyata tidak benar ( kekeliruan terletak pada salah pikir atau pandang, yang seharusnya disingikiri) atau
  • Contoh : naik sepeda dijalan yang ramai dia tetap jalan dengan kencang karena dia merasa pandai mengemudikan sepeda motor tersebut, ternyata dia menbrak orang. Seharusnya perbuatan itu tidak dilakukan walau ia pandai mengendarai motor karena jalanan ramai dan kemungkinan menbrak orang. Disini kemungkinan itu diinsyafi, tetapi tidak dindahkan, karena merasa pandai. Ini merupakan kealpaan yang disadari ( bewuste culpa ).
  • b) terdakwa sama sekali tidak mempunyai pikiran bahwa akibat yang dilarang mungkin timbul karena perbuatannya (kekeliruan terletak pada tidak mempunyai pikiran sama sekali bahwa akibat mungkin akan timbul, hal mana adalah sikap yang berbahaya ).
  • Contoh : naik sepeda motor, padahal ia belum paham cara mengendarainya, waktu dijalan yang menukik dia tak bisa mengendalikan sehingga menabrak orang. Disini tidak terlitas bahwa ia akan menabrak orang, padahal seharusnya kemungkinan diketahui sehingga ia tidak sendirian. Ini merupakan kealpaan yang tidak disadari (onbewuste culpa)

2. Tidak Mengadakan Penghati-hati Sebagaimana Diharuskan Oleh Hukum .

Syarat yang kedua ini penting dalam membuktikan kealpaan. Sesungguhnya kalau syarat kedua ini sudah ada, makapada umumnya syarat yang pertama juga sudah ada, karena : barang siapa dalam melakukan suatu perbuatan tidak mengdakan penghati-hati yang seperlunya, maka dia juga tidak menduga-duga akan terjadi akibat yang tertentu itu karena kelakuannya.


Dapatkah culpa hapus karena kealpaan orang lain ?
 Culpa tidak hapus begitu saja karena kealpaan/kesalahan orang lain, Karena pembarengan culpoos, dalam hal demikian keduanya bertanggungjawab atas akibat dari kesalahan itu, karena justru oleh perbuatan mereka bersama-sama itulah terjadi perbuatan melawan hukum.

Delict Culpoos Yang Sesungguhnya dan Yang Tidak Sesungguhnya.

Delict Culpoos yang sesungguhnya adalah rumusan-rumusan kejahatan dalam KUHP kesalahan yang berbentuk kealpaan dirumuskan secara materiil ---- seperti pada Pasal-pasal 188, 344, 360, 231 (4), 232 (2).


Delict Culpoos yang tidak sesungguhnya, yaitu doles yang salah satu unsurnya diculpakan ( misal pada pasal 287 --a/ mensetubuhi perempuan yang diketahui belum umur 15 tahun --delict dolus biasa ; b/ …diduga selayaknya belum umur 15 tahun -----delict yang diculpakan.
****

Diposting tanggal 28 Juli 2010.




Label:

HK, Kesengajaan (Dolus)

16.35 / Diposting oleh Drs. Achmad Chambali Hasjim, SH / komentar (0)

KESENGAJAAN ( DOLUS)
Diposting : Drs. Ach. Chambali Hasjim, SH.


A. KESENGAJAAN. ( DOLUS )

Penjelasan mengenai kesengajaan tidak ada keterangan dalam KUHP. Dalam KUHP Swiss pada Pasal 18 dengan tegas disebutkan : " Barang siapa melakukan perbuatan dengan mengetahui dan menghendakinya maka dia melakukan perbuatan itu dengan sengaja. ( Prof. Moeljatno, SH, Asas-Asas Hukum Pidana hal 171 )

Untuk menulusri perbuatan 'sengaja' (dikehendaki dan diketahui) tersebut dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu :

a) Teori Kehendak (wilstheorie), sebagai teori klasik, memberikan pengertian kesengajaan adalah kehendak yang diarahkan pada terwujudnya perbuatan . Kehendak merupakan arah, maksud atau tujuan, hal mana berhubungan dengan motif (alasan pendorong untuk berbuat) dan tujuannya perbuatan. Konsekuensinya, untuk menentukan bahwa suatu perbuatan dikehendaki oleh terdakwa :
  • 1) harus dibuktikan bahwa perbuatan itu sesuai dengan motifnya untuk berbuat dan tujuannya yang hendak dicapai.
  • 2) antara motif, perbuatan dan tujuan harus ada hubungan kausal dalam batin terdakwa (kalau perbuatan itu dilakukan karena sakit hati misalnya, jelas itu perbuatan yang disengaja)
Cara seperti ini tidak mudah, apabila kasusnya besar, tidak masalah, tapi bila kasus kecil waktunya terlalu panjang.


b) Teori Pengetahuan (voorstellingstheorie), diajarkan oleh Frank (Jerman 1910). ---- Dalam pendekatan ini, pengetahuan (mengenai gambaran, tentang apa yang ada dalam kenyataan, jadi mengerti, mengetahui) berhubungan dengan unsur-unsurnya perbuatan yang dilakukan saja. Tidak ada hubungan kausal antara motif dengan perbuatan. Hanya berhubungan dengan pertanyaan : apakah terdakwa mengetahui, menginsyafi, atau mengerti perbuatan, yaitu kelakuan yang dilakukan, maupun akibat dan keadaan-keadaan yang menyertainya ?

Cara ini lebih singkat, namun sebaiknya digunakan dua pendekatan baik pendekatan kehendak maupun pendekatan pengetahuan, tentu hasil pembuktian mengenai 'kesengajaan' tersebut akan maksimal

Dalam kesengajaan ada tiga corak, yaitu :
  • a) kesengajaan sebagai maksud , yaitu hubungan antara perbuatan dengan kehendak atau vilition terdakwa.
  • b) kesengajaan sebagai kepastian (mengenai akibat perbutannya) ;
  • c) kesengajaan sebagai kemungkinan / dolus eventulis (kemungkinan akibat yang timbul dari perbuatannya ).

Mengenai akibat dan keadaan yang menyertai akibat perbuatan terdakwa, meskipun dinsyafi adanya dan kemungkinan adanya ketika berbuat (corak kesengajaan sebagai kepastian dan kesengajaan sebagai kemungkinan) mungkin pula tidak dikehendaki. Untuk menjelaskan ini ada pendekatan 'Teori Apa Boleh buat ' (inkauf nehmen), disini dijelaskan kemungkinan yang timbul akibat perbuatan sudah diketahui tetapi yang terjadi diluar dugaannya. menurut teori ini, untuk adanya kesengajaan diperlukan dua syarat :
  • a) terdakwa mengetahui kemungkiinan adanya akibat/keadaan yang merupakan delik ;
  • b) sikap terhadap kemungkinan itu andaikata sungguh timbul, ialah apa boleh buat, dapat disetujui dan berana menanggung resiko. ****
Diposting tanggal 28 Juli 2010.



Label:

HK, Daya Paksa & Pembelaan Terpaksa

16.29 / Diposting oleh Drs. Achmad Chambali Hasjim, SH / komentar (0)


DAYA PAKSA DAN PEMBELAAN TERPAKSA
Diposting : Drs. Ach. Chambali Hasjim, SH.


A. TENTANG DAYA PAKSA DAN PEMBELAAN TERPAKSA.


1. Daya paksa / Darurat ( Overmacht )

Pasal 48 KUHP berbunyi : Barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa tidak dipidana.

Kata "daya paksa" disini terjemahan dari kata "overmacht" (Belanda) yang artinya kekuatan atau daya yang lebih besar. Engelbrecht menyalin pasal tersebut dengan kalimat " Tidak boleh dihukum barang siapa melakukan perbuatan karena terdorong oleh berat lawan.

Daya paksa atau daya yang memaksa secara mutlak sehingga tidak dapat menghindarinya tersebuit dapat berupa paksaan pisik yang disebut "vis absoluta" dapat juga berupa paksaan psykhis atau "vis compulsiva"

Keadaan daya paksa vis compulsiva dibagi 2 :
  • a) Daya paksa dalam arti sepit (overmacht in enge zin), dimana sumber atau musababnya paksaan keluar dari orang lain/datang dari orang yang memberi tekanan.
  • b) Daya paksa keadaan darurat (nood toestand), dimana daya paksa tadi tidak disebabkan oleh orang lain, tetapi timbul dari keadaan-keadaan yang tertentu / orang yang terkena, bebas untuk memilih perbuatan mana yang akan dilakukan, inisiatif ada pada disinya sendiri.

Dalam keadaan darurat biasanya timbul 3 kemungkinan perbuatan :
  • a) Terjepit antara dua kepentingan (---alasan pembenar). Disini ada dua konflik kepentingan yang satu dengan kepentingan yang lain. (---misal contoh klasik papan Karneades (Yunani Kuno). Begitu kapalnya pecah Karneades bersama seorang lainnya berpeganagan sebuah papan yang hanya mampu menopang satu orang, kemudian Karneades mendorong orang itu dan tenggelam di laut.
  • b) Terjepit antara kepentingan dan kewajiban (---alasan pembenar) Miasal karena sudah tidak makan beberapa hari, tak tahan lapar maka ia mencuri roti. --------- Disini, disatu sisi dia berkepentingan untuk makan, disisi lain ida punya kewajiban mentaati peraturan tidak boleh mencuri.
  • c) Terjepit diantara dua kewajiban (---alasan pemaaf ) Disini ada konflik dua kewajiban yang sama-sam,a harus dijalani pada waktu yang bersamaan, sehingga dia terpaksa mengabaikan kewajiban yang satu untuk memenuhi kewajiban yang satunya lagi.


B. PEMBELAAN TERPAKSA DAN PEMBELAAN TERPAKSA MELAMPAUI BATAS.

1. Pembelaan terpaksa ( Noodweer )
Pasal 49 ayat (1) KUHP : Barang siapa terpaksa melakukan perbuatan untuk pembelaan karena ada serangan dan ancaman ketika itu yang melawan hukum terhadap dirinya sendiri maupun orang lain terhadap kehormatan kesusilaan (eerbaarheid) atau harta benda sendiri maupun orang lain, tidak dipidana.

Perbuatan untuk membela yang dimaksud pasal 49 (1) tersebut meliputi tiga persoalan pokok yang menyangkut perbuatan untuk membela, yaitu :
  • a) harus berupa pembelaan, artinya harus ada hal-hal memaksa terdakwa melakukan perbuatannya ;
  • b) kepentingan macam apa saja yang harus diserang (diri atau badan orang ; kehormatan-kesusilaan ; harta benda orang )
  • c) serangannya harus bersifat melawan hukum.

Pembelaan terpaksa tersebut dilakukan dengan memenuhi syarat :
  • a) harus ada serangan atau ancaman serangan ;
  • b) harus ada jalan lain untuk menghalau serangan atau ancaman serangan pada saat itu, dan
  • c) perbuatan pembelaan harus seimbang dengan sifatnya serangan atau ancaman serangan.

Bagaimana kalau ada orang mengira ada serangan, padahal senyatanya tidak, dan dia melakukan pembelaan terpaksa menurut pasal 49 ayat (1) tersebut ? ---- Perbuatan ini dinamakan pembelaan terpaksa yang putatif yang hanya dalam pikirannya sendiri saja tapi sesungguhnya tidak ada apa-apa. Perbuatan ini tetap salah, hanya saja 'salah sangka' atau salah terkanya' harus dibuktikan dulu.



2. Pembelaan Terpaksa Yang melampaui Batas ( Noodweer-ekses ).


Pasal 49 (2) KUHP: Melampaui batas pertahanan yang sangat perlu, jika perbuatan itu dengan sekonyong-konyong dilakukan karena perasaan tergoncang dengan segera pada saat itu juga, tidak boleh dihukum


Dalam noodweer-ekses tidak ada salah terka, tidak ada salah sangka, disini betul-betul ada serangan yang bersifat melawan hukum, tetapi reaksinya keterlaluan / melampaui batas, tidak seimbang dengan sifat seranagannya. Dalam hal ini terdakwa dapat dihindari dari pidana apabila dapat dibuktikan bahwa eksesnya tadi langsung disebabkan oleh kegoncangan jiwa yang hebat, sehingga karena ada tekanan dari luar itu fungsi bathinnya menjadi tidak normal lagi (---- alasan pemaaf). ****

Diposting tanggal 28 Juli 2010





Label:

HK, Kelakuan dan Alasan

16.21 / Diposting oleh Drs. Achmad Chambali Hasjim, SH / komentar (0)

KELAKUAN DAN ALASAN
Diposting : Drs. Ach. Chambali Hasjim, SH.


A. KELAKUAN POSITIF DAN KELAKUAN NEGATIF.


Yang dijelaskan dengan teori Equuevalensi, teori menggenalisasi, indivsualisasi dan teroi obyektif dan subyektif nachtragliche progonosa diatas merupakan "kelakuan posisit" yaitu berbuat sesuatu dengan sengaja (misalnya …dengan sengaja menyebabkan kematian seseorang (Pasal 338 KUHP). Sedangkan "kelakuan negatif" adalah perbuatan yang karena kelalaian/ kealpaan yang berakibat sesuatu ( misalnya ---- dapat dipidana orang yang menyebabkan matinya orang lain karena jealpaan-----Pasal 359 KUHP).



B.ALASAN PEMBENAR, ALASAN PEMAAF, ALASAN PENGAHPUS PENUNTUTAN


Dalam KUHP tidak ada istilah alasan pembenar, alasan pemaaf dan alasan penghapusan penuntutan. Pada KUHP Buku Pertama Titel III dalam Pasal 44 - 52 dikenal istilah pengecualian, pengurangan dan penambahan hukuman.

 Dalam teori hukum pidana biasanya alasan-alasan yang menghapuskan pidana dibedakan menjadi :
  • a) Alasan Pembenar (Rechtsvaardigingsgronden) : yaitu menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, sehingga menjadi perbuatan yang benar.. ------- Dalam KUHP seperti pada Pasal 49 (1) : Pembelaan terpaksa (Noodweer), Ps. 50 : melaksanakan ketentuan undang-undang ; Ps 51 (1) : melaksanakan perintah dari atasan.
  • b) Alasan Pemaaf (Schulduitsluitingsgronden) : yaitu menghapuskan sifat kesalahan dari terdakwa meskipun perbuatannya bersifat melawan hukum tetapi tidak dipidana. ------- Dalam KUHP seperti pada Pasal 49 (2): pembelaan yang melampaui batas .
  • c) Alasan Penghapus Penuntutan (Onvervolgbaarheid) : Disini soalnya bukan ada alasan pembenar atau alasan pemaaf, dan tidak ada juga dilihat dari sifat perbuatannya. Penghapusan penuntutan pertimbangannya dilihat dari segi untuk kepentingan umum ---- Misalnya dalam KUHP Pasal 53, kalau terdakwa dengan suka rela mengurungkan niatnya percobaan untuk melakukan sesuatu kejahatan ; juga pada Pasal 51 (1) melaksanakan perintah atasan / perintah jabatan.

****
Diposting tanggal 28 Juli 2010.


Label:

HK, Asas Hukum Pidana

16.17 / Diposting oleh Drs. Achmad Chambali Hasjim, SH / komentar (0)

ASAS DALAM HUKUM PIDANA
Diposting : Drs. Ach. Chambali Hasjim, SH.


A. ASAS-ASAS YANG TERKANDUNG DALAM HUKUM PIDANA.

1. Asas Legalitas ( Principle of legality )
Tiada suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang, yang ada terlebih dahulu dari pada perbuatan itu (Pasal 1 ayat : 1 KUHP) -- Nullum dellictum nulla poena sine praevia lege---Von feuerbach (Jerman, 1775 - 1833) mengucapkankannya dalam pepatan latin yang artinya "tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dulu".

Asas legalitas mengandung tiga pengertian / konsekuensi :
  • a) Perbuatan pidana (delik) tidak boleh diancam dengan pidana bila perbuatan itu belum dinyatakan dalam peraturan perundang-undangan. ( Perbuatan pidana seseorang harus diadili meneurut aturan yang berlaku pada waktu perbuatan dilakukan / Lextermporis delicti.
  • b) Untuk menentukan adannya perbuatan pidana (delik) tidak boleh digunakan analogi (kiyas).
  • c) Aturan-aturan hukum pidana tidak boleh berlaku surut (Retroaktif)

2. Asas Tidak Retroaktif (Tidak Berlaku Surut).
Yaitu perbuatan pidana (delik) yang terdahulu tidak boleh dipidana dengan peraturan yang berlaku sekarang.

Hukum pidana tidak boleh retroaktif, dikarenakan berakibat tidak ada kepastian hukum yang menimbulkan kesewenang-wenangan penguasa.

Jikalau undang-undang diubah, setelah perbuatan itu lakukan, maka kepada tersangka dikenakan ketentuan yang menguntungkan terdakwa ( Pasal 1 ayat : 2 KUHP).


B. KEKUASAAN BERLAKUNYA HUKUM POSITIF.

1. Bersifat negatif : berlakunya hukum pidana menurut waktu (asas legalitas)
2. Bersifat positif : berlakunya hukum pidana menurut tempat.

Berlakunya Hukum Pidana yang bersifat positif (yang berhubungan dengan tempat ) ada 4 asas :
  • a) Asas Teritorial : Ketentuan pidana berlaku bagi perbuatan pidana yang terjadi di dalam wilayah negara (baik dilakukan oleh warga negara asing maupun werga negaranya sendiri) ---- (lihat Pasal 2 KUHP) --- Wilayah Indonesia menurut hukum, termasuk kapal (kendaraan air dan pesawat udara) indonesia ---(lihat pasal 3 KUHP)
  • b) Asas Nasional Aktif / Personaliteit : Ketentuan pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana (delik) yang dilakukan oleh warga negara dimana saja dia berada (baik diluar wilayah negaranya)--- Pasal 4 KUHP. Warga Negara Indonesia yang melakukan tindak pidana di luar Indonesia berlaku ketentuan hukum pidana Indonesia --- Pasal 5 KUHP.
  • c) Asas Nasional Pasif : Ketentuan pidana berlaku bagi siapa saja yang melakukan perbuatan pidana, merugikan kepentingan nasional / negara.
  • d) Asas Universal : Ketentuan pidana berlaku bagi siapa saja yang melakukan perbuatan pidana yang merugikan kepentingan internasional, dan telah tertangkap oleh Indonesia, maka berlaku ketentuan KUHP.


C. TEORI KAUSALITET.
1. Teori "Conditio Sien Qua Non " / Equevalensi : yaitu tiap-tiap syarat nilainya sama untuk timbulkan akibat, hilang salah satu syarat akan lain akibatnya.

2. Teori " Menggenalisir / Generalisasi " : yaitu akibat dari suatu kejadian adalah syarat yang pada umumnya secara normal dapat/mampu menimbulkan akibat / kejadian tersebut.

3. Teori " Mengindividualisir / Individualisasi " : yaitu akibat dari suatu kejadian tersebut, disebabkan apa yang paling kuat menimbulkan akibat tersebut.

4. Teori " Obyektive Nachtragliche Prognosa " : yaitu dilakukan dengan mengingat keadaan-keadaan sesudah terjadinya akibat.

5. Teori " Subyektive Nachtragliche Prognosa " : yaitu sebab-sebab kejadian itu banyak dipengaruhi oleh pengetahuan terdakwa.

*****
Diposting tanggal 28 Juli 2010


Label:

HK, Delik

16.08 / Diposting oleh Drs. Achmad Chambali Hasjim, SH / komentar (0)


PERBUATAN PIDANA ( DELIK )
Diposting : Drs. Ach. Chambali Hasjim, SH.


A. PERBUATAN PIDANA ( DELIK ).

Pengertian :
Delik adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut ( larangan tersebut ditujukan pada suatu perbuatan, yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang)


Unsur-unsur perbuatan pidana :
a) kelakuan dan akibat ( perbuatan manusia ) ;
b) keadaan tertentu yang menyertai perbuatan ;
c) keadaan tertentu yang memberatkan pidana ;
d) sifat melawan hukum yang obyektif (melakukan kesalahan )
e) sifat melawan hukum yang subyektif ( sikap batin terdakwa )
-- Unsur perbuatan subtyektif, melekat pada pelakunya, sedangkan ---
-- Unsur obyektif melekat pada perbuatannya.

Unsur Pokok Delik adalah Sifat Melawan Hukum.
Artinya :
  • a) Sifat melawan hukum secara formal : yaitu suatu tindak pidana itu ada atau tidak sifat melawan hukum hanya didasarkan atas undang-undang.
  • b) Sifat melawan hukum secara material : yaitu suatu tindak pidana itu bersifat melawan hukum dapat didasarkan atas undang-undang atau tidak tercantum dalam undang-undang.

Indonesia menganut sifat melawan hukum secara materiil dalam fungsinya yang negatif, yaitu bahwa hapusnya sifat melawan hukum hanya atas dasar undang-undang atau tidak tercantum dalam undang-undang


Oleh karena itu Hukum Adat masih dihormati, bila dalam KUHP ada maka KUHP yang dipakai, bila tidak ada, hakim dapat menggunakan hukum adat dengan pidana maksimal 3 bulan sebagai sanksi pidana adat.

Beberapa jenis pengertian delik.
  • a) Delic Dolus, merupakan tindak pidana adanya unsur kesengajaan ( misalnya : " dengan sengaja melukai orang ---- Pasal 354 KUHP ).
  • b) Delic Culpa, merupakan tindak pidana karena adanya unsur kealpaan ( misalnya : …karena kealpaan menyebabkan kebakaran …" Ps. 189 KUHP).
  • c) Delic Comissionis, malkukan perbuatan sesuatu yang dilarang oleh undang-undang (misalnya : mencuri …./ Pasal 362 KUHP )
  • d) Delicta Comissionis, adalah keharusan berbuat sesuatu, tetapi malah tidak berbuat sesuatu ( misalnya : seorang ibu tidak memberi makan anaknya )
  • e) Delic Biasa, merupakan tindak pidana biasa ( seperti mencuri )
  • f) Delic kualifikasi, atau delik yang dikhususkan, merupakan tindak pidana biasa yang disertai unsur-unsur lain yang memberatkan pidananya ( misalnya : mencuri dengan kekerasan / curas ).
  • g) Delic Menerus, adalah perbuatan yang dilarang menimbulkan keadaan yang berlangsung terus menerus ( misalnya : menyekap/menahan/merampas kemerdekaan orang secara tidak sah --- Pasal 333 ayat : 2,3).
  • h) Delic Tidak Menerus , merupakan perbuatan yang dilarang menimbulkan keadaan yang berlangsung tidak terus menerus --- ( lihat Pasal 333- ayat : 1)
  • i) Delic Aduan, adalah delik yang penuntutannya digantungkan pada syarat pengaduan ( adanya pengaduan )

Delik aduan absolut, titik beratnya pada tindak pidanya, sekali diadukan kejahatannya tidak dapat dipisah-pisah.(misalnya : pemerasan, penghinaan, dll ).

Delik Aduan Relatif, titik beratnya pada pelakunya, sehingga penuntutannya dapat dipecah-pecah, mana yang dituntut mana yang tidak ( misalnya : penipuan, pemerasan, pencurian yang melibatkan anggota keluarga korban) ------ delik ini merupakan delik biasa, hanya ada terdakwa yang masih anggota korban.

Locus Delicti dan Tempus delicti.
Locus Delicti, diketahui untuk menentukan :
  • a) apakah hukum Indonesia berlaku terhadap perbuatan pidana tersebut atau tidak ( berhubungan Pasal 2 -8 KUHP )
  • b) pengadilan mana yang berwenang mengurus perkara tersebut ( berkaitan ddengan kompetensi relatif ).

Tempus Delicti, berkaitan dengan :
a) Pasal 1 --- KUHP : asas legalitas ;
b) Pasal 44 --- KUHP : apakah terdakwa mampu bertanggung jawab ;
c) Pasal 45 --- KUHP : apakah terdakwa sudah usia 16 tahun /belum ;

Bila belum 16 tahun, ada 3 kemungkinan :
a) dikembalikan keorang tuanya tanpa dipidana
b) dimasukkan kerumah pendidikan anak nakal oleh pemerintah ;
c) dipidana seperti orang dewasa, hukumannya dikurangi 1/3 nya.***

Diposting tanggal 28 Juli 2010.




Label: