Mengapa Harus Korupsi

21.20 / Diposting oleh Drs. Achmad Chambali Hasjim, SH / komentar (0)


MENGAPA HARUS KORUPSI
(Renungan Hari Kemerdekaan 17 Agustus 2012)
Oleh : Drs. Ach. Chambali Hs.SH
Korupsi, yang popular diera reformasi, rasanya sudah menjadi komoditas dari industry informasi yang tiap hari dilansir melalui media baik eletronik maupun cetak dan sepertinya tak pernah akan berujung.
Perilaku korupsi memang bukan hal baru bagi masyarakat dunia, termasuk Indonesia dari sejak jaman dahulu kala. Dijaman kerajaan, ada isitilah “upeti” untuk para kalangan punggawa kerajaan. Upeti diberikan secara sukarela dengan pamrih tertentu, ataupun karena tekanan baik secara lahiryah melalui kekerasaan fisik  atau secara bathin dengan ancaman dan terror.
Pada rezim orde baru, korupsi kurang popular, bukan berarti tidak ada, hal ini karena beberapa sebab, salah satunya adalah kuatnya proteksi terhadap media atas pemberitaan yang tak sedap, yang berkaitan dengan para birokrat atau kehidupan pemerintahan dan kenegaraan, sehingga tidak muncul kepermukaan. 
Rezim orba tidak bersih dari korupsi, dapat dibuktikan dengan melakukan penyelidikan terhadap harta yang dimiliki oleh para mantan pejabat di era orde baru dengan menggunakan system pembuktian terbalik. Bagi seseorang yang memiliki pendapatan tetap, seperti para birokrat, pekerja kantoran baik swasta maupun negeri, buruh tetap, dll dapat dihitung “home pay” nya pada setiap bulan, sesudah dikeluarkan untuk kebutuhan hidupnya, dan sisanya yang ditabung berapa.  Orang boleh beralasan punya usaha sampingan, dengan system pembuktian terbalik, semua itu akan terbukti dengan sendirinya.
Pada rezim orba, yang popular adalah “pungli atau pungutan liar” kalau saat ini disebut “gratifikasi”. Pemberantasan “pungli” menjadi ‘icon” Pak Sudomo selaku Kopkamtib, walau cuma kenceng di gaungnya, atau hanya tajam kebawah, tetapi tumpul keatas. Makanya saat itu biar tidak dikatakan pungli, apabila akan menggalang dana sumbangan masyarakat harus dengan label “ susutante” atau sumbangan suka rela tanpa tekanan.
Perilaku korup dinegeri ini sudah sangat memprihatinkan, lebih-lebih saat ini kecenderungannya bukan menyusut tapi semakin membesar.  Bahkan lebih memprihatinkan lagi bahwa adanya ‘suksesi generasi penerus koruptor”. Kalau saja generasi korupsi terjadi pada kelompok usia lima puluh keatas, yah secara alami segera akan berakhir, tetapi dengan melihat Gayus, dan temen-temen seangkatannya, maka pewarisan kultur korup benar-benar berjalan mulus. Subhanalloh.
Kenapa orang melakukan korupsi, gratifikasi atau manipulasi” ? satu pertanyaan besar yang berkecamuk dibenak kita yang galau akan masa depan bangsa. Kalau didekati secara psikologi social, bangsa ini memang banyak mengalami pergeseran norma social , cara pandang, kultur dari rezim ke rezim selaras dengan perkembangan yang ada, yang kurang diantisipasi dampak ikutannya.
Kalau dalam rezim pasca kemerdekaan (kemudian disebut dengan orde lama), kehidupan berbangsa dan bernegara masih lebih pada penataan suatu bangsa yang baru merdeka, sehingga arus deras yang ada adalah seputar “kehidupan politik bangsa”,  gesekan lebih pada hal-hal yang berkaitan dengan kekuasaan politik bangsa, karena masalah ekonomi masih minim.
Mengambil pengalaman itu, rezim orde baru setelah menggantikan rezim orde lama menasbihkan diri “ekonomi sebagai panglimanya pembangunan”.  Hal ini bukan salah, karena masalah perut adalah masalah yang akan memberikan kenyamanan warga bangsa setelah merdeka dari penjajahan yang sangat panjang. Untuk mewujudkan politik ekonomi kita itu berkiblat pada barat atau “Amerika yang kapitalistik” dengan tangan kanannya yang bernama “Word Bank dan IMF”.
Dengan sponsor kedua lembaga dunia yang dibaliknya ada negara kapitalis AS, Indonesia didorong dengan ambisi dari kedua lembaga tersebut, tanpa mempertimbangan kultur social budaya masyarakat Indonesia untuk mengakslerasi pertumbuhan ekonominya, bermodal utang dari kedua lembaga tersebut tanpa memperhatikan tingkat kelayakannya, telah mendorong tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia sampai 8 persen pertahun sebelum dilanda krisis tahun 1998, sedang AS saja saat itu hanya bisa tumbuh 3 – 4 persen. Sehingga Indonesia mendapat predikat “Singa ekonomi di Asia tenggara saat itu.
Dari semua itu, disinilah sebenarnya awal pergeseran norma social, cara pandang dan kultur masyarakat Indonesia dari yang agraris, yang kental dengan kesantunan, kegotongroyongan, dan agamis mulai bergeser pada nilai-nilai yang individualis, matrealis dan kapitalis.  Sukses Negara dibidang ekonomi, akhirnya menjadi rujukan dan persepsi masyarakat dalam menilai kesuksesan seseorang.  Persepsi masyarakat terhadap kesuksesan seseorang di ukur secara kapitalistik dan matrealistik, bahwa “orang yang sukses adalah orang yang mejadi kaya dari sebelumnya”, masyarakat tidak memperdulikan bagaimana cara dan dari mana memperolehnya.  Dan masyarakat saat itu, menjastifikasi buruk kalau seorang pejabat pemerintahan tidak menjadi kaya, justru masyarakat menerima dengan ‘ikhlas’ kalau pejabat menjadi kaya atau bahkan kaya raya.
Pembangunan bidang kerokhanian bukan tidak dilaksanakan, tetapi bak lokomotif dengan gerbongnya. Karena lokomotif itu selalu menyeret gerbong, maka “lokomotif sector ekonomi” akan selalu didepan dan menyeret “gerbong sector rohani”  sampai akhirnya terjadi ‘kecelakaan’ lokomotifnya macet, dan justru ‘gerbongnya’ berjalan kencang, maka “Negara menjadi anomaly” pada tahun 1998. Kemudian “lokomotif” nya diganti dengan “reformasi” dan hasilnya justru menampilkan drama menyedikan tentang ‘budaya korupsi ini.  Apakah ini suatu masa yang diisyaratkan oleh Rasululloh SAW bahwa : Akan datang bagi manusia suatu jaman dimana orang tidak peduli apakah harta yang diperolehnya halal atau haram. (HR. Bukhari),
Era memang cepat berubah, orde baru tumbang digantikan dengan era reformasi, tetapi tidak secara tiba-tiba perilaku ikut berubah secara cepat sebagaimana perubahan yang terjadi para era atau rezim. Dan rasanya pada era reformasi ini cuma terjadi pemerataan dan  pergeseran peran dalam berkorupsi.  Dulu korupsi didominasi oleh birokrat/aparat eksekutif, sekarang terjadi ‘pemerataan dan pergeseran’ bahwa korupsi sudah merambah kemana-mana, Yang membedakannya, sekarang ada penolakan dari public yang lebih kuat sehingga dibentuklah KPK.
Dimana posisi moral agama para generasi bangsa ini ?, apa sudah tergerus oleh arus global kapitalisme ?. Indonesia yang mendasarkan dirinya pada Pancasila, dan pada sila pertama dengan menyebutkan tentang Ketuhanan, artinya moral dan rohani keagamaan akan menjadi warna dalam pelaksanaan negara dan pemerintahan  seharusnya menampakan diri sosok negara yang lebih bermoral, lebih amanah dari pada Negara lain yang tidak memiliki Pancasila.  Indonesia memang bukan Negara agama, tetapi peletak dasar negara sudah sepakat, bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi dasar moral dalam penyelenggaraan Negara.
Agama memerintahkan kita kepada zuhut, maksudnya jangan tamak akan harta, dan tapi jangan mengabaikan kebutuhan duniawi termasuk harta.  Rasululloh SAW dalam Hadits riwayat At-Tirmidzi, telah memperingatkan bahwa, selain umur, ilmu, badan kita, juga harta kita yang akan dikhisab di akherat kelak. Kalau umur, ilmu dan badan kita dihisab dengan satu pertanyaan, maka urusan harta akan dipertanyakan “dari mana atau bagaimana cara memperolehnya dan kemana membelanjakannya”
Harta bagai pisau yang memiliki dua sisi yang sama tajamnya, dapat menjadi penolong bagi pemeliharaan ketaqwaan kepada Allah (HR. Ad_Dailami), juga sekaligus menjadi fitnah, ujian dan cobaan bagi kita “Sesungguhnya bagi tiap-tiap umat itu ada fitnah, dan sesungguh-nya fitnah bagi umatku adalah  harta (HR Tirmidzî). “Bagi tiap sesuatu terdapat ujian dan cobaan, dan ujian serta cobaan terhadap umatku ialah harta-benda”. (HR. Tirmidzi)
Perilaku korupsi merupakan perilaku klasik yang terus berkembang dan termodifikasi selaras dengan peradaban manusia, tetapi intinya selalu sama memperkaya diri sendiri dengan cara melanggar norma social, norma kebangsaan dan norma keagamaan.  Padahal  14 abad yang lalu Rasululloh SAW sudah mensinyalir semua ini akan terjadi, karena itu Rasululloh SAW memperingatkan : Barangsiapa mengumpulkan harta dengan tidak sewajarnya (tidak benar) maka Allah akan memusnahkannya dengan air (banjir) dan tanah (longsor). (HR. Al-Baihaqi).  Jangan-jangan musibah banjir dan longsor yang selama ini melanda seluruh negeri, akibat ulah para koruptor ini.
Pengkultusan terhadap harta, fulus atau uang, sampai menimbulkan keserakahan dan kecintaan secara fanatic dan opsesif, serta tumbuh perilaku anarkhis dalam pemilikannya, disebabkan karena kebutuhan pemuasan nafsu serakah yang temporer, ibarat “minum air laut semakin diminum semakin haus”
Dorongan nafsu menguasai harta secara anarkhis (brutal dan gelap mata) terus merongrong jiwa, hal ini karena adanya unsur depersonalisasi dalam hubungan pemilik dan hartanya. Harta (uang dan kesenangan) bukan lagi objek konkret yang dicari, tapi sudah menjadi lambang status, dan perluasan ‘kekuasaan’ dan ‘kehormatan’ (pretasi dan prestige) pembentuk ego. Setelah mendapatkannya, seseorang merasa  mendapatkan sepotong ego baru.
Tampilnya persepsi masyarakat modern yang sekuler, dalam hubungan interaksi antar masyarakat yang selalu diukur dari “kepemilikan materi” tersebut telah memunculkan suatu hubungan antar anggota masyarakat untuk saling menguasai antar sesama sebagai bentuk cermin “posisioning kekuasaan dan penguasaan” yang dimilikinya. Dan ini akan berdampak pada meningkatnya konflik kejiwaan secara personal dan berimbas pada tatanan social yang tampak pada tingkat solidaritas antar warga masyarakat yang minimalis dan daya kohesitas atau daya rekat masyarakat melemah dan miskin nilai.  Kesenjangan antar warga masyarakat semakin melabar, maka potensi konflik horizontal semakin kuat, seperti api dalam sekam. Disnilah kita melihat bangsa ini mulai tercabut dari akar budayanya, bagaimana saat bangsa ini merebut kemerdekaan.
Dengan tayangan media tv mengenai kasus korupsi yang begitu gencar, sepertinya tidak membuat nyali para pelaku korupsi beringsut sedikitpun, mungkin ia bersemboyan “yah itu kan apesnya dia aja”.  Rasanya sentuhan moral agama mengenai perbuatan melawan hukum Allah sudah tidak ada dalam hatinya. Hatinya sudah “qolbun munqoliba”, hatinya sudah gelap gulita, persepsi bahwa harta akan mendorong kehormatannya dimata masyarakat masih kuat menjadi motivasinya.
Ada yang bilang “harta bukan segalanya” itu betul, tapi secara realita di bangsa yang berpancasila ini justru “segalanya perlu harta atau uang”, mau pintar butuh harta banyak, kalau sakit akan dirawat dengan baik kalau ada harta banyak.  Jadi prasyarat social yang mendorong untuk terus korup masih kuat.
Memiliki harta melimpah memang menjadi kebanggan, yang tidak boleh dibanggakan adalah bila cara memperolehnya dengan melawan hukum positif maupun syariat Allah SWT. Rasululloh SAW mengingatkan “Jangan pula kamu mengagumi orang yang memperoleh harta dari yang haram. Sesungguhnya bila dia menafkahkannya atau bersedekah maka tidak akan diterima oleh Allah dan bila disimpan hartanya tidak akan berkah. Bila tersisa pun hartanya akan menjadi bekalnya di neraka. (HR. Abu Dawud).  Dan orang yang demikian ini sebenarnya akan menyesal berkepanjangan hari pembalasan kelak “Orang yang paling dirundung penyesalan pada hari kiamat ialah orang yang memperoleh harta dari sumber yang tidak halal lalu menyebabkannya masuk neraka. (HR. Bukhari). 
Dirgahayu, Republik Indonesia yang sedang merayakan Hari Kemerdekaan Ke-67 Tahun 2012, Semoga Tuhan YME, Allah SWT memberkahi bangsa ini. Amien*****

*/Penulis adalah warga Negara yang galau terhadap perilaku korupsi. Domisi di Perum Sawojajar – Kota Malang  (HP 085 7910 19060),

Label: