Muhassabah Tahun Baru 1437 H

20.49 / Diposting oleh Drs. Achmad Chambali Hasjim, SH / komentar (0)



MUHASSABAH DI TAHUN BARU HIJRIYAH 1437
MUHARAM SATU DARI EMPAT BULAN YANG DIMULIAKAN
 (Kuliah Subuh Online)
Bissmillaahirrahmaanirrahim,
Assalaamu’alaikum wr. Wb
Alhamdulillaah
Alhamdulillaahil ladzii  an ’amanna
Al iimaani wal islaami
Washolaatu wassalamu ‘
Ala asyrofil anbiyaa’i wal mursaliin _
Wa ‘alaa alihi washokhbihi aj ma’iinn
Allahumma inna as aluka
‘ilman nafi’an – wal rizqon toyyiban
Wa ‘amalan mutaqobbaln
Asyahadu anlaa ilaa hailalloh wahdahu laa syarikalah
Wa asyhadu anna muhammadan abduhu warosuluh.

Jamaah subuh  rohimatullah
·      Segala puji bagi Allah yang telah melimpahkan  nikmat iman dan islam, serta nikmat umur, nikmat sehat dan nikmat kesempatan, kita mampu melawan  dinginnya dipagi buta untuk tetap istiqomah sholat subuh berjamaah.
·      Solawat serta salam semoga selalu tercurahkan  kepada junjungan penghulu alam-Nabi Besar Muhammad salallaahu alaihi wassalam. Berserta keluarga dan sahabat-sahabatnya, serta para umat yang selalu mengikuti sunnah-sunnahnya.  Semoga pada yaumil hisab nanti kita mendapatkan syafaatnya....... Amien.

Jamaah subuh  rohimatullah
·      Kita telah memasuki tahun baru hijriyah 1437,  kalau tahun baru masehiyah sering dirayakan dengan gegap gempita, pesta pora bahkan kadang melanggar syariat,
·      Dalam kita memasuki tahun baru 1 Muharamn 1437 ini sangatlah bijak kalau kita melakukan muhassabah, instropeksi perjalanan spiritual  kita selama satu tahun yang lewat agar ditahun yang akan datang bisa mendapatkan kehidupan spiritual kita yang lebih baik  lagi.
·      Imam Turmidzi meriwayatkan tentang perkataan Umar bin Khattab yang mengingatkan kepada  umat islam : hasibu anfusakum qobla an tukhasabu.” Hisablah dirimu sebelum kamu dihisab.  Karena akan meringankan pada yaumil khisab nanti
·     Penentuan kapan dimulainya tahun 1 Hijriah dilakukan 6 tahun setelah wafatnya  Nabi Muhammad.
·     Pada masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar, pernah beliau mengutarakan gagasannya mengenai perlunya menetapkan kalender Isalam, saat itu yang sudah dikenal baru nama bukannya, tahun keberapa belim ditetapkan, sehingga yang dipakai nama tahun adalah momen, seperti lahirnya rasululloh pada tahun gajah, dimana pada tahun itu terjadi penyerangan dari balatentara Abrahah dari negeri Yanan untuk menyerang Ka’bah
·     Dimasa Khalifah Umar bin Kahttab, gagasan penetapan kalender Islam dimulai, Beliau mengadakan musyawarah yang dihadiri oleh pemuka-pemuka agama, dan pembesar-pembesar muslim.
·     Di dalam pertemuan itu ada beberapa momentum penting yang diusulkan sebagai dasar penetapan pada tahun baru islam, dan momentum-momentum itu antara lain:
1.    Dihitung dari hari kelahiran Nabi Muhammad
2.    Dihitung dari wafatnya Rasulallah saw.
3.    Dititung dari hari Rasulullah menerima wahyu pertama di gua Hira yang merupakan awal tugas kenabiannya.
4.    Dimulai dari tanggal dan bulan Rasulallah melakukan hijrah dari Mekah ke Madinah.
·     Akhirnya Khalifah Umar bin Khatab menetapkan awal patokan penanggalan Islam adalah tahun dimana hijrahnya Nabi Muhammad dari Mekkah ke Madinah, yang diusulkan oleh Ali bin Abi Tholib r.a
·     Yaitu Tanggal 1 Muharram Tahun 1 Hijriah bertepatan dengan tanggal 16 Juli 622, dan tanggal ini bukan berarti tanggal hijrahnya Nabi Muhammad. Peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad terjadi bulan September 622.
·     1 Muharam, dalam kalender Jawa disebut dengan 1 Suro, sangat berbeda dalam menginterpretasikannya, Dalam masyarakat Jawa (kejawen) kalau sudah 1 Syuro tidak berani bepergian, tidak boleh punya hajat, dll.
·     Namun Muharram dalam pemahaman syariat Islam, yang berarti diharamkan atau yang sangat dihormati, merupakan bulan gencatan senjata atau bulan perdamaian. hal ini menunjukkan bahwa umat Islam di manapun harus selalu bersikap damai, tidak boleh berperang kecuali jika diperangi terlebih dahulu.
·     Seyogyanya, umat Islam menghormati dan memaknai Muharram dengan spirit penuh perdamaian dan kerukunan. sebab, Nabi Muhammad saw pada khutbah haji wada’ -yang juga di bulan haram- mewanti-wanti ummatnya agar tidak saling bermusuhan, bertindak kekerasan, atau berperang satu sama lain.
·     Esensi dari spirit Muharram adalah pengendalian diri demi terciptanya kedamaian dan ketentraman hidup, baik fisik, sosial, maupun spiritual. karena itu, di bulan Muharram Nabi Muhammad saw menganjurkan ummatnya untuk berpuasa sunnah Asysyuro ( puasa pada hari kesepuluh di bulan Muharram).
·     Dari Abu Hurairah , Nabi Muhammad saw bersabda,” puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah puasa di bulan Muharram. dan shalat yang paling utama adalah shalat malam.”(HR.Muslim).
·     Al Asyhurul al hurum, bulan-bulan yang dimulaikan yaitu Dzulqa’dah (11), Dzulhijjah (12), Muharram (1) dan Rajab (7).
·     Quraish Shihab dalam Tafsir al  Misbah Pesan Kesan dan Keserasian Al Qur’an Jilid III, menjelaskan maksud Al-Ashur al-ḥurum,  sesuatu yang dimuliakan atau dihormati biasanya lahir akibat penghormatan terhadap aneka larangan.  Jika menghormati orang tua maka tidak boleh untuk memperlakukanya seperti teman sebayanya, dari sini kata mulia diartikan dengan “larangan”.  Bulan mulia adalah bulan yang harus dihormati karena itu terdapat sekian banyak hal yang terlarang dilakukan pada bulan-bulan tersebut.

·     Pengertian semacam ini dapat di ambil dari penjelasan surah al-Baqarah ayat 194, 217 al-Maidah ayat 2, 97 dan surah al-Taubah ayat 5 menyangkut adanya beberapa bulan yang dimuliakan dalam surah al-Taubah ayat 36 lebih di tegaskan lagi degan mengunakan lafaḍ Arba’atun Hurum yakni empat bulan mulia dengan menjelaskan pula bahwa bilangan bulan dalam setahun yang terkadang oleh kaum musyrikin ditambahkan atau diputar balikan tempatnya berjumlah dua belas bulan dalam setahun.

·     Allah Ta’ala berfirman dalam QS At Taubah (9:36) :

inna 'iddatasysyuhuuri 'indalloohi  itsnaa 'asyaro syahron fii kitaabillaahi yawma kholaqossamaawaati wal-ardho minhaa arba'atun hurumun
dzaalikad-diinul qoyyimu falaa tazhlimuu fiihinna anfusakum waqootiluul musyrikiina kaaffatan kamaa yuqootiluunakum kaaffatan wa'lamuu annallooha ma'al muttaqiin
[9:36] Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram.
Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri641 kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa
·      Imam Ahmad juga Imam Bukhari dalam Ashahih Bukhari meriwayatkan dari Abu Bakrah rahimatullah, bahwa Rasululloh Shallallohu 'Alaihi Wasallam telah berkhutbah ketika haji wada', beliau bersabda:  Sesungguhnya zaman telah berputar seperti keadaannya ketika Allah menciptakan langit dan bumi, dalam setahun itu terdapat dua belas bulan. Empat diantaranya adalah bulan haram (disucikan). Tiga dari empat bulan itu, (jatuh secara) berurutan yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijah, Muharram. Sedangkan Rajab (yang disebut juga sebagai) syahru Mudhar, terletak diantara Jumada (ats Tsaniyah) dan Sya’ban.”
·      Implikasi dari arba'atun hurumun, Ibnu Jarir ath Thabari rahimahullah meriwayatkan melalui sanadnya, dari Ibnu Abbas radhiallahu anhu menjelaskan bahwa :  “Allah Ta’ala telah menjadikan bulan-bulan ini sebagai (bulan-bulan yang) suci, mengagungkan kehormatannya dan menjadikan dosa yang dilakukan pada bulan-bulan ini menjadi lebih besar dan menjadikan amal shalih serta pahala pada bulan ini juga lebih besar.” (Tafsir ath Thabari)

·     Orang-orang Arab pada masa Jahilyah telah mengharamkan (mensucikan) bulan ini, mengagungkannya serta mengharamkan peperangan pada bulan-bulan ini.
·     Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Bulan-bulan yang diharamkan (disucikan) itu hanya ada empat. Tiga bulan secara berururtan dan satu bulannya berdiri sendiri (tidak berurutan) lantaran adanya manasik Haji dan Umrah.
Maka , ada satu bulan yang telah diharamkan (disucikan) yang letaknya sebelum bulan-bulan Haji, yaitu bulan Dzulqa’dah, karena ketika itu mereka menahan diri dari perang.
Sedangkan bulan Dzulhijah diharamkan(disucikan) karena pada bulan ini mereka pergi menunaikan ibadah Haji, dan pada bulan ini mereka menyibukkan diri dengan berbagai ritual manasik Haji.
sebulan setelahnya, yaitu bulan Muharram juga disucikan karena pada bulan ini mereka kembali dari Haji ke negeri asal mereka dengan aman dan damai.
Adapun bulan Rajab yang terletak di tengah-tengah tahun diharamkan (disucikan) karena orang yang berada di pelosok Jazirah Arabia berziarah ke Baitul Haram. Mereka datang berkunjung ke Baitul Haram dan kembali ke negeri mereka dengan keadaan aman.” (Tafsir Ibni Katsir)
·     Sebagai bulan-bulan yang diharamkan atau disucikan atau dimuliakan maka banyak hal yang diharamkan untuk dilakukan dibulan ini, seperti malukan peperangan.
·     Allah Ta’ala berfirman :
(QS Al Baqoroh [2]:217):
Mereka bertanya tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah:’ Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar…’”
(QS. Al Maidah [5]:2) :
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi’ar-syi’ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan Haram…”
(QS Al Maidah [5]:97):
Allah telah menjadikan Ka’bah, rumah suci itu sebagai pusat (peribadatan dan urusan dunia) bagi manusia, dan (demikian pula) bulan Haram…”
Sekelompok orang dari generasi salaf berpandangan bahwa hukum diharamkannya peperangan pada bulan-bulan haram ini, adalah tetap dan berlangsung terus-menerus hingga saat ini, karena dalil-dalil terdahulu. Sedangkan yang lainnya berpendapat bahwa sesungguhnya larangan memerangi kaum musyrikin pada bulan-bulan haram ini telah terhapus (mansukh) dengan firman Allah Ta’ala  sebagaimana yang dijelaskan pada QS. At Taubah (:36) “.....Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri641 kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa”
·     Imam Ibnu Jarir ath Thabari rahimahullah mentarjih ( menguatkan) pendapat terakhir ini (lihat tafsir ath Thabari), sedangkan Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan bahwa pendapat yang terakhir ini lebih masyhur (lihat Tafsir Ibni Katsir).
BEBERAPA KEBERKAHAN DAN KEUTAMAAN BULAN-BULAN HARAM
1. Bulan Dzulqa’dah
·      Dia merupakan salah satu bulan Haji (asyhurul hajji) yang dijelaskan oleh Allah dalam friman-Nya:
(Musim) Haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi…” (QS.Al Baqarah:197)
·      Asyhurun ma’luumaat (bulan-bulan yang dikenal) merupakan bulan yang tidak sah ihram Haji kecuali pada bulan-bulan ini (asyhurun ma’luumaat) menurut pendapat yang shahih. (lihat Tafsir Ibnu Katsir).
·      Dan yang dimaksud dengan bulan-bulan Haji (asyhurul hajji) adalah bulan Syawal, Dzulqa’dah dan sepuluh hari dari bulan Dzulhijjah. Diantara keistimewaan bulan ini, bahwa empat kali ‘Umrah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam terjadi pada bulan ini, hal ini tidak termasuk ‘Umrah beliau yang dibarengi dengan Haji, walaupun ketika itu beliau Shalallahu ‘Alaihi Wassalam berihram pada bulan Dzulqa’dah dan mengerjakan ‘Umrah tersebut di bulan Dzulhijjah bersamaan dengan Hajinya. (Lathaa if al Ma’aarif, karya Ibnu Rajab; Zaadul Ma’aad).
·     Ibnul Qayyim menjelaskan pula bahwa ‘Umrah di bulan-bulan Haji setara dengan pelaksanaan Haji di bulan-bulan Haji. Bulan-bulan haji dikhususkan oleh Allah dengan ibadah Haji, dan Allah menjadikan bulan-bulan ini sebagai waktu pelaksanaannya.
·     Sementara ‘Umran merupakan Haji kecil, maka waktu yang paling utama untuk ‘Umrah adalah pada bulan-bulan Haji. Sedangkan Dzulqa’dah berada di tengah-tengah bulan Haji tersebut. (Zaadul Ma’aad).
·     Karena itu terdapat riwayat dari beberapa ulama Salaf bahwa disukai melakukan ‘Umrah pada bulan Dzulqa’dah. (Lathaa if al Ma’aarif). Akan tetapi ini tidak menunjukkan bahwa ‘Umrah di bulan Dzulqa’dah lebih utama daripada ‘Umrah di bulan Ramadhan.
·     Keistimewaan lain yang dimiliki bulan ini, bahwa masa tiga puluh malam yang Allah janjikan kepada Musa untuk berbicara pada-Nya jatuh pada malam-malam bulan Dzulqa’dah.
·     Sedangkan al asyr (sepuluh malan tambahan)nya jatuh pada periode sepuluh malam dari bulan Dzulhijjah berdasarkan pendapat mayoritas ahli Tafsir. (lihat Tafsir Ibnu Katsir).
Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
Dan telah Kami janjikan kepada Musa (memberikan Taurat) sesudah berlalu waktu tiga puluh malam, dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi)…”(QS. Al A’raaf:142)

2. Bulan Dzulhijjah
·     Diantara beberapa keutamaa dan keberkahan bulan ini, bahwa seluruh manasik Haji dilakukan pada bulan ini.
·     Kesemuanya itu merupakan syi’ar-syi’ar yang besar dari berbagai syi’ar Islam. Terdapat di dalamnya, sepuluh hari pertama yang penuh dengan keberkahan dan keutamaan, lalu tiga hari berikutnya merupakan hari-hari tasyriq yang agung.

3. Bulan Muharram
·     Di antara keutamaan dan keberkahan bulan ini, sebagaimana yang tercantum dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah Shalallahu ‘Alahi Wassalam bersabda: Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah (puasa yang jatuh pada) bulan Allah, (yaitu) Muharram…” (HR. Muslim)
·     Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Nabi Shalallahu ‘Alahi Wassalam menamakan Muharram dengan bulan Allah (syahrullaah).
·     Penisbatan nama bulan ini dengan lafazh ‘Allah’ menunjukkan kemuliaan dan keutamaan bulan ini, karena sesungguhnya Allah tidak menyandarkan (menisbatkan) lafazh tersebut kepada-Nya kecuali karena keistimewaan dan kekhususan yang dimiliki oleh makhluk-nya tersebut dan seterusnya. (Laatha if al Ma’aarif).
·     Sebagian ulama memberikan alasan yang mengaitkan tentang keutamaan puasa pada bulan ini. Maksudnya, bahwa sebaik-baik bulan untuk melakukan puasa sunnat secara penuh setelah bulan Ramadhan, adalah Muharram.
·     Karena berpuasa sunnat pada sebagian hari, seperti hari ‘Arafah atau enam hari di bulan Syawal lebih utama (afdhal) daripada berpuasa pada sebagian hari-hari bulan Muharram. (Laatha if al Ma’aarif)
·     Diantara keberkahan bulan Muharram berikutnya, jatuh pada hari kesepuluh, yaitu hari ‘Asyura (10 Asyuro).  Hari ‘Asyura ini merupakan hari yang mulia dan penuh berkah.
·     Hari ‘Asyura ini memiliki kesucian dan kemuliaan sejak dahulu. Dimana pada hari ‘Asyura ini Allah Ta’ala menyelamatkan seorang hamba sekaligus Nabi-Nya, Musa ‘Alaihis Salam dan kaumnya serta menenggelamkan musuhnya, Fir’aun dan bala tentaranya.
·     Sesungguhnya Nabi Musa ‘Alaihis Salam berpuasa pada hari ini sebagai bentuk syukurnya kepada Allah.
·     Sedangkan orang-orang Quraisy di zaman Jahilliyah juga berpuasa pada hari ini, begitu juga Yahudi. Mereka dulu berpuasa pada hari ‘Asyura.
·     Berdasarkan pendapat kebanyakan ulama, puasa ini pada mulanya wajib bagi kaum muslimin sebelum diwajibkannya puasa Ramadhan, kemudian (berubah) menjadi sunnah.
·     Sebagaimana yang tedapat dalam ash Shahihain dari ‘Aisyah radhiallahu anha, ia berkata:Dahulu orang-orang Quraisy berpuasa ‘Asyura pada zaman Jahilliyah. Dan Rasulullah Shalallahu ‘Alahi Wassalam sendiri juga berpuasa ‘Asyura. Ketika beliau hijrah ke Madinah, beliau terus melaksanakan puasa ‘Asyura, dan memerintahkan orang-orang untuk berpuasa. Lalu ketika diwajibkan berpuasa pada bulan Ramadhan, beliau bersabda:’Barangsiapa yang mau berpuasa ‘Asyura, berpuasalah dan barangsiapa yang ingin meninggalkannya, tinggalkanlah.’” (HR. Bukhari dan Muslim)
·     Dan juga tertera dalam ash Shahihahin dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu anhuma, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alahi Wassalam datang ke Madinah dan beliau mendapati orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura. Maka Rasulullah Shalallahu ‘Alahi Wassalam bertanya pada mereka, “Hari apakah ini, yang kalian berpuasa di dalamnya?” Mereka menjawab: “Ini adalah hari yang agung, pada hari inilah Allah menyelamatkan Musa ‘Alaihis Salam dan kaumnya, dan menenggelamkan Fir’aun dan bala tentaranya. Maka Musa berpuasa pada hari ‘Asyura ini sebagai tanda syukurnya.” Kemudian Rasulullah Shalallahu ‘Alahi Wassalam bersabda: Maka, kami lebih berhak terhadap Musa ‘Alaihis Salam dan lebih diutamakan daripada kamu sekalian.” Lalu Rasulullah Shalallahu ‘Alahi Wassalam berpuasa ‘Asyura dan memerintahkan kaum muslimin agar berpuasa. (HR. Bukhari dan Muslim)
·     Dan puasa pada hari ini memiliki keutamaan yang besar, dimana puasa ini dapat meleburkan dosa-dosa setahun yang lalu, sebagaimana tertera dalam Shahih Muslim, dari Abu Qatadah al Anshari radhiallahu anhu. Sesungguhnya Rasulullah Shalallahu ‘Alahi Wassalam ditanya tentang puasa pada hari ‘Asyura, maka beliau bersabda, Dia akan menggugurkan (dosa-dosa) setahun yang lalu.” (HR. Muslm)
·     Sebagian ulama berpendapat sunnah berpuasa pada hari kesembilan bersamaan dengan hari kesepuluh karena Nabi Shalallahu ‘Alahi Wassalam berpuasa pada hari kesepuluh dan berniat akan berpuasa pada hari kesembilan. Imam Nawawi rahimahullah menyatakan, “Barangkali sebab dari puasa dua hari ini agar tidak tasyabbuh (serupa) dengan Yahudi yang berpuasa hanya di hari kesepuluh.” (Syarhun Nawawi li Shahih Muslim)
·     Tidak ada lagi yang disyari’atkan pada hari ‘Asyura ini selain puasa. Namun sebagian orang mengada-adakan perkara baru (bid’ah) yang tidak ada dasarnya sama sekali, atau hanya bersandar pada hadits-hadits maudhu’ (palsu) atau hadits-hadits dha’if (lemah).
·     Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menyebutkan beberapa perkara mungkar, yang diada-adakan oleh ahlul ahwaa’ (pengikut hawa nafsu), yaitu kaum Rafidhah yang pada hari ‘Asyura pura-pura haus dan sedih, serta perkara-perkara baru lainnya yang tidak disyari’atkan oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya. Dan tidak pula dilakukan oleh seorang pun dari generasi Salaf dan dari ahli Bait Rasulullah Shalallahu ‘Alahi Wassalam maupun dari yang lainnya. Sesungguhnya musibah terbunuhnya al Husain bin Ali bin Abu Thalib pada hari ‘Asyura ini, wajib disikapi seperti penyiikapan terhadap berbagai musibah dengan mengembalikannya kepada penyikapan yang disyari’atkan.
·     Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah juga menyebutkan bahwa sebagian orang mengada-adakan perkara baru (bid’ah) dalam masalah ini dengan bersandar pada hadits-hadits palsu yang tidak berdasar seperti fadhilah mandi pada hari ‘Asyura, bercelak atau berjabat tangan, atau menampakkan rasa senang dan bahagia, dan meluaskan nafkahnya pada hari itu. (lihat Iqtidhaa-ush Shiraathil Mustaqiim li Mukhaalafatil Ash haabil Jahiim).

4. Bulan Rajab
·     Diriwayatkan bahwa apabila Rasulullah Shalallahu ‘Alahi Wassalam memasuki bulan Rajab beliau berdo’a: Ya, Allah berkahilah kami di bulan Rajab (ini) dan (juga) Sya’ban, dan sampaikanlah kami kepada bulan Ramadhan.” (HR. Imam Ahmad, dari Anas bin Malik).
·     Setelah menelaah hadist ini, Ibnu Taimiyyah rahimahullah menyatakan,” Tidak pernah diriwayatkan dari Nabi Shalallahu ‘Alahi Wassalam tentang fadhilah bulan Rajab di hadits-hadits yang lain. Bahkan kebanyakan hadits yang tersebar tentang keutamaan bulan Rajab ini yang disandarkan kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alahi Wassalam adalah dusta…”(Iqtidhaa-ush Shiraatil Mustaqiim).
·     Ahlul bid’ah telah memalsukan banyak hadits tentang keutamaan bulan yang disucikan ini, dan juga tentang kekhususan sebagian ibadah yang dilakukan pada bulan ini, seperti shalat dan puasa.
·     Dan diantara orang yang mengingatkan hal ini adalah al Hafizh Ibnu Hajar al Asqalani rahimahullah dalam risalahnya, Tabyiinul ‘Ajab bi Maa Warada fii Fadhli Rajab. Dalam risalah ini beliau menjelaskan, “Tidak muncul satupun hadits shahih tentang keutamaan bulan Rajab, tidak pula tentang puasanya, tidak tentang puasa tertentu, dan tidak juga tentang mendirikan shalat malam tertentu di bulan ini yang dikuatkan oleh sebuah hadits yang layak untuk dijadikan sebagai hujjah.” (Risaalah Tabyiin al ‘Ajab).
·     Kemudian beliau menyebutkan hadits-hadits yang meriwayatkan hal ini dan menjelaskan hukum-hukum dari hadits tersebut.
·     Ibnu Rajab rahimahullah menyatakan: “ Tidak benar bahwa di dalam bulan Rajab terdapat shalat tertentu yang khusus untuk bulan ini saja.” Lalu dia mengatakan, “ Tidak benar dalam keutamaan puasa bulan Rajab secara khusus terdapat satu riwayat dari Nabi Shalallahu ‘Alahi Wassalam dan para Sahabatnya.” (Laathaa iful Ma’aarif). Karena itu kebanyakan ulama Salaf membenci pengkhususan bulan Rajab dengan puasa.
·     Abu Bakat ath Thurthusi telah merinci masalah ini dengan mengatakan: ”Shaumnya seseorang (yang dikhususkan) pada bulan ini dimakruhkan dari tiga segi, di antaranya bahwa pengkhususan kaum muslimin dengan puasa setiap tahunnya (pada bulan ini) akan menyebabkan orang-orang awam mengira bahwa hal itu adalah fardhu seperti halnya Ramadhan, atau mereka akan mengira bahwa hal itu adalah sunnah yang tetap. dikhususkan oleh Rasul Shalallahu ‘Alahi Wassalam dengan shaum rutin, atau shaum yang didalamnya dikhususkan dengan keutamaan pahala atas seluruh bulan…”
·     Kemudian beliau mengatakan,”Jika ditinjau dari bab keutamaan-keutamaan Sunnah Nabi Shalallahu ‘Alahi Wassalam atau dari prakteknya, tidak wajib dan tidak pula sunnah menurut kesepakatan dan tidak ada lagi anjuran melakukan puasa melainkan puasa yang sudah ditentukan.”
·     Adapun ‘Umrah di bulan Rajab telah disebutkan oleh Ibnu Rajab bahwa “umrah dibulan Rajab itu adalah hukumnya sunnah menurut pendapat mayoritas generasi Salaf. Diantaranya ‘umar bin Khaththab radhiallahu anhu dan ‘Aisyah radhiallahu anha. (lihat Laathaa-iful Ma’aarif)
KONSEP HIJRAH
·     Penetapan tahun dalam kalender Islam oleh Khalifah Umar bin Khattab dimulai dari tanggal dan bulan Rasulallah melakukan hijrah dari Mekah ke Madinah, pilihan ini diambil dari usulan Sahabat Syayyidina Ali bin Abi Tholib r.a
·     Hijrahnya Rasululloh SAW dari Makkah ke Madinnah sangatlah  monumental dalam perjuangan tegaknya aqidah Islamiyah, karena itu essensi hijrah secara historis maupun secara maknawi terus tetap signifikan dalam perjalanan hidup para insan umat Muhammad.
·     Secara literal “hijrah” (Al-Muhajaroh), yang berarti meninggalkan, menjauhkan diri dan berpindah dari satu tempat ke tempat lain dalam rangka mengharapkan adanya perubahan kehidupan yang lebih baik dari tempat sebelumnya.
Pemhaman hijrah dilakukan dalam dua pendekatan, yaitu :
Pertama, hijrah hissiyyah (hijrah fisik dengan berpindah tempat),
·     Pengertian Hijrah secara “hissiyyah/fisik” perpindahan yang dilakukan dari suatu tempat ketempat lain, dari darul khauf (negeri yang tidak aman dan tidak kondusif) menuju darul amn (negeri yang relatif aman dan kondusif), seperti hijrah dari Kota Makkah ke Tasyrik (Madinah).
·     Ketika Rasulullah melakukan hijrah ke Madinah, masih ada sejumlah sahabat yang tetap bertahan di Makkah. Mereka tak mau meninggalkan Makkah dengan berbagai alasan. Namun, selama bertahan di Makkah, umumnya mereka tertindas oleh kaum kafir Qurays sehingga diliputi rasa duka.
·     Alquran melukiskan mereka sebagai orang-orang yang menganiaya diri sendiri. Ketika mereka wafat dalam kondisi luka karena dianiaya kaum kafir Qurays, Malaikat pun bertanya, “Bagaimana keadaan kalian menjadi seperti ini?” “Kami adalah orang-orang yang tertindas di negeri Makkah,” jawab mereka.
·     Alquran kemudian merekam peringatan Malaikat berikutnya, “Bukankah bumi Allah itu luas, maka berhijrahlah di bumi itu?” (QS Annisa [4]: 97). Alquran mengingatkan, Allah membenci orang-orang yang membiarkan diri bertahan di tengah kesemrawutan sosial, politik, dan ekonomi, perlakuan diskriminasi SARA ( Suku, Agama, Ras) “Kecuali mereka, baik laki-laki, perempuan, maunpun anak-anak, yang tertindas karena tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan untuk berhijrah.” (QS Annisa [4]: 98).
·     Hijrah dilakukan bukan semata-mata untuk memperoleh kesenangan duniawi ataupun kesejahteraan material, melainkan juga kesempurnaan pengabdian untuk mewujudkan tatanan sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan yang lebih mampu menjamin tegaknya hak-hak individu. atau hak asasi manusia Oleh karena itu, hijrah menjadi solusi manusiawi sebagai wujud pengakuan atas segala keterbatasan manusia dalam memperoleh semua haknya sekaligus pernyataan sikap teologis untuk membuktikan segala Kemahamurahan Allah bagi manusia.
·     Bahkan, Allah sendiri menegur dengan tegas orang-orang yang memaksakan kehendaknya untuk tetap bertahan dalam ketidakberdayaan, memaksakan bertahan dalam ketidaknyamanan ataupun ketidaksejahteraan Secara historis, ayat tersebut di atas termasuk kategori ayat Madaniyah.
·     Pesan Alquran ini turun kira-kira setelah tatanan masyarakat Madinah tertata rapi, tumbuh penuh harmoni dalam nuansa multikultural sebagai wujud perpaduan kebudayaan antara Anshar dan Muhajirin. Melalui firman-Nya ini, Allah seakan-akan tengah mengamini tindakan Rasulullah dalam berhijrah, meskipun sempat beberapa kali gagal.
·     Hijrah memang tidak sederhana. Ia tidak hanya melibatkan tindakan fisik, tetapi juga menggambarkan kekuatan psikologis yang mendasari ketulusan berikhtiar untuk mewujudkan kehendak Allah.
·     Hijrah Rasulullah SAW menjadi pertanda berdirinya Darul Islam pertama di muka bumi. Disamping itu hijrah juga menjadi suatu bentuk pemberitahuan bahwa Daulah Islamiyah telah berdiri di bawah kepemimpinan langsung Nabi Muhammad SAW.
·     Terdapat tiga monumental tindakan Rasululloh SAW yang terkait hijrahnya ke Madinah, yaitu :
·     Pertama, pembangunan mesjid, sebagai sarana penyebaran ajaran agama dan pembinaan ummat,  fondasi kemasyarakatan yang sangat urgen, yaitu pembinaan mental spiritual.
·     Pendirian mesjid merupakan tindakan terpenting dalam proses pembangunan masyarakat Islam. Hal ini disebabkan masyarakat Islam yang kuat harus berpegang pada aturan, akidah dan prinsip-prinsip moral Islam yang kesemuanya itu bermuara pada potensi spiritual mesjid.
·     Muhammad Al-Ghazali menegaskan, bersegera mendirikan mesjid menunjukkan bahwa Rasulullah SAW ingin mensyiarkan keagungan Islam. Sholat didirikan di mesjid mengisyaratkan keterikatan setiap insan muslim dengan Khaliknya, Tuhan Seru Sekalian Alam.
·     Tak ada harganya kebudayaan yang ditegakkan tanpa hubungan dengan Allah Yang Maha Esa. Kebudayaan Islam yang mulai disyiarkan di Madinah ditegakkan atas dasar hukum-hukum Allah (taqiru ‘ala hududillah) yang dilestarikan dengan melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar.
·     Kedua, menjalin tali persaudaraan antara kaum muslimin, khususnya antara Muhajirin dan Anshor, fondasi kemasyaratan tentang pentingnya persaudaraan sesama muslim dalam membangun suatu bangsa.
·     Setiba di Madinah Rasulullah SAW langsung mengikat kalangan Muhajirin dan Anshor dengan tali persaudaraan yang teguh. Inilah dasar yang kedua. Rasulullah SAW menjadikan mereka saling bersaudara di bawah nilai-nilai kebenaran dan kesetaraan. Persaudaraan mereka jelas dibangun di atas landasan agama Islam dan kesatuan akidah.
·     Menurut Muhammad Al-Ghazali, ikatan persaudaraan ini menghapuskan ‘ashabiyah, kebanggaan kabilah dan fanatisme kesukuan yang tumbuh subur di zaman jahiliyah.
·     Al-Buthi menegaskan hikmah adanya ikatan ini menjadi salah satu pondasi penting dalam membangun keadilan sosial (ahammul assail lazimah linizhamil ‘adalatil jama’iyah).
·     Untuk mewujudkan persaudaraan sejati seperti di masa awal pemerintahan Islam sekarang ini akan menemukan banyak kendala. Sulitnya mengharapkan kaum muslimin sedunia saat ini menjalin persaudaraan seperti Muhajirin dan Anshor, karena sudah ditutupi oleh banyak kepentingan.
·     Ketiga, menyusun undang-undang dasar yang mengatur kehidupan umat Islam, sekaligus mempertegas hubungan mereka dengan non muslim, khususnya dengan kelompok Yahudi, seperti yang ada Piagam Madinah/Al Watsiqoh
·     Piagam Madinah yang mengatur kehidupan muslim-non muslim. Menurut Al-Buthi dasar ketiga ini merupakan bagian terpenting yang dilakukan Rasulullah SAW karena berhubungan dengan perundang-undangan sebuah Negara baru.
·     Ibnu Hisyam meriwayatkan dalam kitab monumentalnya Assiratun Nabawiyyah, beberapa hari setelah Rasulullah SAW tiba di Madinah, masyarakat Arab berkumpul menghadapnya. Pada saat itu seisi rumah kaum Anshor telah memeluk Islam. Satu-satunya suku di Madinah yang belum semua warganya memeluk Islam hanyalah kabilah Aus. Ada lagi jiran mereka yang sudah lama menetap di Madinah yakni kaum Yahudi dan musyrikhi lainnya.
·     Selanjutnya Rasulullah SAW menulis sebuah piagam perjanjian yang diberlakukan bagi kaum muslimin, Anshor dan kaum Yahudi. Di dalam perjanjian itu Rasulullah SAW meratifikasi agama yang mereka peluk (aqarrahum ‘ala dinihim), hak kepemilikan harta dan beberapa hal lainnya.
·     Al-watsiqah (Piagam Madinah) didefinisikan oleh Al-Buthi sebagai addustur, karena menurut Ulama paling berpengaruh di Timteng ini, addustur (undang-undang) merupakan istilah yang paling modern dan tepat. Undang-undang tersebut disusun Rasulullah SAW berdasarkan wahyu Allah SWT, ditulis para sahabat untuk kemudian dijadikan landasan yang disepakati bersama oleh kaum muslimin dan Yahudi yang bertetangga dengan mereka.
·     Semua ini tegas Al-Buthi membuktikan bahwa sejak awal masyarakat Islam sudah didirikan di atas undang-undang dasar yang sempurna. Piagam ini sekaligus menjadi bukti bahwa sejak awal “Negara Islam” (addaulatul Islamiyyah) telah memiliki komponen perundang-undangan dan administrasi Negara (al-idariyyah) yang representatif.
·     Muhammad Al-Ghazali menegaskan, lahirnya Piagam Madinah menepis anggapan bahwa umat Islam sangat eksklusif, tidak bisa hidup berdampingan dengan non muslim. la menggaris bawahi bahwa sejak di Madinah prinsip Islam sudah diterapkan dengan tegas “Bagimu agamamu dan bagiku agamaku”.
Kedua, hijrah ma’nawiyyah (hijrah nilai). 
·     Yakni, dengan meninggalkan nilai-nilai atau kondisi-kondisi jahiliah untuk berubah menuju nilai-nilai atau kondisi-kondisi Islami, seperti dalam aspek akidah, ibadah, akhlak, pemikiran dan pola pikir, muamalah, pergaulan, cara hidup, kehidupan berkeluarga, bertetangga, etos kerja, manajemen diri, manajemen waktu, manajemen dakwah, perjuangan, pengorbanan, serta aspek-aspek diri dan kehidupan lainnya sesuai dengan tuntutan keimanan dan konsekuensi keislaman.
·     Dengan kata lain, hijrah dari sifat malas dan putus asa kepada ketekunan berusaha, hijrah dari perilaku curang dan korup kepada perilaku adil dan jujur, hijrah dari kemaksiatan kepada ketakwaan, serta hijrah dari perangkap kemiskinan yang mendekatkan kepada kekufuran menuju kehidupan yang layak dan bermartabat, tetap relevan sepanjang masa.
·     Berbagai peristiwa dan kondisi memprihatinkan yang bagai benang kusut terjadi dalam kehidupan bangsa kita pada saat ini, hanya dapat diatasi dengan mengimplementasikan ajaran dan nilai-nilai hijrah.secara maknawiyah., yang perlu dibuktikan dengan tindakan yang nyata.
·     Jika hijrah hissiyyah bersifat kondisional dan situasional serta harus sesuai dengan syarat-syarat tertentu, hijrah ma’nawiyyah bersifat mutlak / wajib dan permanen, serta sekaligus merupakan syarat dan landasan bagi pelaksanaan hijrah hissiyyah.
·     Hijrah ma’nawiyyah inilah yang sebenarnya merupakan hakikat dan esensi dari perintah hijrah itu, karena itu hujrah secara ma’nawiyah itu hukumnya wajib bagi seorang yang beriman.
·     Ketika seseorang telah berikrar syahadat dan menyatakan diri telah beriman dan berislam, ia harus langsung ber-hijrah ma’nawiyyah dari kekafiran menuju ketauhidan.
·     Berhijrah secara ma’nawiyah esensinya adalah menuju ke arah perubahan dengan tetap mengikuti prinsip adarruj/pentahapan sesuai shibghoh rabbaniyah yaitu beriman kepada Allah tanpa tercampur sedikitpun dengan kemusyrikan, dan berislam secara kaffah
·     Firman Allah Ta’ala
QS. Al Baqarah (2:138), :
shibghotalloohi waman akhsanu minalloohi shibghotan wanakhnu lahu 'aabiduun
[2:138] Shibghoh Allah(Shibghah artinya celupan. Shibghah Allah: celupan Allah yang berarti iman kepada Allah yang tidak disertai dengan kemusyrikan.). Dan siapakah yang lebih baik shibghohnya dari pada Allah? Dan hanya kepada-Nya-lah kami menyembah.
QS Al-Baqarah (2:208).
yaa ayyuhaalladziina aamanuu udkhuluu fiissilmi kaaffatan,
walaa tattabi'uu khuthuwaatisysyaythooni
 innahu lakum 'aduwwun mubiin
[2:208] Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.
[Baca Juga pada : . (Qs. Al-An’fal, 8:74), (Qs. At-Taubah, 9:20)]
·      Dari  ayat-ayat di atas, terdapat esensi kandungan:
1.  Bahwa hijrah harus dilakuakn atas dasar niat karena Allah dan tujuan mengarah rahmat dan keridhaan Allah.
Daru sinilah Asbabulwurud Hadits tentang niat,
Sahabat -Al Faruq- Umar bin Khaththab radhiyallahu ’anhu berkata,”Saya mendengar Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,’Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya. Dan setiap orang akan mendapatkan yang ia niatkan. Barangsiapa yang berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, maka ia telah berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya itu karena kesenangan dunia atau karena seorang wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya itu kepada apa yang ditujunya’.” (HR. Bukhari & Muslim).
Asbabul wuru’ hadits dibawah ini, ketika rasululloh SAW berhijrah ke Madinah, diriwayatkan oleh Imam at Thabrani ra. dari sahabat Ibn Masud ra berkata : “terdapat seorang pemuda yang berniat menyunting seorang gadis bernama ‘Ummu Qois’,  namun gadis tersebut menolak kecuali telah datang saat hijrah di madinah, maka ikut hijrahlah pemuda itu, yang kemudian berhasil menyunting Ummu Qois, lalu kami menyebutnya dengan “Muhajir Ummu Qois”
2.  Bahwa orang-orang beriman yang berhijrah dan berjihad dengan motivasi karena Allah dan tujuan untuk meraih rahmat dan keridhaan Allah, mereka itulah adalah mu’min sejati yang akan memperoleh pengampunan Allah, memperoleh keberkahan rizki (ni’mat) yang mulai, dan kemenangan di sisi Allah.
3.  Bahwa hijrah dan jihad dapat dilakukan dengan mengorbankan apa yang kita miliki, termasuk harta benda, bahkan jiwa.
4.  Ketiga ayat tersebut menyebut tiga prinsip hidup, yaitu iman, hijrah dan jihad. Iman bermakna keyakinan, hijtah bermakna perubahan dan jihad bermakna perjuangan dalam menegakkan risalah Allah.
Hijrah Maknawiyah memuat 4 hakekat, yaitu:
1.  Hijrah I’tiqodiyah/Hijrah Keyakinan.
·     Iman seseorang bersifat pluktuatif, kadang menguat menuju puncak keyakinan mu’min sejati, kadang pula melemah mendekati kekufuran
·     Iman pula kadang hadir dengan kemurniannya, tetapi kadang pula bersifat sinkretis, bercampur dengan keyakinan lain mendekati memusyrikan.
·     Kita harus segera melakuakn hijrah keyakinan bila berada di tepi jurang kekufuran dan kemusyrikan keyakinan.
2.  Hijrah Fikriyah/Pemikiran.
·     Fikriyah secara bahasa berasal dari kata fiqrun yang artinya pemikiran.
·     Seiring perkembangan zaman, kemajuan teknologi dan derasnya arus informasi, seolah dunia tanpa batas. Berbagai informasi dan pemikiran dari belahan bumi bisa secara oline kitya akses.
·     Dunia yang kita tempati saat ini, sebenarnya telah menjadi medan perang antara maya dan kasat mata.
·     Medan perang yang ada tapi tak disadari keberadaannya oleh kebanyakan manusia, karena medan perang kita adalah dalam bentuk idea, pemikiran dan gagasan, namanya “Ghoswul Fikr” (baca: Perang pemikiran).
·     Tak heran berbagai pemikiran telah tersebar di medan perang tersebut laksana dari senjata-senjata perengut nyawa. Isu sekularisasi, kapitalisasi, liberalisasi, pluralisasi, telah menyusup ke dalam sendi-sendi dasar pemikiran kita yang murni. Ia menjadi virus ganas yang sulit terditeksi oleh kacamata pemikiran Islam.
·     Hijrah fikriyah menjadi sangat penting mengingat kemungkinan besar pemikiran kita telah terserang virus ganas tersebut. Mari kita kembali mengkaji pemikiran-pemikiran Islam yang murni. Pemikiran yang telah disampaikan oleh Baginda Nabi Muhammad Saw, melalui para sahabat tabi’in, tabi’it, tabi’in dan para generasi pengikut shalaf.
·     “Rasulullah Saw bersabda: Umatku niscaya akan mengikuti sunan (budaya, pemikiran, tradisi, gaya hidup) orang-orang sebelum kamu, sejengkal demi sejengkal, sehasta-demi sehasta, sehingga mereka masuk ke lubang biawak pasti umatku mengikuti mereka. Para sahabat bertanya: Ya Rasulullah apakah mereka itu orang-orang Yahudi dan Nasrani ? Rasulullah menjawab: Siapa lagi kalau bukan mereka.
3.  Hijrah Syu’uriyyah/Cita rasa
·     Syu’uriyah atau cita rasa, kesenangan, kesukaan dan semisalnya, semua yang ada pada diri kita sering terpengaruhi oleh nilai-nilai yang kuarng Islami.
·     Banyak hal seperti hiburan, musik, bacaan, gambar/hiasan, pakaian, rumah, idola semua tidak luput dari pengaruh nilai-nilai diluar Islam yang tentu saja tidak Islami.
·     Banyak umat Islam tanpa disadari telah hanyut terbawa arus oleh paham permisifisme dan hedonisme, berbau hura-hura dan senang-senang belaka.  Konon, umat Islam dimanjakan oleh budaya barat dengan 3 f, food, fan, fashion.
4.  Hijrah Sulukiyyah/tingkah laku
·     Suluk berarti tingkah laku atau kepribadian atau biasa disebut juag akhlaq. Dalam perjalanannya ahklaq dan kepribadian manusia tidak terlepas dari degradasi dan pergeseran nilai.
·     Pergeseran dari kepribadian mulai (akhlaqul karimah) menuju kepribadian tercela (akhlaqul sayyi’ah). Sehingga tidak aneh jika bermuculan berbagai tindak moral dan asusila di masyarakat.
·     Pencurian, perampokan, pembunuhan, pelecehan, pemerkosaan, penghinan dan penganiyaan seolah-olah telah menjadi biasa dalam masyarakat kita. Penipuan, korupsi,, prostitusi dan manipulasi hampir bisa ditemui di mana-mana.
·     Dalam moment hijrah ini, sangat tepat jika kita mengkoreksi akhlaq dan kepribadian kita untuk kemudian menghijrahkan akhlaq yang mulia.

(Rujukan : Dinukil dari Kitab: At Tabaruk Anwaa’uhu wa Ahkaamuhu (edisi terjemahan: Amalan dan Waktu yang Diberkahi), penulis Dr. Nashir bin ‘Abdirrahman bin Muhammad al Juda’i)

Waloohu a’lam bishowab
ﺳُﺒْﺤَﺎﻧَﻚَ ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﻭَﺑِﺤَﻤْﺪِﻙَ ﺃَﺷْﻬَﺪُ ﺃَﻥْ ﻻَ ﺇِﻟﻪَ ﺇِﻻَّ ﺃَﻧْﺖَ ﺃَﺳْﺘَﻐْﻔِﺮُﻙَ ﻭَﺃَﺗُﻮْﺏُ ﺇِﻟَﻴْﻚ
Subhanakallahumma wabihamdika
Asyhadualla ilahailla anta
Astagfiruka wa’atubu ilaik
“maha suci engkau ya allah, dengan memuji-mu aku bersaksi bahwa tiada sesembahan yang haq disembah melainkan diri-mu, aku memohon pengampunan-mu dan bertaubat kepada-mu.”
(hr. Tirmidzi, shahih).
Nas-alullah as-salamah wal ‘afiyah/
Hanya kepada allah kita mohon keselamatan.

Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.
Wassalamu’alaikum warahmatulloohi wabarokatuh


Label: