04.38 / Diposting oleh Drs. Achmad Chambali Hasjim, SH / komentar (0)

SEMOGA MENJADI HAJI MABRUR

Oleh : Achmad Chambali Hasjim
www.chambali-hasjim.blogspot.com



"LABBAIK ALLAHUMMA LABBAIK, LABBAIK LAA SYARIKKA LAKA LABBAIK,
INNAL HAAMDA WANNI'MATA LAKA WAL MULK LAA SYARIIKA LAKA."

("Aku datang memenuhi panggilanMu ya Allah, Aku datang memenuhi panggilanMu, Tidak ada sekutu bagiNya,
Ya Allah aku penuhi panggilanMu.
Sesungguhnya segala puji dan kebesaran untukMu semata-mata.
Segenap kerajaan untukMu.
Tidak ada sekutu bagiMu")

Kalimah talbiyah inilah yang menjadi tujuan untuk berhaji, yaitu memenuhi panggilan Allah SWT, selain memang untuk memenuhi kewajiban menjalankan rukun (tiang agama) Islam yang kelima setelah syahadat, shalat, zakat dan puasa. Juga untuk memenuhi perintah Allah SWT seperti yang difirmankan dalam Surah Ali-Imran : “ ….mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah…. (QS : Ali-Imran/3 : 97)

Ibadah haji akan memberikan pengalaman spiritual yang baik bagi peningkatan keimanan seorang muslim, karena ibadah haji bukan merupakan ibadah ritual semata. Lebih dari itu, ibadah haji adalah napak tilas perjalanan hamba-hamba Allah yang suci; Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, Siti Hajar, dan Ismail. Banyak peristiwa yang menggambarkan hidayah Allah SWT kepada hambanya yang sabar, taat dan bertaqwa kepadanNya.

Setiap datang musim haji, kita selalu menaruh harapan besar terhadap para jemaah haji yang banyaknya rata-rata 200 ribu lebih orang, agar kelak pulang dengan sandangan predikat ‘haji mabrur’. Predikat ini tentu menjadi dambaan tidak saja bagi yang melaksanakan ibadah haji, namun juga kita semua.

Rasulullah saw bersabda, “Sebaik-baik amal ialah iman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian jihad fi sabilillah, kemudian haji mabrur.” Pada kesempatan lain Rasulullah juga bersabda, “Jihadnya orang yang sudah tua dan jihadnya orang yang lemah dan wanita ialah haji mabrur.”

Balasan untuk haji mabrur adalah surga, seperti yang disabdakan Rasulullah SAW “..tidak ada balasan bagi haji mabrur kecuali surga.” (“Al hajjul mabrrur laisa lahuu jazaa illal jannah.”,. Surga adalah tempat yang pantas bagi orang yang hajinya mabrur.

Secara terminologis, kata “mabrur” dari kata “al-birru” berarti kebaikan atau mendapatkan kebaikan atau menjadi baik. Dalam QS. ke-3 (Ali ‘Imran) ayat 92 Allah SWT berfirman: “lantanalul birra, khatta tunfiquu mimma tuhibbun….. [Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai….. ].
Dalam Q.S. Al-Baqarah [2]: 177 : “Bukanlah menghadapkan wajah kamu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu adalah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, para nabi, dan memberikan harta yang dicintainya...” .


Kata mabrur ketika dirangkai dengan kata haji, maka ia menjadi sifat yang mengandung arti bahwa hajinya makbul/diterima dan hajinya diikuti dengan peningkatan kebajikan, kebaikan, bersih dan suci yang mendapat keridhoan Allah SWT dari keadaan sebelumnya.

Bahwa haji mabrur akan selalu ditandai dengan perubahan dalam diri pelakunya dengan mengalirnya amal saleh yang tiada putus-putusnya. Bila setelah berhaji seseorang selalu berbuat baik-beramal soleh, sampai ia menghadap Allah SWT, maka insya-Allah telah mendapatkan kemabruran yang berujung diridhoi Allah untuk masuk syurga.

Dan insya-Allah inilah makna yang dapat dipahami dari Firman Allah SWT dalam QS :Al-Baqoarah ayat ke 197 : “ (Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi (ialah bulan Syawal, Zulkaidah dan Zulhijjah), barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats (artinya mengeluarkan perkataan yang menimbulkan berahi yang tidak senonoh atau bersetubuh , berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal”

Dengan kata lain haji mabrur adalah haji yang akan mendapatkan kebaikan. Sering juga dikatakan sebagai ibadah yang diterima Allah Swt. Dengan demikian, haji mabrur adalah haji yang mendatangkan kebaikan bagi pelakunya atau pelakunya selalu memberikan kebaikan kepada orang lain. Jika logika itu dibalik, maka haji yang mardud (tertolak) adalah haji yang tidak mendatangkan kebaikan bagi pelakunya atau pelakunya tidak memberikan kebaikan kepada orang lain.

Sulitkah untuk menjadi mabrur ?, Ada satu kisah yang patut untuk direnungkan, yaitu kisah perjalanan haji Ibnu Muwaffaq yang dikutip al-Ghazali dalam Ihya 'Ulum al-Din. Ketika Ibnu Muwaffaq melaksanakan ibadah haji, dan sedang berada di suatu masjid di Mina, ia sempat tertidur sejenak. Dalam tidurnya ia bermimpi, melihat dan mendengar dialog dua orang malaikat. Mulaikat yang satu bertanya, ''Berapa jumlah jamaah haji tahun ini?'' ''Enam ratus ribu orang,'' jawab malaikat satunya. Kemudian ia bertana lagi ''Berapa orang dari mereka yang hajinya maqbul/mabrur?'' .Dijawab oleh malaikat satunya ''Enam orang saja,''. Mendengar jawaban ini, Ibnu Muwaffaq terjaga, gemetaran, ia termenung sejenak, memikirkan betapa besarnya jumlah jamaah haji ketika itu, tetapi betapa sedikitnya jumlah mereka yang maqbul atau mabrur.

Kemabruran dalam ibadah haji seseorang, justru akan ditampakkan setelah ia pulang dari beribadah haji. Kemabruran berupa meningkatnya amal kebajikan, amal soleh baik secara “hablumminanallah” maupun dalam “hablumminannas”. Amal ibadah hajinya ter-refleksi dalam kehidupan sosialnya. Kebajikan dari buah ibadahnya berbanding lurus dengan perilaku sosialnya. Ia sumber kebaikan dan kebajikan bagi lingkungannya sosialnya.

Perilaku ibadah haji, banyak mengajarkan menjadi perilaku yang mabrur sebagai hikmah dari ibadah haji. Hikmah memang merupakan hidayah dan anugerah dari Allah SWT. “ Allah menganugerahkan hikmah kepada siapa yang dia kehendak-Nya. Dan barang siapa dianugerahi hikmah itu, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (Al Baqarah : 269)

Kegiatan ritual ibadah haji, telah banyak memberikan hikmah yang dapat dijadikan pelajaran untuk meningkatkan ketaqwaan, tentunya seperti yang ditegaskan dalam ayat diatas, “…hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran…. Dan sangat disayangkan bila dalam beribadah haji kita kehilangan hikmah yang terkandung didalamnya, dan hanya mendapatkan capek dan lelah belaka (seperti dalam Ibadan syiam banyak orang yang hanya mendapatkan lapar dan dahaga saja ).

Keabsahan menjalan ibadah haji yaitu harus memenuhi rukun haji, yaitu meliputi : Ihram, yaitu pernyataan mulai mengerjakan ibadah haji dengan memakai pakaian ihram disertai niat haji di miqat (yaitu tempat atau waktu untuk memulai berniat ihram) ; Wukuf di Arafah (yaitu berdiam diri dan berdoa di Arafah pada tanggal 9 Zulhijah) : Tawaf Ifadah (yaitu mengelilingi Ka'bah sebanyak 7 kali, dilakukan setelah melontar jumroh Aqabah pada tgl 10 Zulhijah); Sa’i (yaitu berjalan atau berlari-lari kecil antara bukit Shafa dan Marwah sebanyak 7 kali, dilakukan setelah Tawaf Ifadah); Tahallul (yaitu bercukur atau menggunting rambut setelah melaksanakan Sa'i); Tertib (Mengerjakan kegiatan sesuai dengan urutan dan tidak ada yang tertinggal).

Hikmah Ihram.
Pakain ihram kaum laki-laki hanya terdiri dua lembar kain yang tanpa berjahit, yang disebut izaar (kain) dan rida' (selendang), dan disunahkan berwarna putih. Sedangkan bagi wanita, tidak ada pakaian khusus dan warna khusus untuk ihram, yang penting menutup aurat dan memenuhi adab-adab berpakaian bagi wanita dalam Islam.

Ini mengajarkan kepada kita, bahwa pakaian ihram ini disamping pertanda bahwa seseorang itu telah “labbaik allahumma labbaik” (aku datang memenuhi panggilan-Mu ya Allah), juga mengingatkan kita akan “memenuhi panggilan-Mu untuk selamanya atau meninggal di kelak kemudian hari” (yang akan dibungkus kain kafan).

Karena itu berihram, memberi hikmah bahwa status seseorang baik itu pangkat, jabatan, kekayaan, dan segala asesoris duniawi tidak pantas menjadikan manusia menjadi sombong, karena dihadapan Allah SWT hanya yang bertaqwalah yang lebih mulia. “Inna akramakum ‘indallahi ad-qaakum “ (QS Al-Hujurat :13).

Pakaian sering cenderung menjadi simbul status seseorang dan kemewahan pakaian dapat membangkitkan sikap sombong dan arogan. Dengan berihram, maka umat manusia sedunia yang berkumpul untuk berhaji, telah ikhlas menanggalkan status duniawinya demi memenuhi panggilan Allah. Hadist Qudsy Allah berfirman : “Wahai manusia sesungguhnya engkau kelaparan, AKU-lah yang memberimu makan. Sesungguhnya engkau telanjang AKU-lah yang member pakaian”

Saat berihram banyak larangan yang harus dipatuhi, larangan yang dimaksud dalam kehidupan keseharian diluar kegiatan ibadah haji mungkin hal-hal yang biasa seperti : Tidak boleh memotong dan mencabut rambut, memotong kuku, menggaruk sampai kulit terkelupas atau mengeluarkan darah; Tidak boleh menggunakan parfum, termasuk parfum yang ada pada sabun; Tidak boleh bertengkar; Tidak boleh membunuh binatang (kecuali mengancam jiwa), memotong atau mencabut tumbuhan dan segala hal yang mengganggu kehidupan mahluk; dll. dan kalau melanggar akan dikenakan dam/denda.

Kemampuan membayar dam mungkin tidak jadi masalah, karena menurut ukuran duniawi tidaklah begitu besar. Essensinya adalah sejauhmana kepatuhan dan ketaatan kita akan hukum Allah. Komitmen ini yang akan memberi dampak pada kehidupan sesudah ibadah haji. Komitmen terhadap keyakinan bahwa Allah Maha Mengetahui, akan menjadi sikap hidupnya dalam menggapai surga kelak dikemudian hari.

Hikmah Wukuf.
Kata ‘wukuf” berarti berhenti, diam tanpa bergerak. Wukuf di Padang Arafah pada 9 Dzulhijjah sebagai rukun ibadah haji. Rasulullah SAW bersabda : “Haji adalah (wukuf) di Arafah (HR. Bukhari & Muslim). Tidak ada haji jika tidak wukuf di Arofah.

Wukuf, merupakan cermin kehidupan bahwa, aktivitas sepadat apapun, ada saat untuk berdiam, bertafakur, bermunajat kehadirat Allah SWT. Ini konsekwensi logis dari komitmen mukminin “ iyyaka na’budu – wa iyyaka nastaiin” (Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan) (QS. Al-Fatiha : 5). Telampau sombong jika manusia tidak pernah bertafakur, bermunajat kehadirat Allah SWT.

Wukuf di Padang Arofah merupakan gambaran kelak kita akan dikumpulkan Allah SWT di Padang Mahsyar pada Hari Kebangkitan. Wukuf atau berdiam, bisa bermakna kelak kalau semua anggota badan sudah diam atau berhenti (wafat) akan dibangkitkan lagi di Padang Mahsyar. Padang Arafah ini sebagai miniatur Padang Mahsyar.

Waktu yang pendek di padang Arafah ini, pada 9 Zulhidjjah, terhitung mulai tergelincir matahari sampai matahari terbenam (maghrib). Mengisyaratkan kepada kita, betapa singkatnya hidup didunia ini dibanding dengan kehidupan yang abadi kelak. Karena waktu yang singkat itu, banyak-banyaklah berdo’a , berzikir, bertalbiyah, istighfar, bertobat dan minta ampunan kehadirat Allah SWT, seperti yang telah dilakukan saat wukuf di Arofah, serta berbuat baik, agar kelak tidak menjadi manusia yang merugi.

Rasulullah SWA pernah bersabda : "Aku berlindung kepada Allah SWT dari (godaan) syetan yang terkutuk. Tiada hari yang lebih banyak Allah membebaskan seorang hamba dari neraka selain Hari Arofah." (HR. Muslim)


Melontar Jumrah.
Melontar jumroh simbul permusuhan Nabi Ibrahim a.s. dengan iblis karena telah menggoda agar membatalkan niatnya untuk melaksanakan perintah Allah SWT. (menyembelih putranya Ismail a.s).

Melontar Jumrah mengingatkan kepada orang mukmin, bahwa Godaan iblis terhadap manusia tak akan berhenti, karena itu sudah tekadnya sejak iblis menolak perintah untuk bersujud kepada nabi Adam a.s : “Iblis mengatakan : Tuihanku, karena Engkau telah menilaiku sesat, niscaya akan kuhiasi kehidupan manusia di bumi, dan akan kusesatkan mereka semua, kecuali hamba-hamba-Mu diantara mereka yang ikhlas, hidup mentaati petunjuk-petunjuk-Mu" (QS. Al-Hijj : 40). Dalam Hadist Nabi SAW diingatkan : “Sungguh syetan merayap pada manusia sebagaimana jalannya darah “

Begitu intensnya iblis/syetan menggoda manusia yang beriman, maka melontar jumrah memberi peringatan akan permusuhan orang mukmin dengan iblis dan syetan. Kita harus berusaha “melontar jumrah” tidak saja saat beribadah haji, tetapi dalam kehidupan sehari-hari pasca beribadah haji. Lempar jauh-jauh pikiran-pikiran buruk dan niatan jahat yang dibisikan oleh iblis bin syetan ini.

Hikmah Thawaf.
Thawaf artinya berkeliling. Maksudnya mengelingi Ka’bah sebanyak tujuh kali putaran dimulai dan diakhir dari Rukun Hajar Aswad, dan Ka’bah berada pada sisi kiri yang berthawaf. “ …hendaklah mereka thawaf disekeling Bhait al-Altiq (Batitullah) “ (QS.: Al-Hajj : 29).

Tujuh putaran dalam thowaf mengelilingi Ka’bah untuk memenuhi panggilan Allah dengan tak hendi berdo’a, berdzikir, bertasbih, memuja akan kebesaran Allah, memberi hikmah kepada kita, bahwa dalam “putaran waktu 7 hari dalam seminggu” hendak dalam keseharian kita setelah berhaji tetap tidak terlepas dari berdo’a, berdzikir, bertasbih kepada Allah SWT. Inilah kebajikan buah dari Ibadah haji, meningkatnya kedekatan kita dengan Allah SWT, karena baru saja “bertamu kerumah Allah / Baitullah”

Hikmah Sa’i.
Kata Sa’i memiliki arti ‘usaha’ maksudnya hidup ini harus dipenuhi dengan usaha atau ikhtiar dalam mencapai kebahagiaan ‘fiddun ya wal akhirah’.

Kegiatan sa’i adalah berjalan kaki atau lari-lari kecil antara Bukit Safa dan Bukit Marwah sebanyak 7 kali. merupakan napak tilas perjuangan Siti Hajar yang sabar dan tawakal kepada Allah untuk mendapatkan air bagi putranya Ismail r.a yang akhirnya Allah mengalirkan Air Zam-zam.

Hikmah yang didapat dari sa’i, bahwa seorang muslim, lebih-lebih seorang mukmin haruslah giat dalam berusaha, berikhtiyar, bukan pemalas tetapi rajin dan giat bekerja, sabar, ulut dan bertawaqal. Karena sadar bahwa manusia hanya mampu berusaha dan berikhtiyar, Allah jua yang akan menetapkan hasilnya. Maka tawaqallah. Disamping itu hikmah lain adalah betapa besar kasih saying dan tanggung jawab seorang ibu terhadap putranya. Dari kasih sayang seorang ibulah, generasi yang santun, ulet, sabar dan bertawakal akan disiapkan, karena ibu adalah pendidik utama dan pertama bagi anak-anaknya.

Hikmah Tahallul.
Tahallul atau bercukur (wajib bagi laki-laki) merupakan perbuatan untuk melepaskan diri dari larangan-larangan ihram selama berihram atau penegasan dan realisasi akan selesainya masa ihram.

Makna yang tersimpan sebagai hikmah tahallul adalah membersihkan ‘batok kepala’ yang didalamnya terdapai otak atau pikiran-pikiran manusia dari pikiran-pikiran buruk. Bersihnya hati dan pikiran dari penyakit rohani (iri, dengki, hasut, ghibah, sombong, dll) sangat diperlukan untuk menapai kehidupan yang soleh/soleha dikemudian hari menuju keridhoan Allah SWT.


Semoga menjadi haji mabrur.
Kalau saja perjalanan ritual ibadah haji, juga dapat memaknai hikmah yang terkandung dalam perbuatan-perbuatan ibadah haji, sehingga setelah pulang kembali tempat tinggal semula, berdampak meningkatnya kebajikan dan kebaikan dari perilaku sosialnya, sehingga kemabruran hajinya akan sangat berdampat kepada ketentraman dan kesalehan social.

Kemabruran haji seseorang akan terlihat, seberapa membekas dan terinternailsasi dalam dirinya segala aktivitas ibadah haji yang dijalani, sehingga menjadi sikap hidup dan perilakunya.

Seorang haji yang mabrur, akan memiliki sikap
yang rendah hati, jauh dari sikap congkak, sombong, arogan, pamer kekayaan – jabatan – status, dll, karena mendapat hikmah dari ihramnya. Memiliki sikap tawaddu' (tahu diri) dan istiqomah dengan keimanannya,hikamah dari wukufnya. Sikap yang kuat dan tidak mudah tergoda oleh iming-iming syetan untuk berbuat curang dan sikap buruk lainnya (korup, manupulasi,dll), yang didapat dari hikmah melontar jumrah, karena setiap ada bisikan iblis bin syetan, ia lemparkan dari dirinya.

Thowafnya membekas kuat menjadikan dia orang yang selalu ingat kepada Sang Khaliq, kalimah talbiyahnya tetap mewarnai kehidupannya. Dalam putaran waktu 7 hari dalam seminggu tidak pernah putus melakukan “hablumminallah” Aktifitas ibadahnya semakin meningkat baik secara kualitas maupun kualitasnya.

Sa’inya telah memberi motivasi bahwa hidup ini penuh perjuangan yang memerlukan usaha yang gigih, kerja keras, tidak gampang putus asa, optimis, namun tetap sabar dan bertawaqal. Manusia yang berusaha, tetapi Allah jua yang menetapkan hasilnya.

Akhirnya, dengan tahallul, dengan mencukur rambut untuk menghilangkan ‘pikiran-pikiran buruk’. Hati dan pikiran setelah usai melaksanakan ibadah haji menjadi bersih, bercahaya. Karena itu di tutup dengan ‘tutup kepala putih’ /topi putih (tanda sudah haji ) juga pertanda bahwa hati dan pikirannya sudah suci dan bersih. Sebagai haji yang mabrur.

Makanya, do’a yang dibaca orang yang pulang dari ibadah haji adalah : TAUBAN TAUBAN TAUBAN, LIRABBINAA AUBAN LAA YU GHAADIRU (Aku bertaubat, aku bertaubat, aku bertaubat kepada Allah aku mengharapkan taubatku diterima, aku tidak akan mengulangi dosa-dosa lagi). Insya-Allah. ******* ( 25/XI/2010)






Label:

REFORMASI BIROKRASI DAN PERILAKU BIROKRASI

01.17 / Diposting oleh Drs. Achmad Chambali Hasjim, SH / komentar (0)

REFORMASI BIROKRASI, DAN
REFORMASI PERILAKU APARAT BIROKRASI

(Tulisan ini didedikasikan untuk menyambut HUT KORPRI
dan Hari Jadi Kabupaten Malang Tahun 2010)

Oleh : Drs. Ach. Chambali Hasjim. SH
www.chambali-hasjim.blogspot.com



Kalau kita mendengar kata ‘birokrasi’, yang terlintas dibenak kita adalah sesuatu yang memusingkan, kalau berkaitan dengan urusan pasti ‘mbulet’ (rumit), kalau bisa berusaha menjauhinya, atau bahkan kalau mungkin tidak usah bersinggungan dengannya. Persepsi ini muncul karena seringnya terdapat pengalaman buruk dan tidak menyenangkan bila berurusan dengan birokrasi. Tetapi sayangnya kita tak mungkin menghindar dari urusan birokrasi ini, mulai kita lahir sudah harus berurusan dengan birokrasi, kita butuh akta kelahiran, kemudian KTP, kemudian KK, SIM, dll, sehingga ‘birokrasi’ ini bagaikan necessary evil atau bayangan yang menakutkan tetapi kita butuh kehadirannya.

Kalau kita mencoba membuat catatan tentang masalah yang bersinggungan dengan birokrasi, kita akan dapatkan daftar panjang mengenai ketidak nyamanan berurusan dengan birokrasi, Anda boleh menambahkan, mungkin ada punya pengalaman yang kurang menyenangkan dengan birokrasi ini. Setidak-tidaknya daftar kritik yang terlontar terhadap birokrasi, seperti :
  1. Masih belum memuaskannya pelayanan public oleh birokrasi;
  2. Besarnya angka kebocoran anggaran Negara ;
  3. Rendahnya profesionalisme dan kompetensi aparat birokrasi ;
  4. Sulitnya pelaksanaan koordinasi antar instansi ;
  5. Masih banyaknya tumpang tindih kewenangan antar instansi, aturan yang tidak sinergis dan tidak relevan dengan perkembangan aktual, dan masalah-masalah lainya.
  6. Birokrasi juga dikenal enggan terhadap perubahan, eksklusif, kaku dan terlalu dominan, sehingga hampir seluruh urusan masyarakat membutuhkan sentuhan-sentuhan birokrasi.
  7. Tingginya biaya yang dibebankan untuk pengurusan hal tertentu baik yang berupa legal cost maupun illegal cost, waktu tunggu yang tidak jelas, banyaknya pintu layanan yang harus dilewati dan tidak berperspektif pelanggan/publik.
  8. Dll.

Kita akui dibeberapa tempat sejak bergulirnya reformasi, telah mengalami perubahan, namun terasa kurang signifikan dengan ketertinggalannya selama ini. Banyak pelayanan public yang secara regulasi sudah memberikan nafas baik bagi public, namun implementasinya masih juga dengan paradigma lama, menempatkan ‘custumer’ yaitu public pada posisi yang selalu tidak berdaya menghadapi aparat birokrasi.

Birokrasi berasal dari kata “bureau” yang berarti meja atau kantor; dan kata “kratia” (cratein) yang berarti pemerintah. Pada mulanya, istilah ini digunakan untuk menunjuk pada suatu sistematika kegiatan kerja yang diatur atau diperintah oleh suatu kantor melalui kegiatan-kegiatan administrasi (Ernawan, 1988). Dalam konsep bahasa Inggris secara umum, birokrasi disebut dengan “civil service”. Selain itu juga sering disebut dengan public sector, public service atau public administration.

Dalam Kamus besar Bahasa Indonesia, birokrasi didefinisikan sebagai : Sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai bayaran yang tidak dipilih rakyat; cara pemerintahan yang sangat dikuasai oleh pegawai negeri. (hal 120). Berdasarkan definisi tersebut nyatalah bahwa pegawai dari birokrasi didapat dengan cara pengangkatan atau penunjukan (appointed) dan bukan dengan cara pemilihan (elected).

Mengurai soal birokrasi, tidak bisa lepas dari konsep yang digagas Max Weber, sosiolog ternama asal Jerman, dalam karyanya ”The Theory of Economy and Social Organization”, yang dikenal melalui ‘ideal type’ birokrasi modern. Model ini yang sering diadopsi dalam berbagai rujukan birokrasi berbagai negara, termasuk di Indonesia, walaupun dalam penerapan tidak sepenuhnya bisa dilakukan.

Weber membangun konsep birokrasi berdasar teori sistem kewarganegaraan yang dikembangkannya. Ada tiga jenis kewenangan yang berbeda. Pertama, Kewenangan tradisional (traditional authority) atau kurang lebih di kita itu semacam, Tokoh Adat; yaitu yang mendasarkan legitimasi kewenangan pada tradisi yang diwariskan antar generasi. Kedua, Kewenangan kharismatik (charismatic authority), atau Tokoh Masyarakat/Agama, mempunyai legitimasi kewenangan dari kualitas pribadi dan yang tinggi dan bersifat supranatural, yangn keduanya merupakan pimpinan informal (informal leader). Dan Ketiga, kewenangan legal-rasional (legal-rational authority) mempunyai legitimasi kewenangan yang bersumber pada peraturan perundang-undangan. Yang terakhir ini biasa disebut Pimpinan Formal, yang dianggap oleh Weber, pimpinan yang paling efektif.

Ciri-ciri pokok organisasi birokrasi modern, menurut Weber yang sesuai dengan masyarakat modern, adalah :
1. sistem kewenangan yang hierakis (A hierarchical system of authority)
2. pembagian kerja yang sistematis (A systematic division of labour)
3. spesifikasi tugas yang jelas (A clear specification of duties for anyoneworking in it)
4. kode etik disiplin dan prosedur yang jelas serta sistematis (Clear ang systematic diciplinary codes and procedures)
5. kontrol operasi melalui sistem aturan yang berlaku secara konsisten (The control of operation through a consistent system of abstrac rules)
6. aplikasi kaidah-kaidah umum kehal-hal pesifik dengan konsisten (A consistent applications of general rules to specific cases)
7. seleksi pegawai yang didasarkan pada kualifikasi standar yang objektif (The selection of emfloyees on the basic of objectively determined qualivication)
8. sistem promosi berdasarkan senioritas atau jasa, atau keduanya (A system of promotion on the basis of seniority or merit, or both)

Paradigma Weber atas birokrasi adalah organisasi yang rasional dengan mengedepankan mekanisme social dan memaksimalkan efisiensi. Birokrasi sebagai institusi formal yang memerankan pengaturan, pelayanan dan pengembangan. Kehadiran birokrasi adalah kebutuhan rasional dalam mewujudkan tujuan pemerintah.

Sistem kewenangan yang hierakis (A hierarchical system of authority) sebagai salah satu konsep tipe idealnya Weber, dalam implementasi bias menjadi birokrasi yang lebih condong pada ‘berkuasa’ dari pada ‘bekerja’, ini sangat ditunjukan dalam birokrasi kita yang lebih pada pendekatan ‘struktur’ dari pada ‘fungsi’. Dalam birokrasi yang sanghat weberian ini, jabatan structural menjadi primadona, dibandingkan jabatan fungsional, padahal titik pokok pekerjaan birokrasi, yaitu pelayanan, berarti ada pada tugas fungsional, yaitu melayani public. Paradigma kekuasaan yang lebih melekat pada birokrasi telah terjadi hampir disemua tempat dan waktu di belahan bumi ini, hal ini dibuktikan munculnya adagium dari Lord Acton : power trend to corrupt, absolutely power tren to curropt absolutely.

Upaya untuk mengubah mainset aparat birokrasi/pegawai pemerintah menjadi pekerja fungsional, (bukan structural oriented) pernah dilakukan oleh Menpan Sawono Kusuma Artmadja dengan paradigma ‘miskin struktur, kaya fungsi’ sebagai upaya efisiensi, baik efisiensi sumberdaya manusia maupun efisiensi sumberdaya anggaran. Tetapi ‘perlawanan terselubung’ dari lingkungan aparat birokrasi lebih kuat dari gagasan tersebut, ini terbukti tidak direspon positif oleh kalangan aparat birokrasi, karena jabatan fungsional sangat dihindari (bahkan dianggap bukan jabatan) dan cenderung dijauhi, sehingga tidak kedengaran lagi upaya itu. Dan justru diera reformasi ini, ‘penggemukan’ aparat birokrasi lebih nampak (gemuk dalam arti jumlah aparat maupun jabatan structural sehingga gemuk pula anggaran aparatur yang selalu lebih tinggi dari anggaran pembangunan dalam anggaran belanja pemerintah), dan masalah eseloninasi lebih terasa dari pada masalah kopetensi.

Munculnya Reformasi 1998, salah satu picunya adalah buruknya pelayanan birokrasi yang sudah pada titik nadir, wabah virus bureaumania telah memperlihatkan wajah birokrasi yang cenderung korup, kolusi dan nepotisme. Birokrasi sebagai alat politik untuk mempertahankan kekuasaannya, bukan meningkatkan aspek ‘bekerja untu melayani’ tetapi menguatkan ‘penguasa yang harus dilayani’. Mengutip pendapat Karl D Jackson, birokrasi Indonesia merupakan beuracratic polity. Model ini merupakan birokrasi dimana menjadi akumulasi dari kekuasaan dan menyingkirkan peran masyarakat dari politik dan pemerintahan.

Kondisi di era reformasi dan eforia otonomi ini, kalau tidak hati-hati bisa jadi terserang penyakit ‘bureaumania jilid kedua’ seperti yang dialami di era orde baru yaitu mengalami Parsonian dan Orwelisasi seperti yang dikatakan Hans Dieter Evers. Birokrasi Parsonian merujuk pada pertumbuhan jumlah anggota serta pemekaran structural dalam birokrasi yang tidak terkendali. Birokrasi Orwel merujuk pada pola birokratisasi yang merupakan proses perluasan kekuasaan pemerintah yang dimaksudkan sebagai pengontrol kegiatan ekonomi, politik dan social dengan menggunakan regulasi yang bila perlu ada suatu pemaksaan. Model seperti ini wajah birokrasi memperlihatkan kinerja birokrasi yang tidak efisien, berbelit-belit, memiliki pegawai birokrasi (birokrat) yang semakin membengkak jumlahnya, secara structural lebih menitik beratkan pelayanan kepada penguasa dari masyarakat. Apakah masih seperti ini yang dirasakan ? Anda sendiri yang patut menjawab.

Pegawai birokrasi (PNS) diawal pemerintahan orde baru, melihat posisinya yang strategis maka pemerintah (kekuatan plotik penguasa) perlu mengkooptasinya sebagai mesin politik untuk melanggengkan kekuasaannya, Dengan Keppres Nomor 81 Tahun 1971, dilahirkanlah Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI) yang menjadi satu-satunya wadah untuk menghimpun dan membina pegawai diluar kedinasan, yang ternyata dalam implementasinya masuk dalam wilayah kedinasan.
Sampai akhir kekuasaan rezim orde baru, kita belum memiliki kebijakan publik yang mengatur pembatasan hubungan partai politik terhadap birokrasi. Akibatnya birokrasi menjadi infinitas (meluas tidak terbatas) terjadi politisasi birokrasi, yang ikut mendorong terjadi inefisiensi dan melemahnya kinerja birokrasi. Sampai menjelang masa transisi tahun 1998, kondisi birokrasi di Indonesia masih mengalami sakit bureaumania seperti kecenderungan inefisiensi, penyalahgunaan wewenang, kolusi, korupsi dan nepotisme.

Birokrasi dijadikan alat status quo mengkooptasi masyarakat guna mempertahankan dan memperluas kekuasaan monolitik. Birokrasi Orde Baru yang telah mengkooptasi Korpri secara struktural untuk mendukung pemenangan partai politik pemerintah. Padahal seharusnya birokrasi didorong menjadi institusi yang professional yang diperlukan sebagai aktor public services yang netral dan adil, demokratis dan transparan.


Dimasa trasisional menuju birokrasi yang bersih dari KKN, posisi pegawai birokrasi yang strategis karena menguasai aspek hajat hidup masyarakat, mulai dari urusan kelahiran, pernikahan, kegiatan usaha sampai urusan kematiannya, masyarakat tidak bisa menghindar dari birorkasi. Besarnya peran birokrasi tersebut akan turut menentukan keberhasilan pemerintah dalam menjalankan program dan kebijakan pembangunan. Keberhasilan suatu program pembangunan yang ditujukan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat, sangat tergantung dari bagaimana kinerja birokrasi dan perilaku birtokratnya. Kalau kinerja birokrasi dan perilaku birokratnya buruk, maka buruk pula yang dihasilkan, artinya menjadi penghambat perwujudan dari tujuan pembangunan yang dilakukan. Begitu juga sebaliknya.


Reformasi birokrasi yang mengiringi kehadiran era reformasi di Indonesia sejak tahun 1998, sudah menjadi prasyarat untuk hadirnya pemerintahan yang bersih dari KKN. Reformasi birokrasi berdasarkan teori Max Weber adalah upaya-upaya strategis dalam menata kembali birokrasi yang sedang berjalan sesuai prinsip-prinsip span of control, division of labor, line and staff, rule and regulation, and professional staff / rentang kendali, pembagian kerja, garis dan staf, ketentuan dan peraturan, dan staf profesional (Setiyono, 2004).


Babak baru untuk mengawali reformasi birokrasi, yaitu perlunya kesadaran akan pentingnya netralitas PNS. Maka pemerintahan BJ Habibie, mengeluarkan PP Nomor 5 Tahun 1999, yang menekankan PNS harus netral. Kalaupun PNS akan menjadi anggota parpol, maka harus tidak boleh aktif dalam jabatannya. Setelah itu, gaung reformasi birokrasi selalu bergema di mana-mana. Aturan netralitas PNS itu dikuatkan lagi dengan pengesahan UU Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian untuk menggantikan UU Nomor 8 Tahun 1974. Dikuatkan pula dengan UU No. 28 tahun 1999, tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dari korupsi, Kolusi dan nepotisme. Penataan untuk meregulasi aparat birokrasi yang terus dilakukan seiring tuntutan reformasi dan kebutuhan public akan birokrasi yang bersih, jujur dan bebas dari KKN.

PNS sebagai kekuatan strategis birokrasi pemerintahan memang menjadi kebutuhan yang utama dalam reformasi birokrasi. Mendudukan posisi netral para PNS yang dilakukan diawal era reformasi, karena memiliki pengalaman buruk di rezim orde baru. Namun regulasi yang dibuat untuk mendorong kenetralan aparat birokrasi (PNS) tidak dengan segera dikuti oleh perilaku aparat birokrasi. Keperpihakan PNS kepada kekuatan politik (yang berdampak pada melemahnya profesionalisme) masih tampak walau dalam wajah yang lain. Seharusnya tiga pilar kekuatan kepemerintahan di daerah memposisikan dirinya dengan posisi yang kuat. Pertama, Kepala Daerah (Gubernur/Bupati/Walikota) sebagai Pimpinan Eksekutif yang berbasis politik ; Kedua, Ketua DPRD sebagai Pimpinan Legeslatif yang berbasis Politik dan Ketiga, Sekretaris Daerah adalah Pimpinan Birokrasi yang berbasis professional. Aparat birokrasi secara professional yang dikomandani oleh Sekretaris daerah ini seharusnya tidak ikut bermain (mata) dengan masalah politik. Ia harus memposisikan dirinya secara professional dalam tataran birokrasi.

Kondisinya, birokrasi belum professional dan kurang memperhatikan kompetensi, jabatan-jabatan birokrasi masih banyak berbau politik. Mungkin ini yang membuat kegelisahan jajaran Kementrian Pendidikan Nasional yang dipimpin oleh Pak. Nuh mengeluarkan Permendiknas Nomor 28 tahun 2010 tertanggal 27 oktober 2010 tentang Penugasan Guru Menjadi Kepala Sekolah. Dengan Permendagri ini, Kepala Daerah tidak lagi berwenang memutasi kepala sekolah (TK/RA, SD/MI, SMP/MTs/SMA/MA dan SMK) dengan alasan “melindungi Kasek dari politik pemerintah yang sering merugikan mereka” (Jawa Pos 03/11/2010). Ini pertanda secara empiris aparat birokrasi masih ikut bermain di ranah politik kalau mau aman dengan kedudukannya. Mudah-mudahan kementrian lainnya tidak menyusul mengeluarkan permen yang sama untuk melindungi profesionalisme dan kompetensi aparat jajaran bidang tugasnya. Kalau itu terjadi, terus ada apa dengan otoda ?

Memang, dengan menghitung waktu, dari tahun 1998 hingga saat ini tahun 2010, artinya reformasi yang berjalan di Indonesia, yang didalamnya termasuk reformasi birokrasi sudah berjalan selama 12 tahun. Kalau dianalogkan dengan pertumbuhan seorang bayi sudah lumayan besar, tinggal sisi siapa yang melihatnya. Namun ‘menanam’ bibit reformasi yang kini jadi pohon reformasi diusianya 12 tahun ini, belum terasa rindang ‘untuk mengayomi’ kepentingan public.

Mereformasi birokrasi, memang tidak semudah mereformasi perilaku birokrat (aparat birokrasi)nya. Regulasi dan aturan yang menghantarkan kepada pemerintahan yang bersih, demokratis dan transparan, jauh dari perilaku korup, kolusi dan nepotisme yang didukung segala fasilitas pelayanan public dengan pemanfaatan teknologi informasi (E-Governance) sudah lebih dari cukup. Lagi-lagi jargon kuno masih harus diingatkan disini, man behin the tool, lagi-lagi tergantung siapa yang ada dibalik peralatan itu.

Salah satu penghambat perubahan perilaku birokrat, ditinjau dari aspek kebudayaan, aparatur birokrasi memiliki status sosial yang tinggi di tengah masyarakat. Status sosial tersebut merupakan aset kekuasaan, karena orang cenderung mau tunduk pada orang lain yang memiliki status sosial lebih tinggi (budaya patuh keatasan/raja), dan cenderung mempertahankan status quo nya. Padahal ditinjau dari aspek kedudukan birokrasi sebagai pelayan public, seharusnya dia tunduk kepada kamauan public yang telah tergambar dalam kebijakan public. Status sebagai Abdi Negara, yang didalamnya terkandung sisi pemerintah/penguasa dan sisi masyarakat, selama ini masih lebih kepada penguasa, dan sedikit kepada masyarakat.

Budaya paternalistic memang positif, jika komunikasi ‘keteladanan yang baik dan positif’ dapat dikembangkan dilingkungan social pekerjaan aparat birokrasi, karena dapat meng-internalisasi nilai-nilai dan norma-norma baik terhadap bawahannya. Tetapi kalau yang terjadi sebaliknya, maka yang terinternasilasi jadinya adalah norma-norma yang sudah ‘mapan’ dan dianut oleh banyak orang dilingkungan tugasnya.

Perubahan perilaku individu dapat terjadi karena adanya konflik motif yang dapat menimbulkan frustasi. Seorang individu yang berada dalam suatu komunitas tertentu dan menghadapi situasi approach-avoidance conflict, yaitu konflik psikis dalam diri individu karena dalam waktu yang bersamaan menghadapi situasi yang mengandung motif positif dan motif negative yang sama kuatnya. Maka yang terjadi adalah akan menentukan sikap kemana ia akan berpihak, dan ini sangat dipengaruhi oleh suasana kebathinannya dan suasana lingkungan ia bekerja dan sosialnya.

Dalam kondisi seperti ini, banyak yang mengalami frustasi, artinya motif yang kuat dalam dirinya kalah dengan suasana lingkungannya. Kalau sebelumnya ia memiliki motif positif dalam dirinya, ia harus meninggalkannya karena suasana lingkungan lebih memilih motif negatif. Sebaliknya motif negative yang ada dalam dirinya hilang karena terpengaruh suasana lingkungannya yang mendorong kuat arus motif positif. Karena itu system social yang baik, dan kuat mengikat dalam system social dimana individu ada (tempat kerja dan masyarakat) maka system social yang baik itu berkemampuan untuk menghadirkan individu-individu yang baik pula, karena yang ter-internasisasi terhadap individu-individu adalah norma dan nilai yang baik itu. Demikian sebaliknya. Perubahan individu dengan lingkungan dengan cara adaptasi untuk hidup yang lebih baik dalam arti positif disebut autoplastis, tetapi kalau adaptasi yang dilakukan menuju perubahan individu yang negative itu namanya alloplastis.

Disamping itu, adanya sterotipe masyarakat yang yang salah, bawa seorang pegawai negeri itu memiliki status social dan ekonomi yang tinggi, stereotype ini mendorong untuk membuktikannya walau dengan cara yang instan dan tidak terpuji, serta mendorong perilaku koripsi. Kondisi yang demikian ini dapat dijelaskan seperti apa yang akhir-akhir ini menjadi focus berita seluruh media di Indonesia. Konon Kementrian Keuangann RI, yang telah melakukan ‘reformasi birokrasi’ dengan bonus ‘renumerasi’ yang berarti digaji tinggi, menghebohkan karena toh masih ada perilaku aparat birokrasi yang tidak terpuji, karena masih korupsi, memperkaya diri, dengan mencuri, dari uang pajak negeri ini, akhirnya ditangkap polisi, atas pernyataan Susno Duadji, dan itu tidak sendiri, ramai-ramai dari staf sampai direksi.

Mereformasi perilaku aparat birokrasi akan sia-sia manakala rekruitmen aparat birokrasi tidak dilakukan secara bersih dan bebas dari KKN yang menjadi idiom era reformasi. Sudah menjadi omongan masyarakat bahwa untuk menjadi PNS tidak gratis (walau tidak semuanya), omongan ini semakin ramai dan mendekati kebenaran tatkala pengakuan tersangka penipuan CPNS, Joko Suparno cs yang menyebutkan bahwa ada 200 PNS dilingkungan Penprov Jatim lewat jalur belakang, walau sudah dibantah oleh BKDnya (Surya, 10/11/2010). Kondisi ini akan menciptakan perilaku aparat birokrasi yang kurang baik, karena waktu ia masuk kan tidak gratis, jadi sulit untuk memberikan ‘pelayanan publik’ nya secara gratis.

Untuk memperkuat system social yang memiliki motif positif secara kuat dilingkungan aparat birokrasi, memang tidak cukup dengan instrument regulasi, karena selama ini, aparat birokrasi yang sudah senyawa dengan instrument regulasi, tahu bagaimana menyiasatinya. Pengawasan eksternal dan internal juga sudah jelas mekanismenya, bahkan ada istilah pengawasan melekat, justru semakin melekat erat dan tersimpan rapat.

Terkait upaya pengawasan, pemerintah telah mengeluarkan PP No. 60 tahun 2008 tentang Sistem Pengawasan Intern Pemerintah/SPIP tanggal 28 Agustus 2008 untuk menjawab tantangan birokrasi pemerintahan, dan sekaligus sebagai penjabaran Pasal 58 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, yakni Presiden selaku Kepala Pemerintahan mengatur dan menyelenggarakan sistem pengendalian intern di lingkungan pemerintahan secara menyeluruh.

Pada Pasal 4 PP tersebut menyebutkan bahwa : Pimpinan Instansi Pemerintah wajib menciptakan dan memelihara lingkungan pengendalian yang menimbulkan perilaku positif dan kondusif untuk penerapan Sistem Pengendalian Intern dalam lingkungan kerjanya, melalui : penegakan integritas dan nilai etika ; komitmen terhadap kompetensi; kepemimpinan yang kondusif; pembentukan struktur organisasi yang sesuai dengan kebutuhan ; pendelegasian wewenang dan tanggung jawab yang tepat; penyusunan dan penerapan kebijakan yang sehat tentang pembinaan sumber daya manusia; perwujudan peran aparat pengawasan intern pemerintah yang efektif; dan hubungan kerja yang baik dengan Instansi Pemerintah terkait.


Pengawasan yang efektif adalah pengawasan internal yang melekat, yaitu pengawasan dari diri setiap individu yang melekat dalam hati nuraninya. Caranya dengan meng-internasilasi seluruh peraturan perundangan tentang kepegawaian itu kepada setiap individu aparat (tanpa membedakan jenjang jabatan), yaitu pemahaman terhadap peraturan berbanding lurus dengan perilaku tugasnya sebagai aparat.

Demikian juga pemahaman keyakinan yang dianutnya berbanding lurus dengan perilakunya. Karena tidak ada peraturan berperspektif buruk, dan juga tidak ada agama yang mengajarkan amalan buruk. Ini akan lebih baik kalau diawali oleh jajaran tingkat pimpiman, karena budaya kita adalah budaya paternalistic yang mengembangkan budaya anutan dan komunikasi keteladanan. Insa-Allah.

Akhirnya, saya ucapkan Dirgahayu KORPRI dan Selamat Hari Jadi Kabupaten Malang, 28 Nopember 2010. Marilah kita laksanakan apa yang telah diamanatkan kepada kita sebagaimana mustinya, tidak kurang dan tidak lebih, seperti yang difimankan Allah SWT : “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. [ Q.S. An-Nisaa’ (4):58] ******* ( Malang, 07/11/1020)

Label: