MENGAPA
HARUS KORUPSI
(Renungan Hari
Kemerdekaan 17 Agustus 2012)
Oleh : Drs. Ach. Chambali
Hs.SH
Korupsi,
yang popular diera reformasi, rasanya sudah menjadi komoditas dari industry
informasi yang tiap hari dilansir melalui media baik eletronik maupun cetak dan
sepertinya tak pernah akan berujung.
Perilaku
korupsi memang bukan hal baru bagi masyarakat dunia, termasuk Indonesia dari
sejak jaman dahulu kala. Dijaman kerajaan, ada isitilah “upeti” untuk para
kalangan punggawa kerajaan. Upeti diberikan secara sukarela dengan pamrih
tertentu, ataupun karena tekanan baik secara lahiryah melalui kekerasaan
fisik atau secara bathin dengan ancaman
dan terror.
Pada
rezim orde baru, korupsi kurang popular, bukan berarti tidak ada, hal ini karena
beberapa sebab, salah satunya adalah kuatnya proteksi terhadap media atas pemberitaan
yang tak sedap, yang berkaitan dengan para birokrat atau kehidupan pemerintahan
dan kenegaraan, sehingga tidak muncul kepermukaan.
Rezim
orba tidak bersih dari korupsi, dapat dibuktikan dengan melakukan penyelidikan
terhadap harta yang dimiliki oleh para mantan pejabat di era orde baru dengan
menggunakan system pembuktian terbalik. Bagi seseorang yang memiliki pendapatan
tetap, seperti para birokrat, pekerja kantoran baik swasta maupun negeri, buruh
tetap, dll dapat dihitung “home pay” nya pada setiap bulan, sesudah dikeluarkan
untuk kebutuhan hidupnya, dan sisanya yang ditabung berapa. Orang boleh beralasan punya usaha sampingan,
dengan system pembuktian terbalik, semua itu akan terbukti dengan sendirinya.
Pada
rezim orba, yang popular adalah “pungli
atau pungutan liar” kalau saat ini disebut “gratifikasi”. Pemberantasan “pungli” menjadi ‘icon” Pak Sudomo
selaku Kopkamtib, walau cuma kenceng di gaungnya, atau hanya tajam kebawah,
tetapi tumpul keatas. Makanya saat itu biar tidak dikatakan pungli, apabila
akan menggalang dana sumbangan masyarakat harus dengan label “ susutante” atau
sumbangan suka rela tanpa tekanan.
Perilaku
korup dinegeri ini sudah sangat memprihatinkan, lebih-lebih saat ini kecenderungannya
bukan menyusut tapi semakin membesar.
Bahkan lebih memprihatinkan lagi bahwa adanya ‘suksesi generasi penerus
koruptor”. Kalau saja generasi korupsi terjadi pada kelompok usia lima puluh
keatas, yah secara alami segera akan berakhir, tetapi dengan melihat Gayus, dan
temen-temen seangkatannya, maka pewarisan kultur korup benar-benar berjalan
mulus. Subhanalloh.
Kenapa
orang melakukan korupsi, gratifikasi atau manipulasi” ? satu pertanyaan besar
yang berkecamuk dibenak kita yang galau akan masa depan bangsa. Kalau didekati
secara psikologi social, bangsa ini memang banyak mengalami pergeseran norma
social , cara pandang, kultur dari rezim ke rezim selaras dengan perkembangan
yang ada, yang kurang diantisipasi dampak ikutannya.
Kalau
dalam rezim pasca kemerdekaan (kemudian disebut dengan orde lama), kehidupan
berbangsa dan bernegara masih lebih pada penataan suatu bangsa yang baru
merdeka, sehingga arus deras yang ada adalah seputar “kehidupan politik
bangsa”, gesekan lebih pada hal-hal yang
berkaitan dengan kekuasaan politik bangsa, karena masalah ekonomi masih minim.
Mengambil
pengalaman itu, rezim orde baru setelah menggantikan rezim orde lama
menasbihkan diri “ekonomi sebagai panglimanya pembangunan”. Hal ini bukan salah, karena masalah perut adalah
masalah yang akan memberikan kenyamanan warga bangsa setelah merdeka dari
penjajahan yang sangat panjang. Untuk mewujudkan politik ekonomi kita itu
berkiblat pada barat atau “Amerika yang kapitalistik” dengan tangan kanannya
yang bernama “Word Bank dan IMF”.
Dengan
sponsor kedua lembaga dunia yang dibaliknya ada negara kapitalis AS, Indonesia
didorong dengan ambisi dari kedua lembaga tersebut, tanpa mempertimbangan
kultur social budaya masyarakat Indonesia untuk mengakslerasi pertumbuhan
ekonominya, bermodal utang dari kedua lembaga tersebut tanpa memperhatikan
tingkat kelayakannya, telah mendorong tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia
sampai 8 persen pertahun sebelum dilanda krisis tahun 1998, sedang AS saja saat
itu hanya bisa tumbuh 3 – 4 persen. Sehingga Indonesia mendapat predikat “Singa
ekonomi di Asia tenggara saat itu.
Dari
semua itu, disinilah sebenarnya awal pergeseran norma social, cara pandang dan
kultur masyarakat Indonesia dari yang agraris, yang kental dengan kesantunan,
kegotongroyongan, dan agamis mulai bergeser pada nilai-nilai yang individualis,
matrealis dan kapitalis. Sukses Negara
dibidang ekonomi, akhirnya menjadi rujukan dan persepsi masyarakat dalam
menilai kesuksesan seseorang. Persepsi
masyarakat terhadap kesuksesan seseorang di ukur secara kapitalistik dan matrealistik,
bahwa “orang yang sukses adalah orang
yang mejadi kaya dari sebelumnya”, masyarakat tidak memperdulikan bagaimana
cara dan dari mana memperolehnya. Dan
masyarakat saat itu, menjastifikasi buruk kalau seorang pejabat pemerintahan
tidak menjadi kaya, justru masyarakat menerima dengan ‘ikhlas’ kalau pejabat menjadi
kaya atau bahkan kaya raya.
Pembangunan
bidang kerokhanian bukan tidak dilaksanakan, tetapi bak lokomotif dengan
gerbongnya. Karena lokomotif itu selalu menyeret gerbong, maka “lokomotif
sector ekonomi” akan selalu didepan dan menyeret “gerbong sector rohani” sampai akhirnya terjadi ‘kecelakaan’
lokomotifnya macet, dan justru ‘gerbongnya’ berjalan kencang, maka “Negara
menjadi anomaly” pada tahun 1998. Kemudian “lokomotif” nya diganti dengan
“reformasi” dan hasilnya justru menampilkan drama menyedikan tentang ‘budaya
korupsi ini. Apakah ini suatu masa yang
diisyaratkan oleh Rasululloh SAW bahwa : Akan datang bagi manusia suatu jaman dimana orang tidak
peduli apakah harta yang diperolehnya halal atau haram. (HR.
Bukhari),
Era
memang cepat berubah, orde baru tumbang digantikan dengan era reformasi, tetapi
tidak secara tiba-tiba perilaku ikut berubah secara cepat sebagaimana perubahan
yang terjadi para era atau rezim. Dan rasanya pada era reformasi ini cuma
terjadi pemerataan dan pergeseran peran
dalam berkorupsi. Dulu korupsi
didominasi oleh birokrat/aparat eksekutif, sekarang terjadi ‘pemerataan dan
pergeseran’ bahwa korupsi sudah merambah kemana-mana, Yang membedakannya,
sekarang ada penolakan dari public yang lebih kuat sehingga dibentuklah KPK.
Dimana
posisi moral agama para generasi bangsa ini ?, apa sudah tergerus oleh arus
global kapitalisme ?. Indonesia yang mendasarkan dirinya pada Pancasila, dan
pada sila pertama dengan menyebutkan tentang Ketuhanan, artinya moral dan
rohani keagamaan akan menjadi warna dalam pelaksanaan negara dan
pemerintahan seharusnya menampakan diri
sosok negara yang lebih bermoral, lebih amanah dari pada Negara lain yang tidak
memiliki Pancasila. Indonesia memang
bukan Negara agama, tetapi peletak dasar negara sudah sepakat, bahwa Ketuhanan
Yang Maha Esa menjadi dasar moral dalam penyelenggaraan Negara.
Agama
memerintahkan kita kepada zuhut, maksudnya jangan tamak akan
harta, dan tapi jangan mengabaikan kebutuhan duniawi termasuk harta. Rasululloh SAW dalam Hadits riwayat
At-Tirmidzi, telah memperingatkan bahwa, selain umur, ilmu, badan kita, juga
harta kita yang akan dikhisab di akherat kelak. Kalau umur, ilmu dan badan kita
dihisab dengan satu pertanyaan, maka urusan harta akan dipertanyakan “dari mana atau bagaimana cara memperolehnya
dan kemana membelanjakannya”
Harta
bagai pisau yang memiliki dua sisi yang sama tajamnya, dapat menjadi penolong
bagi pemeliharaan ketaqwaan kepada Allah (HR. Ad_Dailami), juga sekaligus
menjadi fitnah, ujian dan cobaan bagi kita “Sesungguhnya
bagi tiap-tiap umat itu ada fitnah, dan sesungguh-nya fitnah bagi umatku
adalah harta” (HR Tirmidzî). “Bagi tiap sesuatu terdapat ujian dan cobaan, dan ujian
serta cobaan terhadap umatku ialah harta-benda”. (HR. Tirmidzi)
Perilaku korupsi merupakan perilaku
klasik yang terus berkembang dan termodifikasi selaras dengan peradaban
manusia, tetapi intinya selalu sama memperkaya diri sendiri dengan cara melanggar
norma social, norma kebangsaan dan norma keagamaan. Padahal 14 abad yang lalu Rasululloh SAW sudah
mensinyalir semua ini akan terjadi, karena itu Rasululloh SAW memperingatkan : Barangsiapa
mengumpulkan harta dengan tidak sewajarnya (tidak benar) maka Allah akan
memusnahkannya dengan air (banjir) dan tanah (longsor). (HR. Al-Baihaqi).
Jangan-jangan musibah banjir dan longsor yang selama ini melanda seluruh
negeri, akibat ulah para koruptor ini.
Pengkultusan terhadap harta, fulus
atau uang, sampai menimbulkan keserakahan dan kecintaan secara fanatic dan opsesif,
serta tumbuh perilaku anarkhis dalam pemilikannya, disebabkan karena kebutuhan
pemuasan nafsu serakah yang temporer, ibarat “minum air laut semakin diminum
semakin haus”
Dorongan nafsu menguasai harta secara
anarkhis (brutal dan gelap mata) terus merongrong jiwa, hal ini karena adanya
unsur depersonalisasi dalam hubungan
pemilik dan hartanya. Harta (uang dan kesenangan) bukan lagi objek konkret yang
dicari, tapi sudah menjadi lambang status, dan perluasan ‘kekuasaan’ dan
‘kehormatan’ (pretasi dan prestige) pembentuk ego. Setelah mendapatkannya, seseorang merasa mendapatkan sepotong ego baru.
Tampilnya persepsi masyarakat modern
yang sekuler, dalam hubungan interaksi antar masyarakat yang selalu diukur dari
“kepemilikan materi” tersebut telah memunculkan suatu hubungan antar anggota
masyarakat untuk saling menguasai antar sesama sebagai bentuk cermin
“posisioning kekuasaan dan penguasaan” yang dimilikinya. Dan ini akan berdampak
pada meningkatnya konflik kejiwaan secara personal dan berimbas pada tatanan
social yang tampak pada tingkat solidaritas antar warga masyarakat yang
minimalis dan daya kohesitas atau daya rekat masyarakat melemah dan miskin
nilai. Kesenjangan antar warga
masyarakat semakin melabar, maka potensi konflik horizontal semakin kuat,
seperti api dalam sekam. Disnilah kita melihat bangsa ini mulai tercabut dari
akar budayanya, bagaimana saat bangsa ini merebut kemerdekaan.
Dengan tayangan media tv mengenai kasus
korupsi yang begitu gencar, sepertinya tidak membuat nyali para pelaku korupsi
beringsut sedikitpun, mungkin ia bersemboyan “yah itu kan apesnya dia
aja”. Rasanya sentuhan moral agama
mengenai perbuatan melawan hukum Allah sudah tidak ada dalam hatinya. Hatinya
sudah “qolbun munqoliba”, hatinya sudah gelap gulita, persepsi bahwa harta akan
mendorong kehormatannya dimata masyarakat masih kuat menjadi motivasinya.
Ada yang bilang “harta bukan
segalanya” itu betul, tapi secara realita di bangsa yang berpancasila ini
justru “segalanya perlu harta atau uang”, mau pintar butuh harta banyak, kalau
sakit akan dirawat dengan baik kalau ada harta banyak. Jadi prasyarat social yang mendorong untuk
terus korup masih kuat.
Memiliki harta melimpah memang
menjadi kebanggan, yang tidak boleh dibanggakan adalah bila cara memperolehnya
dengan melawan hukum positif maupun syariat Allah SWT. Rasululloh SAW
mengingatkan “Jangan
pula kamu mengagumi orang yang memperoleh harta dari yang haram. Sesungguhnya
bila dia menafkahkannya atau bersedekah maka tidak akan diterima oleh Allah dan
bila disimpan hartanya tidak akan berkah. Bila tersisa pun hartanya akan
menjadi bekalnya di neraka. (HR. Abu Dawud). Dan orang yang demikian ini sebenarnya akan
menyesal berkepanjangan hari pembalasan kelak “Orang yang paling dirundung penyesalan pada
hari kiamat ialah orang yang memperoleh harta dari sumber yang tidak halal lalu
menyebabkannya masuk neraka. (HR. Bukhari).
Dirgahayu, Republik Indonesia yang sedang merayakan
Hari Kemerdekaan Ke-67 Tahun 2012, Semoga Tuhan YME, Allah SWT memberkahi
bangsa ini. Amien*****
*/Penulis adalah warga Negara yang galau terhadap perilaku korupsi. Domisi
di Perum Sawojajar – Kota Malang (HP 085
7910 19060),
Label:
Opini-11