MUHASSABAH DI TAHUN BARU
HIJRIYAH 1437
MUHARAM
SATU DARI EMPAT BULAN YANG DIMULIAKAN
(Kuliah Subuh Online)
Bissmillaahirrahmaanirrahim,
Assalaamu’alaikum wr.
Wb
Alhamdulillaah
Alhamdulillaahil ladzii an ’amanna
Al iimaani wal islaami
Washolaatu wassalamu ‘
Ala asyrofil anbiyaa’i wal mursaliin _
Wa ‘alaa alihi washokhbihi aj ma’iinn
Allahumma inna as aluka
‘ilman nafi’an – wal
rizqon toyyiban
Wa ‘amalan mutaqobbaln
Asyahadu anlaa ilaa
hailalloh wahdahu laa syarikalah
Wa asyhadu anna muhammadan
abduhu warosuluh.
Jamaah subuh rohimatullah
·
Segala
puji bagi Allah yang telah melimpahkan
nikmat iman dan islam, serta nikmat umur, nikmat sehat dan nikmat kesempatan,
kita mampu melawan dinginnya dipagi buta
untuk tetap istiqomah sholat subuh berjamaah.
· Solawat
serta salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan penghulu alam-Nabi Besar Muhammad salallaahu alaihi wassalam. Berserta
keluarga dan sahabat-sahabatnya, serta para umat yang selalu mengikuti
sunnah-sunnahnya. Semoga pada yaumil
hisab nanti kita mendapatkan syafaatnya....... Amien.
Jamaah subuh rohimatullah
·
Kita
telah memasuki tahun baru hijriyah 1437,
kalau tahun baru masehiyah sering dirayakan dengan gegap gempita, pesta
pora bahkan kadang melanggar syariat,
·
Dalam
kita memasuki tahun baru 1 Muharamn 1437 ini sangatlah bijak kalau kita
melakukan muhassabah, instropeksi
perjalanan spiritual kita selama satu
tahun yang lewat agar ditahun yang akan datang bisa mendapatkan kehidupan
spiritual kita yang lebih baik lagi.
·
Imam
Turmidzi meriwayatkan tentang perkataan Umar bin Khattab yang mengingatkan
kepada umat islam : “hasibu
anfusakum qobla an tukhasabu.” Hisablah dirimu
sebelum kamu dihisab. Karena
akan meringankan pada yaumil khisab nanti
·
Pada
masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar, pernah beliau mengutarakan gagasannya
mengenai perlunya menetapkan kalender Isalam, saat itu yang sudah dikenal baru
nama bukannya, tahun keberapa belim ditetapkan, sehingga yang dipakai nama
tahun adalah momen, seperti lahirnya rasululloh pada tahun gajah, dimana pada
tahun itu terjadi penyerangan dari balatentara Abrahah dari negeri Yanan untuk
menyerang Ka’bah
·
Dimasa
Khalifah Umar bin Kahttab, gagasan penetapan kalender Islam dimulai, Beliau mengadakan
musyawarah yang dihadiri oleh pemuka-pemuka agama, dan pembesar-pembesar
muslim.
·
Di
dalam pertemuan itu ada beberapa momentum penting yang diusulkan sebagai dasar
penetapan pada tahun baru islam, dan momentum-momentum itu antara lain:
1.
Dihitung
dari hari kelahiran Nabi Muhammad
2.
Dihitung
dari wafatnya Rasulallah saw.
3.
Dititung
dari hari Rasulullah menerima wahyu pertama di gua Hira yang merupakan awal
tugas kenabiannya.
4.
Dimulai
dari tanggal dan bulan Rasulallah melakukan hijrah dari Mekah ke Madinah.
·
Akhirnya
Khalifah Umar
bin Khatab
menetapkan awal patokan penanggalan Islam adalah tahun dimana hijrahnya Nabi
Muhammad dari Mekkah ke Madinah, yang diusulkan oleh Ali bin Abi
Tholib r.a
·
Yaitu
Tanggal 1
Muharram Tahun 1 Hijriah bertepatan dengan tanggal 16 Juli 622,
dan tanggal ini bukan berarti tanggal hijrahnya Nabi Muhammad. Peristiwa
hijrahnya Nabi Muhammad terjadi bulan September
622.
·
1 Muharam, dalam kalender Jawa disebut dengan 1
Suro, sangat berbeda dalam menginterpretasikannya, Dalam masyarakat Jawa
(kejawen) kalau sudah 1 Syuro tidak berani bepergian, tidak boleh punya hajat,
dll.
·
Namun
Muharram dalam pemahaman syariat Islam, yang berarti diharamkan atau yang
sangat dihormati, merupakan bulan gencatan senjata atau bulan perdamaian. hal
ini menunjukkan bahwa umat Islam di manapun harus selalu bersikap damai, tidak
boleh berperang kecuali jika diperangi terlebih dahulu.
·
Seyogyanya,
umat Islam menghormati dan memaknai Muharram dengan spirit penuh perdamaian dan
kerukunan. sebab, Nabi Muhammad saw pada khutbah haji wada’ -yang juga di bulan
haram- mewanti-wanti ummatnya agar tidak saling bermusuhan, bertindak
kekerasan, atau berperang satu sama lain.
·
Esensi
dari spirit Muharram adalah pengendalian diri demi terciptanya kedamaian dan
ketentraman hidup, baik fisik, sosial, maupun spiritual. karena itu, di bulan
Muharram Nabi Muhammad saw menganjurkan ummatnya untuk berpuasa sunnah Asysyuro
( puasa pada hari kesepuluh di bulan Muharram).
·
Dari
Abu Hurairah , Nabi Muhammad saw bersabda,” puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah puasa
di bulan Muharram. dan shalat yang paling utama adalah shalat malam.”(HR.Muslim).
·
Al Asyhurul al hurum,
bulan-bulan yang dimulaikan yaitu Dzulqa’dah
(11), Dzulhijjah (12), Muharram (1) dan Rajab (7).
·
Quraish Shihab dalam Tafsir al Misbah Pesan
Kesan dan Keserasian Al Qur’an Jilid III, menjelaskan maksud Al-Ashur al-ḥurum,
sesuatu yang dimuliakan atau dihormati
biasanya lahir akibat penghormatan terhadap aneka larangan. Jika menghormati
orang tua maka tidak boleh untuk memperlakukanya seperti teman sebayanya, dari
sini kata mulia diartikan dengan “larangan”. Bulan mulia adalah
bulan yang harus dihormati karena itu terdapat sekian banyak hal yang terlarang
dilakukan pada bulan-bulan tersebut.
· Pengertian semacam ini dapat di ambil dari penjelasan surah al-Baqarah ayat 194, 217 al-Maidah ayat 2, 97 dan surah al-Taubah ayat 5 menyangkut adanya beberapa bulan yang dimuliakan dalam surah al-Taubah ayat 36 lebih di tegaskan lagi degan mengunakan lafaḍ Arba’atun Hurum yakni empat bulan mulia dengan menjelaskan pula bahwa bilangan bulan dalam setahun yang terkadang oleh kaum musyrikin ditambahkan atau diputar balikan tempatnya berjumlah dua belas bulan dalam setahun.
· Allah Ta’ala berfirman dalam QS At Taubah (9:36) :
inna 'iddatasysyuhuuri 'indalloohi itsnaa 'asyaro syahron fii kitaabillaahi
yawma kholaqossamaawaati wal-ardho minhaa arba'atun hurumun
dzaalikad-diinul qoyyimu falaa tazhlimuu fiihinna anfusakum
waqootiluul musyrikiina kaaffatan kamaa yuqootiluunakum kaaffatan wa'lamuu
annallooha ma'al muttaqiin
[9:36] Sesungguhnya bilangan
bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu
Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram.
Itulah (ketetapan) agama yang
lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri641 kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu
semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah
bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa
· Imam Ahmad juga Imam Bukhari dalam Ashahih Bukhari
meriwayatkan dari Abu Bakrah rahimatullah, bahwa Rasululloh Shallallohu 'Alaihi
Wasallam telah berkhutbah ketika haji wada', beliau bersabda: “Sesungguhnya zaman telah berputar seperti
keadaannya ketika Allah menciptakan langit dan bumi, dalam setahun itu terdapat
dua belas bulan. Empat diantaranya adalah bulan haram (disucikan). Tiga dari
empat bulan itu, (jatuh secara) berurutan yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijah,
Muharram. Sedangkan Rajab (yang disebut juga sebagai) syahru Mudhar, terletak
diantara Jumada (ats Tsaniyah) dan Sya’ban.”
· Implikasi dari arba'atun hurumun, Ibnu Jarir ath
Thabari rahimahullah meriwayatkan melalui sanadnya, dari Ibnu Abbas radhiallahu
anhu menjelaskan bahwa : “Allah Ta’ala telah menjadikan bulan-bulan
ini sebagai (bulan-bulan yang) suci, mengagungkan kehormatannya dan menjadikan
dosa yang dilakukan pada bulan-bulan ini menjadi lebih besar dan menjadikan
amal shalih serta pahala pada bulan ini juga lebih besar.” (Tafsir ath Thabari)
· Orang-orang Arab
pada masa Jahilyah telah mengharamkan (mensucikan) bulan ini, mengagungkannya
serta mengharamkan peperangan pada bulan-bulan ini.
· Imam Ibnu Katsir
rahimahullah mengatakan, “Bulan-bulan yang diharamkan (disucikan) itu hanya ada
empat. Tiga bulan secara berururtan dan satu bulannya berdiri sendiri (tidak
berurutan) lantaran adanya manasik Haji dan Umrah.
Maka , ada satu bulan yang telah diharamkan (disucikan)
yang letaknya sebelum bulan-bulan Haji, yaitu bulan Dzulqa’dah, karena ketika
itu mereka menahan diri dari perang.
Sedangkan bulan Dzulhijah diharamkan(disucikan) karena
pada bulan ini mereka pergi menunaikan ibadah Haji, dan pada bulan ini mereka
menyibukkan diri dengan berbagai ritual manasik Haji.
sebulan setelahnya, yaitu bulan Muharram juga disucikan
karena pada bulan ini mereka kembali dari Haji ke negeri asal mereka dengan
aman dan damai.
Adapun bulan Rajab yang terletak di tengah-tengah tahun
diharamkan (disucikan) karena orang yang berada di pelosok Jazirah Arabia
berziarah ke Baitul Haram. Mereka datang berkunjung ke Baitul Haram dan kembali
ke negeri mereka dengan keadaan aman.” (Tafsir Ibni Katsir)
· Sebagai bulan-bulan
yang diharamkan atau disucikan atau dimuliakan maka banyak hal yang diharamkan
untuk dilakukan dibulan ini, seperti malukan peperangan.
· Allah Ta’ala
berfirman :
(QS Al Baqoroh
[2]:217):
“Mereka bertanya tentang
berperang pada bulan Haram. Katakanlah:’ Berperang dalam bulan itu adalah dosa
besar…’”
(QS. Al Maidah [5]:2)
:
“Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu melanggar syi’ar-syi’ar Allah, dan jangan melanggar
kehormatan bulan-bulan Haram…”
(QS Al Maidah [5]:97):
“Allah telah menjadikan
Ka’bah, rumah suci itu sebagai pusat (peribadatan dan urusan dunia) bagi
manusia, dan (demikian pula) bulan Haram…”
Sekelompok
orang dari generasi salaf berpandangan bahwa hukum diharamkannya peperangan
pada bulan-bulan haram ini, adalah tetap dan berlangsung terus-menerus hingga
saat ini, karena dalil-dalil terdahulu. Sedangkan yang lainnya berpendapat
bahwa sesungguhnya larangan memerangi kaum musyrikin pada bulan-bulan haram ini
telah terhapus (mansukh) dengan firman Allah Ta’ala sebagaimana yang dijelaskan pada QS. At
Taubah (:36) “.....Itulah
(ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri641 kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu
semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah
bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa”
·
Imam
Ibnu Jarir ath Thabari rahimahullah mentarjih ( menguatkan) pendapat terakhir
ini (lihat tafsir ath Thabari), sedangkan Ibnu Katsir rahimahullah
mengatakan bahwa pendapat yang terakhir ini lebih masyhur (lihat Tafsir Ibni
Katsir).
BEBERAPA KEBERKAHAN DAN KEUTAMAAN BULAN-BULAN HARAM
1. Bulan Dzulqa’dah
·
Dia
merupakan salah satu bulan Haji (asyhurul hajji) yang dijelaskan oleh Allah
dalam friman-Nya:
“(Musim)
Haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi…” (QS.Al Baqarah:197)
· Asyhurun ma’luumaat
(bulan-bulan yang dikenal) merupakan bulan yang tidak sah ihram Haji kecuali
pada bulan-bulan ini (asyhurun ma’luumaat) menurut pendapat yang shahih. (lihat
Tafsir Ibnu Katsir).
· Dan yang dimaksud
dengan bulan-bulan Haji (asyhurul hajji) adalah bulan Syawal, Dzulqa’dah dan
sepuluh hari dari bulan Dzulhijjah. Diantara keistimewaan bulan ini, bahwa
empat kali ‘Umrah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam terjadi pada bulan
ini, hal ini tidak termasuk ‘Umrah beliau yang dibarengi dengan Haji, walaupun
ketika itu beliau Shalallahu ‘Alaihi Wassalam berihram pada bulan Dzulqa’dah
dan mengerjakan ‘Umrah tersebut di bulan Dzulhijjah bersamaan dengan Hajinya. (Lathaa
if al Ma’aarif, karya Ibnu Rajab; Zaadul Ma’aad).
· Ibnul Qayyim
menjelaskan pula bahwa ‘Umrah di bulan-bulan Haji setara dengan pelaksanaan
Haji di bulan-bulan Haji. Bulan-bulan haji dikhususkan oleh Allah dengan ibadah
Haji, dan Allah menjadikan bulan-bulan ini sebagai waktu pelaksanaannya.
· Sementara ‘Umran
merupakan Haji kecil, maka waktu yang paling utama untuk ‘Umrah adalah pada
bulan-bulan Haji. Sedangkan Dzulqa’dah berada di tengah-tengah bulan Haji
tersebut. (Zaadul Ma’aad).
· Karena itu terdapat
riwayat dari beberapa ulama Salaf bahwa disukai melakukan ‘Umrah pada bulan
Dzulqa’dah. (Lathaa if al Ma’aarif). Akan tetapi ini tidak menunjukkan
bahwa ‘Umrah di bulan Dzulqa’dah lebih utama daripada ‘Umrah di bulan Ramadhan.
· Keistimewaan lain
yang dimiliki bulan ini, bahwa masa tiga puluh malam yang Allah janjikan kepada
Musa untuk berbicara pada-Nya jatuh pada malam-malam bulan Dzulqa’dah.
· Sedangkan al asyr
(sepuluh malan tambahan)nya jatuh pada periode sepuluh malam dari bulan
Dzulhijjah berdasarkan pendapat mayoritas ahli Tafsir. (lihat Tafsir Ibnu
Katsir).
Sebagaimana
firman Allah Ta’ala:
“Dan telah Kami janjikan
kepada Musa (memberikan Taurat) sesudah berlalu waktu tiga puluh malam, dan
Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi)…”(QS. Al A’raaf:142)
2. Bulan Dzulhijjah
·
Diantara
beberapa keutamaa dan keberkahan bulan ini, bahwa seluruh manasik Haji
dilakukan pada bulan ini.
· Kesemuanya itu
merupakan syi’ar-syi’ar yang besar dari berbagai syi’ar Islam. Terdapat di
dalamnya, sepuluh hari pertama yang penuh dengan keberkahan dan keutamaan, lalu
tiga hari berikutnya merupakan hari-hari tasyriq yang agung.
3. Bulan Muharram
·
Di
antara keutamaan dan keberkahan bulan ini, sebagaimana yang tercantum dalam
Shahih Muslim dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah Shalallahu
‘Alahi Wassalam bersabda: “Puasa yang paling utama setelah Ramadhan
adalah (puasa yang jatuh pada) bulan Allah, (yaitu) Muharram…”
(HR. Muslim)
· Ibnu Rajab
rahimahullah mengatakan, “Nabi Shalallahu ‘Alahi Wassalam menamakan Muharram
dengan bulan Allah (syahrullaah).
· Penisbatan nama
bulan ini dengan lafazh ‘Allah’ menunjukkan kemuliaan dan keutamaan bulan ini,
karena sesungguhnya Allah tidak menyandarkan (menisbatkan) lafazh tersebut
kepada-Nya kecuali karena keistimewaan dan kekhususan yang dimiliki oleh
makhluk-nya tersebut dan seterusnya. (Laatha if al Ma’aarif).
· Sebagian ulama
memberikan alasan yang mengaitkan tentang keutamaan puasa pada bulan ini.
Maksudnya, bahwa sebaik-baik bulan untuk melakukan puasa sunnat secara penuh
setelah bulan Ramadhan, adalah Muharram.
· Karena berpuasa
sunnat pada sebagian hari, seperti hari ‘Arafah atau enam hari di bulan Syawal
lebih utama (afdhal) daripada berpuasa pada sebagian hari-hari bulan Muharram. (Laatha
if al Ma’aarif)
· Diantara keberkahan
bulan Muharram berikutnya, jatuh pada hari kesepuluh, yaitu hari ‘Asyura (10
Asyuro). Hari ‘Asyura ini merupakan hari
yang mulia dan penuh berkah.
· Hari ‘Asyura ini
memiliki kesucian dan kemuliaan sejak dahulu. Dimana pada hari ‘Asyura ini
Allah Ta’ala menyelamatkan seorang hamba sekaligus Nabi-Nya, Musa ‘Alaihis
Salam dan kaumnya serta menenggelamkan musuhnya, Fir’aun dan bala tentaranya.
· Sesungguhnya Nabi
Musa ‘Alaihis Salam berpuasa pada hari ini sebagai bentuk syukurnya kepada
Allah.
· Sedangkan
orang-orang Quraisy di zaman Jahilliyah juga berpuasa pada hari ini, begitu
juga Yahudi. Mereka dulu berpuasa pada hari ‘Asyura.
· Berdasarkan pendapat
kebanyakan ulama, puasa ini pada mulanya wajib bagi kaum muslimin sebelum
diwajibkannya puasa Ramadhan, kemudian (berubah) menjadi sunnah.
· Sebagaimana yang
tedapat dalam ash Shahihain dari ‘Aisyah radhiallahu anha, ia berkata: “Dahulu
orang-orang Quraisy berpuasa ‘Asyura pada zaman Jahilliyah. Dan Rasulullah
Shalallahu ‘Alahi Wassalam sendiri juga berpuasa ‘Asyura. Ketika beliau hijrah
ke Madinah, beliau terus melaksanakan puasa ‘Asyura, dan memerintahkan
orang-orang untuk berpuasa. Lalu ketika diwajibkan berpuasa pada bulan
Ramadhan, beliau bersabda:’Barangsiapa yang mau berpuasa ‘Asyura, berpuasalah
dan barangsiapa yang ingin meninggalkannya, tinggalkanlah.’” (HR. Bukhari dan Muslim)
· Dan juga tertera
dalam ash Shahihahin dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu anhuma, bahwa Rasulullah
Shalallahu ‘Alahi Wassalam datang ke Madinah dan beliau mendapati orang-orang
Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura. Maka Rasulullah Shalallahu ‘Alahi Wassalam
bertanya pada mereka, “Hari apakah ini, yang kalian berpuasa di
dalamnya?” Mereka menjawab: “Ini adalah hari yang agung, pada hari
inilah Allah menyelamatkan Musa ‘Alaihis Salam dan kaumnya, dan menenggelamkan
Fir’aun dan bala tentaranya. Maka Musa berpuasa pada hari ‘Asyura ini sebagai
tanda syukurnya.” Kemudian Rasulullah Shalallahu ‘Alahi Wassalam bersabda:
“Maka,
kami lebih berhak terhadap Musa ‘Alaihis Salam dan lebih diutamakan daripada
kamu sekalian.” Lalu Rasulullah Shalallahu ‘Alahi Wassalam
berpuasa ‘Asyura dan memerintahkan kaum muslimin agar berpuasa. (HR. Bukhari
dan Muslim)
· Dan puasa pada hari
ini memiliki keutamaan yang besar, dimana puasa ini dapat meleburkan dosa-dosa
setahun yang lalu, sebagaimana tertera dalam Shahih Muslim, dari Abu Qatadah al
Anshari radhiallahu anhu. Sesungguhnya Rasulullah Shalallahu ‘Alahi Wassalam
ditanya tentang puasa pada hari ‘Asyura, maka beliau bersabda, “Dia akan menggugurkan
(dosa-dosa) setahun yang lalu.” (HR. Muslm)
· Sebagian ulama berpendapat
sunnah berpuasa pada hari kesembilan bersamaan dengan hari kesepuluh karena
Nabi Shalallahu ‘Alahi Wassalam berpuasa pada hari kesepuluh dan berniat akan
berpuasa pada hari kesembilan. Imam Nawawi rahimahullah menyatakan,
“Barangkali sebab dari puasa dua hari ini agar tidak tasyabbuh (serupa) dengan
Yahudi yang berpuasa hanya di hari kesepuluh.” (Syarhun Nawawi li Shahih
Muslim)
· Tidak ada lagi yang
disyari’atkan pada hari ‘Asyura ini selain puasa. Namun sebagian orang
mengada-adakan perkara baru (bid’ah) yang tidak ada dasarnya sama sekali, atau
hanya bersandar pada hadits-hadits maudhu’ (palsu) atau hadits-hadits dha’if
(lemah).
· Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah rahimahullah menyebutkan beberapa perkara mungkar, yang diada-adakan
oleh ahlul ahwaa’ (pengikut hawa nafsu), yaitu kaum Rafidhah yang pada hari
‘Asyura pura-pura haus dan sedih, serta perkara-perkara baru lainnya yang tidak
disyari’atkan oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya. Dan tidak pula dilakukan oleh
seorang pun dari generasi Salaf dan dari ahli Bait Rasulullah Shalallahu ‘Alahi
Wassalam maupun dari yang lainnya. Sesungguhnya musibah terbunuhnya al Husain
bin Ali bin Abu Thalib pada hari ‘Asyura ini, wajib disikapi seperti
penyiikapan terhadap berbagai musibah dengan mengembalikannya kepada penyikapan
yang disyari’atkan.
· Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah juga menyebutkan bahwa sebagian orang mengada-adakan perkara baru
(bid’ah) dalam masalah ini dengan bersandar pada hadits-hadits palsu yang tidak
berdasar seperti fadhilah mandi pada hari ‘Asyura, bercelak atau berjabat tangan,
atau menampakkan rasa senang dan bahagia, dan meluaskan nafkahnya pada hari
itu. (lihat Iqtidhaa-ush Shiraathil Mustaqiim li Mukhaalafatil Ash haabil
Jahiim).
4. Bulan Rajab
·
Diriwayatkan
bahwa apabila Rasulullah Shalallahu ‘Alahi Wassalam memasuki bulan Rajab beliau
berdo’a: “Ya, Allah berkahilah kami di bulan Rajab (ini) dan (juga) Sya’ban, dan
sampaikanlah kami kepada bulan Ramadhan.” (HR.
Imam Ahmad, dari Anas bin Malik).
· Setelah menelaah
hadist ini, Ibnu Taimiyyah rahimahullah menyatakan,” Tidak pernah diriwayatkan
dari Nabi Shalallahu ‘Alahi Wassalam tentang fadhilah bulan Rajab di
hadits-hadits yang lain. Bahkan kebanyakan hadits yang tersebar tentang
keutamaan bulan Rajab ini yang disandarkan kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alahi
Wassalam adalah dusta…”(Iqtidhaa-ush Shiraatil Mustaqiim).
· Ahlul bid’ah telah
memalsukan banyak hadits tentang keutamaan bulan yang disucikan ini, dan juga
tentang kekhususan sebagian ibadah yang dilakukan pada bulan ini, seperti
shalat dan puasa.
· Dan diantara orang
yang mengingatkan hal ini adalah al Hafizh Ibnu Hajar al Asqalani rahimahullah
dalam risalahnya, Tabyiinul ‘Ajab bi Maa Warada fii Fadhli Rajab. Dalam risalah
ini beliau menjelaskan, “Tidak muncul
satupun hadits shahih tentang keutamaan bulan Rajab, tidak pula tentang
puasanya, tidak tentang puasa tertentu, dan tidak juga tentang mendirikan
shalat malam tertentu di bulan ini yang dikuatkan oleh sebuah hadits yang layak
untuk dijadikan sebagai hujjah.” (Risaalah Tabyiin al ‘Ajab).
· Kemudian beliau
menyebutkan hadits-hadits yang meriwayatkan hal ini dan menjelaskan hukum-hukum
dari hadits tersebut.
· Ibnu Rajab
rahimahullah menyatakan: “ Tidak benar
bahwa di dalam bulan Rajab terdapat shalat tertentu yang khusus untuk bulan ini
saja.” Lalu dia mengatakan, “ Tidak
benar dalam keutamaan puasa bulan Rajab secara khusus terdapat satu riwayat
dari Nabi Shalallahu ‘Alahi Wassalam dan para Sahabatnya.” (Laathaa iful
Ma’aarif). Karena itu kebanyakan ulama Salaf membenci pengkhususan bulan
Rajab dengan puasa.
· Abu Bakat ath Thurthusi
telah merinci masalah ini dengan mengatakan: ”Shaumnya seseorang (yang dikhususkan) pada bulan ini dimakruhkan dari
tiga segi, di antaranya bahwa pengkhususan kaum muslimin dengan puasa setiap
tahunnya (pada bulan ini) akan menyebabkan orang-orang awam mengira bahwa hal
itu adalah fardhu seperti halnya Ramadhan, atau mereka akan mengira bahwa hal
itu adalah sunnah yang tetap. dikhususkan oleh Rasul Shalallahu ‘Alahi Wassalam
dengan shaum rutin, atau shaum yang didalamnya dikhususkan dengan keutamaan
pahala atas seluruh bulan…”
· Kemudian beliau
mengatakan,”Jika ditinjau dari bab
keutamaan-keutamaan Sunnah Nabi Shalallahu ‘Alahi Wassalam atau dari
prakteknya, tidak wajib dan tidak pula sunnah menurut kesepakatan dan tidak ada
lagi anjuran melakukan puasa melainkan puasa yang sudah ditentukan.”
· Adapun ‘Umrah di
bulan Rajab telah disebutkan oleh Ibnu Rajab bahwa “umrah dibulan Rajab itu
adalah hukumnya sunnah menurut pendapat mayoritas generasi Salaf. Diantaranya
‘umar bin Khaththab radhiallahu anhu dan ‘Aisyah radhiallahu anha. (lihat
Laathaa-iful Ma’aarif)
KONSEP HIJRAH
·
Penetapan
tahun dalam kalender Islam oleh Khalifah Umar bin Khattab dimulai dari tanggal
dan bulan Rasulallah melakukan hijrah dari Mekah ke Madinah, pilihan ini
diambil dari usulan Sahabat Syayyidina Ali bin Abi Tholib r.a
·
Hijrahnya
Rasululloh SAW dari Makkah ke Madinnah sangatlah monumental dalam perjuangan tegaknya aqidah
Islamiyah, karena itu essensi hijrah secara historis maupun secara maknawi
terus tetap signifikan dalam perjalanan hidup para insan umat Muhammad.
·
Secara literal “hijrah” (Al-Muhajaroh), yang berarti meninggalkan, menjauhkan diri
dan berpindah dari satu tempat ke tempat lain dalam rangka mengharapkan adanya
perubahan kehidupan yang lebih baik dari tempat sebelumnya.
Pemhaman
hijrah dilakukan dalam dua pendekatan, yaitu :
Pertama, hijrah hissiyyah (hijrah fisik dengan berpindah tempat),
·
Pengertian Hijrah secara “hissiyyah/fisik” perpindahan yang
dilakukan dari suatu tempat ketempat lain, dari darul khauf (negeri yang tidak aman dan tidak kondusif) menuju darul amn (negeri yang relatif aman dan
kondusif), seperti hijrah dari Kota Makkah ke Tasyrik (Madinah).
·
Ketika Rasulullah melakukan hijrah ke Madinah, masih ada
sejumlah sahabat yang tetap bertahan di Makkah. Mereka tak mau meninggalkan
Makkah dengan berbagai alasan. Namun, selama bertahan di Makkah, umumnya mereka
tertindas oleh kaum kafir Qurays sehingga diliputi rasa duka.
·
Alquran melukiskan mereka sebagai orang-orang yang menganiaya
diri sendiri. Ketika mereka wafat dalam kondisi luka karena dianiaya kaum kafir
Qurays, Malaikat pun bertanya, “Bagaimana keadaan kalian menjadi seperti ini?”
“Kami adalah orang-orang yang tertindas di negeri Makkah,” jawab mereka.
·
Alquran kemudian merekam peringatan Malaikat berikutnya,
“Bukankah bumi Allah itu luas, maka berhijrahlah di bumi itu?” (QS Annisa [4]: 97). Alquran
mengingatkan, Allah membenci orang-orang yang membiarkan diri bertahan di
tengah kesemrawutan sosial, politik, dan ekonomi, perlakuan diskriminasi SARA (
Suku, Agama, Ras) “Kecuali mereka, baik laki-laki, perempuan, maunpun
anak-anak, yang tertindas karena tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui
jalan untuk berhijrah.” (QS Annisa [4]:
98).
·
Hijrah dilakukan bukan semata-mata untuk memperoleh kesenangan
duniawi ataupun kesejahteraan material, melainkan juga kesempurnaan pengabdian
untuk mewujudkan tatanan sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan yang lebih
mampu menjamin tegaknya hak-hak individu. atau hak asasi manusia Oleh karena
itu, hijrah menjadi solusi manusiawi sebagai wujud pengakuan atas segala
keterbatasan manusia dalam memperoleh semua haknya sekaligus pernyataan sikap
teologis untuk membuktikan segala Kemahamurahan Allah bagi manusia.
·
Bahkan, Allah sendiri menegur dengan tegas orang-orang yang
memaksakan kehendaknya untuk tetap bertahan dalam ketidakberdayaan, memaksakan
bertahan dalam ketidaknyamanan ataupun ketidaksejahteraan Secara historis, ayat
tersebut di atas termasuk kategori ayat Madaniyah.
·
Pesan Alquran ini turun kira-kira setelah tatanan masyarakat
Madinah tertata rapi, tumbuh penuh harmoni dalam nuansa multikultural sebagai
wujud perpaduan kebudayaan antara Anshar dan Muhajirin. Melalui firman-Nya ini,
Allah seakan-akan tengah mengamini tindakan Rasulullah dalam berhijrah,
meskipun sempat beberapa kali gagal.
·
Hijrah memang tidak sederhana. Ia tidak hanya melibatkan
tindakan fisik, tetapi juga menggambarkan kekuatan psikologis yang mendasari
ketulusan berikhtiar untuk mewujudkan kehendak Allah.
·
Hijrah Rasulullah SAW menjadi pertanda berdirinya Darul Islam pertama di muka bumi.
Disamping itu hijrah juga menjadi suatu bentuk pemberitahuan bahwa Daulah Islamiyah telah berdiri di bawah
kepemimpinan langsung Nabi Muhammad SAW.
·
Terdapat tiga monumental tindakan Rasululloh SAW yang terkait
hijrahnya ke Madinah, yaitu :
·
Pertama, pembangunan mesjid,
sebagai sarana penyebaran ajaran agama dan pembinaan ummat, fondasi kemasyarakatan yang sangat urgen,
yaitu pembinaan mental spiritual.
·
Pendirian mesjid merupakan tindakan terpenting dalam proses
pembangunan masyarakat Islam. Hal ini disebabkan masyarakat Islam yang kuat
harus berpegang pada aturan, akidah dan prinsip-prinsip moral Islam yang
kesemuanya itu bermuara pada potensi spiritual mesjid.
·
Muhammad Al-Ghazali menegaskan, bersegera mendirikan mesjid
menunjukkan bahwa Rasulullah SAW ingin mensyiarkan keagungan Islam. Sholat
didirikan di mesjid mengisyaratkan keterikatan setiap insan muslim dengan
Khaliknya, Tuhan Seru Sekalian Alam.
·
Tak ada harganya kebudayaan yang ditegakkan tanpa hubungan dengan
Allah Yang Maha Esa. Kebudayaan Islam yang mulai disyiarkan di Madinah
ditegakkan atas dasar hukum-hukum Allah (taqiru ‘ala hududillah) yang
dilestarikan dengan melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar.
·
Kedua, menjalin tali
persaudaraan antara kaum muslimin, khususnya antara Muhajirin dan Anshor,
fondasi kemasyaratan tentang pentingnya persaudaraan sesama muslim dalam
membangun suatu bangsa.
· Setiba di Madinah
Rasulullah SAW langsung mengikat kalangan Muhajirin dan Anshor dengan tali
persaudaraan yang teguh. Inilah dasar yang kedua. Rasulullah SAW menjadikan
mereka saling bersaudara di bawah nilai-nilai kebenaran dan kesetaraan.
Persaudaraan mereka jelas dibangun di atas landasan agama Islam dan kesatuan
akidah.
· Menurut Muhammad
Al-Ghazali, ikatan persaudaraan ini menghapuskan ‘ashabiyah, kebanggaan kabilah
dan fanatisme kesukuan yang tumbuh subur di zaman jahiliyah.
· Al-Buthi menegaskan
hikmah adanya ikatan ini menjadi salah satu pondasi penting dalam membangun
keadilan sosial (ahammul assail lazimah
linizhamil ‘adalatil jama’iyah).
· Untuk mewujudkan
persaudaraan sejati seperti di masa awal pemerintahan Islam sekarang ini akan
menemukan banyak kendala. Sulitnya mengharapkan kaum muslimin sedunia saat ini
menjalin persaudaraan seperti Muhajirin dan Anshor, karena sudah ditutupi oleh
banyak kepentingan.
·
Ketiga, menyusun undang-undang
dasar yang mengatur kehidupan umat Islam, sekaligus mempertegas hubungan mereka
dengan non muslim, khususnya dengan kelompok Yahudi, seperti yang ada Piagam Madinah/Al Watsiqoh
·
Piagam Madinah yang mengatur kehidupan muslim-non muslim. Menurut
Al-Buthi dasar ketiga ini merupakan bagian terpenting yang dilakukan Rasulullah
SAW karena berhubungan dengan perundang-undangan sebuah Negara baru.
·
Ibnu Hisyam meriwayatkan dalam kitab monumentalnya Assiratun
Nabawiyyah, beberapa hari setelah Rasulullah SAW tiba di Madinah, masyarakat
Arab berkumpul menghadapnya. Pada saat itu seisi rumah kaum Anshor telah
memeluk Islam. Satu-satunya suku di Madinah yang belum semua warganya memeluk
Islam hanyalah kabilah Aus. Ada lagi jiran mereka yang sudah lama menetap di
Madinah yakni kaum Yahudi dan musyrikhi lainnya.
·
Selanjutnya Rasulullah SAW menulis sebuah piagam perjanjian yang
diberlakukan bagi kaum muslimin, Anshor dan kaum Yahudi. Di dalam perjanjian
itu Rasulullah SAW meratifikasi agama yang mereka peluk (aqarrahum ‘ala
dinihim), hak kepemilikan harta dan beberapa hal lainnya.
·
Al-watsiqah (Piagam Madinah) didefinisikan oleh Al-Buthi sebagai
addustur, karena menurut Ulama paling berpengaruh di Timteng ini, addustur (undang-undang) merupakan
istilah yang paling modern dan tepat. Undang-undang tersebut disusun Rasulullah
SAW berdasarkan wahyu Allah SWT, ditulis para sahabat untuk kemudian dijadikan
landasan yang disepakati bersama oleh kaum muslimin dan Yahudi yang bertetangga
dengan mereka.
·
Semua ini tegas Al-Buthi membuktikan bahwa sejak awal masyarakat
Islam sudah didirikan di atas undang-undang dasar yang sempurna. Piagam ini
sekaligus menjadi bukti bahwa sejak awal “Negara Islam” (addaulatul Islamiyyah)
telah memiliki komponen perundang-undangan dan administrasi Negara
(al-idariyyah) yang representatif.
·
Muhammad Al-Ghazali menegaskan, lahirnya Piagam Madinah menepis
anggapan bahwa umat Islam sangat eksklusif, tidak bisa hidup berdampingan
dengan non muslim. la menggaris bawahi bahwa sejak di Madinah prinsip Islam
sudah diterapkan dengan tegas “Bagimu agamamu dan bagiku agamaku”.
Kedua, hijrah ma’nawiyyah (hijrah nilai).
·
Yakni, dengan meninggalkan nilai-nilai atau kondisi-kondisi
jahiliah untuk berubah menuju nilai-nilai atau kondisi-kondisi Islami, seperti
dalam aspek akidah, ibadah, akhlak, pemikiran dan pola pikir, muamalah,
pergaulan, cara hidup, kehidupan berkeluarga, bertetangga, etos kerja,
manajemen diri, manajemen waktu, manajemen dakwah, perjuangan, pengorbanan,
serta aspek-aspek diri dan kehidupan lainnya sesuai dengan tuntutan keimanan
dan konsekuensi keislaman.
·
Dengan kata lain, hijrah dari sifat malas dan putus asa kepada
ketekunan berusaha, hijrah dari perilaku curang dan korup kepada perilaku adil
dan jujur, hijrah dari kemaksiatan kepada ketakwaan, serta hijrah dari
perangkap kemiskinan yang mendekatkan kepada kekufuran menuju kehidupan yang
layak dan bermartabat, tetap relevan sepanjang masa.
·
Berbagai peristiwa dan kondisi memprihatinkan yang bagai benang
kusut terjadi dalam kehidupan bangsa kita pada saat ini, hanya dapat diatasi
dengan mengimplementasikan ajaran dan nilai-nilai hijrah.secara maknawiyah.,
yang perlu dibuktikan dengan tindakan yang nyata.
·
Jika hijrah hissiyyah bersifat kondisional dan situasional serta
harus sesuai dengan syarat-syarat tertentu, hijrah ma’nawiyyah bersifat mutlak
/ wajib dan permanen, serta sekaligus merupakan syarat dan landasan bagi
pelaksanaan hijrah hissiyyah.
·
Hijrah ma’nawiyyah inilah yang sebenarnya merupakan hakikat dan
esensi dari perintah hijrah itu, karena itu hujrah secara ma’nawiyah itu
hukumnya wajib bagi seorang yang beriman.
·
Ketika seseorang telah berikrar syahadat dan menyatakan diri
telah beriman dan berislam, ia harus langsung ber-hijrah ma’nawiyyah dari
kekafiran menuju ketauhidan.
·
Berhijrah secara ma’nawiyah esensinya adalah menuju ke arah
perubahan dengan tetap mengikuti prinsip adarruj/pentahapan
sesuai shibghoh rabbaniyah yaitu
beriman kepada Allah tanpa tercampur sedikitpun dengan kemusyrikan, dan
berislam secara kaffah
·
Firman Allah Ta’ala
QS. Al Baqarah (2:138), :
shibghotalloohi waman akhsanu minalloohi shibghotan wanakhnu lahu 'aabiduun
[2:138] Shibghoh Allah(Shibghah
artinya celupan. Shibghah Allah: celupan Allah yang berarti iman kepada
Allah yang tidak disertai dengan kemusyrikan.). Dan siapakah yang lebih baik shibghohnya dari
pada Allah? Dan hanya kepada-Nya-lah kami menyembah.
QS Al-Baqarah (2:208).
yaa
ayyuhaalladziina aamanuu udkhuluu fiissilmi kaaffatan,
walaa
tattabi'uu khuthuwaatisysyaythooni
innahu lakum 'aduwwun mubiin
[2:208] Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam
keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya
syaitan itu musuh yang nyata bagimu.
[Baca Juga pada : .
(Qs. Al-An’fal, 8:74), (Qs. At-Taubah, 9:20)]
·
Dari ayat-ayat di atas,
terdapat esensi kandungan:
1.
Bahwa hijrah harus dilakuakn atas dasar niat karena Allah dan
tujuan mengarah rahmat dan keridhaan
Allah.
Daru
sinilah Asbabulwurud Hadits tentang niat,
Sahabat
-Al Faruq- Umar
bin Khaththab radhiyallahu
’anhu berkata,”Saya mendengar Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam
bersabda,’Sesungguhnya amal
itu tergantung niatnya. Dan setiap orang akan mendapatkan yang ia niatkan.
Barangsiapa yang berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, maka ia telah berhijrah
kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya itu karena
kesenangan dunia atau karena seorang wanita yang akan dinikahinya, maka
hijrahnya itu kepada apa yang ditujunya’.” (HR. Bukhari &
Muslim).
Asbabul wuru’ hadits dibawah ini, ketika rasululloh
SAW berhijrah ke Madinah, diriwayatkan oleh Imam at Thabrani ra. dari sahabat
Ibn Masud ra berkata : “terdapat seorang
pemuda yang berniat menyunting seorang gadis bernama ‘Ummu Qois’, namun gadis tersebut menolak kecuali telah
datang saat hijrah di madinah, maka ikut hijrahlah pemuda itu, yang kemudian
berhasil menyunting Ummu Qois, lalu kami menyebutnya dengan “Muhajir Ummu
Qois”
2.
Bahwa orang-orang beriman yang berhijrah dan berjihad dengan
motivasi karena Allah dan tujuan untuk meraih rahmat dan keridhaan Allah,
mereka itulah adalah mu’min sejati yang akan memperoleh pengampunan Allah,
memperoleh keberkahan rizki (ni’mat) yang mulai, dan kemenangan di sisi Allah.
3.
Bahwa hijrah dan jihad dapat dilakukan dengan mengorbankan apa
yang kita miliki, termasuk harta benda, bahkan jiwa.
4.
Ketiga ayat tersebut menyebut tiga prinsip hidup, yaitu iman,
hijrah dan jihad. Iman bermakna keyakinan, hijtah bermakna perubahan dan jihad
bermakna perjuangan dalam menegakkan risalah Allah.
Hijrah Maknawiyah
memuat 4 hakekat, yaitu:
1. Hijrah I’tiqodiyah/Hijrah Keyakinan.
·
Iman seseorang bersifat pluktuatif, kadang menguat menuju puncak
keyakinan mu’min sejati, kadang pula melemah mendekati kekufuran
·
Iman pula kadang hadir dengan kemurniannya, tetapi kadang pula
bersifat sinkretis, bercampur dengan keyakinan lain mendekati memusyrikan.
·
Kita harus segera melakuakn hijrah keyakinan bila berada di tepi
jurang kekufuran dan kemusyrikan keyakinan.
2. Hijrah Fikriyah/Pemikiran.
·
Fikriyah secara bahasa berasal dari kata fiqrun yang artinya pemikiran.
·
Seiring perkembangan zaman, kemajuan teknologi dan derasnya arus
informasi, seolah dunia tanpa batas. Berbagai informasi dan pemikiran dari
belahan bumi bisa secara oline kitya akses.
·
Dunia yang kita tempati saat ini, sebenarnya telah menjadi medan
perang antara maya dan kasat mata.
·
Medan perang yang ada tapi tak disadari keberadaannya oleh
kebanyakan manusia, karena medan perang kita adalah dalam bentuk idea,
pemikiran dan gagasan, namanya “Ghoswul
Fikr” (baca: Perang pemikiran).
·
Tak heran berbagai pemikiran telah tersebar di medan perang
tersebut laksana dari senjata-senjata perengut nyawa. Isu sekularisasi, kapitalisasi, liberalisasi, pluralisasi, telah
menyusup ke dalam sendi-sendi dasar pemikiran kita yang murni. Ia menjadi virus
ganas yang sulit terditeksi oleh kacamata pemikiran Islam.
·
Hijrah fikriyah menjadi sangat penting
mengingat kemungkinan besar pemikiran kita telah terserang virus ganas
tersebut. Mari kita kembali mengkaji pemikiran-pemikiran Islam yang murni.
Pemikiran yang telah disampaikan oleh Baginda Nabi Muhammad Saw, melalui para sahabat
tabi’in, tabi’it, tabi’in dan para generasi pengikut shalaf.
·
“Rasulullah Saw bersabda: Umatku niscaya akan mengikuti sunan (budaya, pemikiran, tradisi,
gaya hidup) orang-orang sebelum kamu, sejengkal demi sejengkal, sehasta-demi
sehasta, sehingga mereka masuk ke lubang biawak pasti umatku mengikuti mereka.
Para sahabat bertanya: Ya Rasulullah apakah mereka itu orang-orang Yahudi dan
Nasrani ? Rasulullah menjawab: Siapa lagi kalau bukan mereka.
3. Hijrah Syu’uriyyah/Cita rasa
·
Syu’uriyah atau cita rasa, kesenangan, kesukaan dan semisalnya,
semua yang ada pada diri kita sering terpengaruhi oleh nilai-nilai yang kuarng
Islami.
·
Banyak hal seperti hiburan, musik, bacaan, gambar/hiasan,
pakaian, rumah, idola semua tidak luput dari pengaruh nilai-nilai diluar Islam
yang tentu saja tidak Islami.
·
Banyak
umat Islam tanpa disadari telah hanyut terbawa arus oleh paham permisifisme dan
hedonisme, berbau hura-hura dan senang-senang belaka. Konon, umat Islam dimanjakan oleh budaya
barat dengan 3 f, food, fan, fashion.
4. Hijrah Sulukiyyah/tingkah laku
·
Suluk berarti tingkah laku atau kepribadian atau biasa disebut
juag akhlaq. Dalam perjalanannya ahklaq dan kepribadian manusia tidak terlepas
dari degradasi dan pergeseran nilai.
·
Pergeseran dari kepribadian mulai (akhlaqul karimah) menuju
kepribadian tercela (akhlaqul sayyi’ah). Sehingga tidak aneh jika bermuculan
berbagai tindak moral dan asusila di masyarakat.
·
Pencurian, perampokan, pembunuhan, pelecehan, pemerkosaan,
penghinan dan penganiyaan seolah-olah telah menjadi biasa dalam masyarakat
kita. Penipuan, korupsi,, prostitusi dan manipulasi hampir bisa ditemui di
mana-mana.
·
Dalam moment hijrah ini, sangat tepat jika kita mengkoreksi
akhlaq dan kepribadian kita untuk kemudian menghijrahkan akhlaq yang mulia.
(Rujukan
: Dinukil dari Kitab: At Tabaruk Anwaa’uhu wa Ahkaamuhu (edisi terjemahan:
Amalan dan Waktu yang Diberkahi), penulis Dr. Nashir bin ‘Abdirrahman bin
Muhammad al Juda’i)
Waloohu a’lam
bishowab
ﺳُﺒْﺤَﺎﻧَﻚَ
ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﻭَﺑِﺤَﻤْﺪِﻙَ ﺃَﺷْﻬَﺪُ ﺃَﻥْ ﻻَ ﺇِﻟﻪَ ﺇِﻻَّ ﺃَﻧْﺖَ ﺃَﺳْﺘَﻐْﻔِﺮُﻙَ
ﻭَﺃَﺗُﻮْﺏُ ﺇِﻟَﻴْﻚ
Subhanakallahumma wabihamdika
Asyhadualla ilahailla anta
Astagfiruka wa’atubu ilaik
“maha suci engkau ya allah, dengan
memuji-mu aku bersaksi bahwa tiada sesembahan yang haq disembah melainkan
diri-mu, aku memohon pengampunan-mu dan bertaubat kepada-mu.”
(hr. Tirmidzi, shahih).
Nas-alullah as-salamah wal
‘afiyah/
Hanya kepada allah kita mohon keselamatan.
Wallahu
waliyyut taufiq was sadaad.
Wassalamu’alaikum
warahmatulloohi wabarokatuh
Label: Tausiah bil hikmah-25