AL- ’ASHR / DEMI WAKTU
(Kuliah Subuh Seri Al Ashr Eps_2 : Beriman / Amannu )
الْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ
الْعَالَمِيْنَ
وَالصَّلاَةُ
وَالسَّلاَمُ عَلَى أَشْرَفِ اْلأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ
وَعَلَى اَلِهِ
وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ
أَمَّا بَعْدُ
أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ
الشَّيطَانِ الرَّجِيْمِ
أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيطَانِ
الرَّجِيْمِ
wal'ashri
[103:1] Demi masa.
innal-insaana
lafii khusrin
[103:2] Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian,
Illaaalladziina
aamanuu wa'amiluush-shoolikhaati watawaa
sawbil khaqqi watawaa sawbish-shobri
kecuali
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh
dan nasehat
menasehati supaya mentaati kebenaran
dan nasehat
menasehati supaya menetapi kesabaran.
Majelis netizen rohimatullah
· Sebelumnya kita panjatkan syukur kehadirat allah swt..
Tuhan maha pemurah pencurah rahmah maha pengasih yang tak pilih kasih dan maha
penyayang yang kasih sayangnya tak terbilang.
· Alhamdulillaahil
ladzii an ’amana al iimaani wal islaami,
segala puji bagi allah yang telah melimpahkan nikmat iman dan islam.
· Wa
nikmatan ‘umrihi, wa an jismihi, nikmat umur - kesempatan dan nikmat badan sehat, sehingga hari ini kita
bisa hadir di majelis ilmu ini untuk melaksana seruan Rasuulloh sawl “barangsiapa
meniti suatu jalan untuk mencari ilmu (dienul islam), maka Allah akan
memudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim).... Amien.
· Berkat rahmat
dan nimat itulah, pagi ini kita dapat menunaikan sholat subuh berjamaah di
rumah Allah yang penuh rahmat.. Baiturrohmah.
· Sholat subuh
yang selalu disaksikan oleh malaikat ini seperti difirmankan Allah
Ta’ala dalam QS. Al israa’-78, oleh Rasululloh saw di tegaskan bahwa “barang siapa
sholat shubuh, maka ia dalam jaminan Allah....(hr. Muslim.
No 1.050)
·
Wanusyolaa wanusalamu ‘alaa khoiril
anaam Muhammadin shalalloohu ‘alaihi
wassalam, sholawat dan salam semoga senantiasa tercurah atas junjungan penghulu
alam-nabi besar Muhammad salallaahu alaihi wassalam, beserta para keluarga,
sahabat serta umatnya ....amien
Saya juga ingin berwasiat, terutama untuk diri saya dan
keluarga keluar saya serta hadirin “ ...
Yaa
ayyuhaalladziina aamanuu ittaquullaaha haqqa tuqaatihi walaa tamuutunna illaa
wa-antum muslimuun /... Bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa
kepada-nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan
beragama islam. (Qs. Ali Imran
(3:102)
· Bertaqwa,yang sebenar-benarnya taqwa,
yaitu dengan “melaksanakan
semua perintahnya (sesuai dengan kemampuanya), misalnya sholat tidak bisa dengan berdiri
bisa dengan duduk tidak bisa duduk bisa dengan tidur.
· Dan meninggalkan
semua larangannya (secara mutlak)”, maksudnya untuk meninggalkan larangan tidak ada alasan, misalnya
“belum mampu” meninggalkan kebiasaan minum minuman keras nanti aja, ya tidak
bisa gitu !!!
· Abu Hurairah r.a, menceritakan ia mendengar rasulullah saw sabda, : ” apa yang aku
larang kalian dari (mengerjakan)nya maka jauhilah ia, dan apa yang aku
perintahkan kalian untuk (melakukan)-nya maka lakukanlah sesuai dengan kemampuan kalian, .. “.(hr.Bukhari dan
Muslim).
· Apa yang
akan saya sampaikan bukan hal yang baru, karena risalah agama ya memang sudah
sempurna sampai rasululloh saw wafat,
· Dakwah
itu hanya berfungsi untuk fadzakkir innama anta mudzakkir;
hanya sekadar mengingatkan, memberitahukan dan mengabarkan tentang
firman-firman allah swt serta sunnah-sunnah rasululloh saw. (Al Ghosyiah
[88]:21)
·
Selebihnya, tergantung hati masing-masing,
apakah terbuka untuk hidayah atau mau menerima hidayah, dan ada dorongan untuk
taufiq (melaksanakan kebaikan) tersebut.
· Hari ini
kami mendapat amanat untuk menyampaikan “amar ma’ruf” menyeru kepada kebaikan,
ini sesuai dengan perintah allah ta’ala (QS. Ali Imran
104)
· Dan kata Rasululloh saw, ad daallu
‘alal khoiri kafaa ’illihi orang yang mengajak kebaikan mendapat pahala yang sama dengan
orang yang diajaknya /HR. Tirmizi)
·
Dan mudah-mudahan saya tidak
termasuk golongan yang diperingatkan allah ta’ala :
Ata/muruunan-naasa bilbirri watansawna
an-fusakum wa-antum
tat luunal kitaaba
Afalaa ta'qiluun
[2:44}. “mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian,
sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca al
kitab (taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?”
Asbabunnuzul
turunya ayat 44 surah al baqarah
ini, allah menegur, seorang yahudi yang menyuruh anak dan mantunya serta kaum
kerabatnya yang telah memeluk agama islam untuk melaksanakan kewajibannya,
tetapi dirinya sendiri tetap saja mengingkari... Ia menyuruh orang berbuat
baik/beramal sholeh, tetapi dirinya sendiri tidak melakukannya. Semoga kita tidak termasuk golongan yang
demikian ini.
· Dakwah
berfungsi untuk fadzakkir innama anta mudzakkir; hanya sekadar mengingatkan,
memberitahukan dan mengabarkan tentang firman-firman allah swt serta
sunnah-sunnah rasululloh saw.
· Selebihnya,
tergantung hati masing-masing, apakah terbuka untuk hidayah atau mau menerima
hidayah, dan ada dorongan untuk taufiq (melaksanakan kebaikan) tersebut.
Majelis Netizen Rohimatullah
· Surat
Al 'Ashr terdiri atas 3 ayat, termasuk golongan surat-surat Makkiyyah,
diturunkan sesudah surat Alam Nasyrah.
· Dinamai
Al 'Ashr (masa) diambil dari perkataan Al 'Ashr yang terdapat
pada ayat pertama surah ini.
· Isi
surah ini mengingatkan kepada Semua manusia bahwa berada dalam keadaan merugi
apabila dia tidak mengisi waktunya dengan perbuatan-perbuatan baik.
· Allah
SWT mengingatkan kepada kita manusia, dengan bersumpah “demi waktu” (wal ’asry)
menunjukkan begitu sangat pentingnya kita harus memperhatikan waktu.
· Kalau
ditanya diapakah yang paling jauh dengan kita, jawabannya adalah waktu, karena
waktu yg telah lewat tak bisa dijangkau lagi, demikian siapa yang paling dekat
dengan kita, juga waktu, karena waktu terus mendekat detik demi detik kepada
kita, kalau kita tidak pandai memanfaatkannya kita menjadi golongan yang akan
merugi. “innal insaana lafii khusrin” (Sesungguhnya manusia itu
benar-benar dalam kerugian)
· Dalam Kitab Tafsir Ibnu Katsir, menceritakan tentang ayat
ini, bahwa “Amr bin Al ‘Ash pernah
diutus untuk menemui Musailamah al
Kadzdazb, ini terjadi setelah Muhammad diangkat sebagai Rasululloh dan “amr
bin ‘Ash belum masuk Islam.
Musailamah al Kazddzab bertanya kepada ‘Amr bin ‘Ash, “Apa yang telah diturunkan kepada
Sahabatmu ini (Rasululloh) selama ini ?”
‘Amr bin ‘Ash menjawab : “telah diturunkan kepadanya satu surat ringkat namun sangat padat”
Dia (Musailamah) bertanya : “Surat apa itu ?”
‘Amr bin Ash menjawab : wal'ashri, innal-insaana lafii
khusrin, Illaaalladziina aamanuu wa'amiluush-shoolikhaati watawaa sawbil khaqqi watawaa sawbish-shobri
Musailamah
berpikir sejenak, kemudian berkata : “Dan
telah diturunkan pula hal serupa kepadaku”
‘Amr
bin Ash bertama : “apa itu ?”
Musailamah
menjawab (dengan maksud menghina firman Allah tsb ): “Yaa
wabriyaa wabr. Wa innamaa anta uzduunani wa shadr. Wa saa-iruka hafr naqr: (“hai
kelinci, hai kelinci, sesungguhnya kamu memiliki dua telinga dan satu dada, dan
semua jenismu suka membuat galian dan lubang).
Kemudian
ia bertanaya kepada ‘Amrs bin ‘Ash :
“bagaimana pendapatmu ?”
‘Amr
bin Ash berkata kepadanya : “ Demi Allah,
sesungguhnya aku tahu bahwa engkau telah berdusta”
Majelis Netizen Rohimatullah
· Dalam
surah Al_Ashr ayat 3 tersebut ada penegasan “kecuali”, pernyataan ini
menggambarkan ada kondisi sebaliknya pada pernyataan sebelumnya, yaitu “rugi”, apabila sesuai dengan yang dimaksud
pada pernyataan setelah kata “kecuali” tersebut, yaitu orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya
mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.
Yang Beriman/Aamannu
· Pengertian Iman, Secara
literal/etimologi berarti ‘percaya’. Pengertian ini Sabda Rasul ketika ditanya
seseorang yang tidak dikenal (dan ternyata adalah Jibril) bertanya kepada Rasul,
Maa al-Iman.. (apa itu iman) ? Jawab Rasul : antu’mina.. (kamu mempercai) …(HR muttafaq ’alaih). Hadis
ini menjelaskan bahwa iman itu adalah perbuatan hati.
· Secara terminologis,
iman berarti membenarkan sesuatu dalam
hati. mengucapkannya dengan lisan terhadap
yang dibenarkannya itu, dan melaksanakannya dengan anggota badan
terhadap yang telah diucapkannya itu.
· Pengertian
ini sesuai dengan batasan yang diberikan oleh Imam Abu Hasan al-Asy’ari, ”at-tashdiiqu bil-qolbi wa al-iqrooru bil-lisaani
wa al-’amalu bil-arkaan atau bi al-jawaariih (Iman adalah
membenarkan dalam hati, mengucapkannya dengan lisan, dan melaksanakannya dengan
amal perbuatan).
· Dengan
demikian, pengertian iman kepada Allah adalah membenarkan dengan hati bahwa
Allah itu benar-benar ada dengan segala sifat keagungan dan kesempurnaanNya,
kemudian pengakuan itu diikrarkan dengan lisan, serta dibuktikan dengan amal
perbuatan secara nyata.
· Jadi,
seseorang dapat dikatakan sebagai mukmin (orang yang beriman) sempurna apabila
memenuhi ketiga unsur keimanan di atas. Apabila seseorang mengakui dalam
hatinya tentang keberadaan Allah, tetapi tidak diikrarkan dengan lisan dan
dibuktikan dengan amal perbuatan, maka orang tersebut tidak dapat dikatakan
sebagai mukmin yang sempurna. Sebab, ketiga unsur keimanan tersebut merupakan
satu kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisahkan.
· Beriman
kepada Allah adalah hal yang sangat mendasar bagi seorang mukmin. Allah
memerintahkan agar ummat manusia beriman kepada-Nya, sebagaimana firman Allah SWT
:
yaa ayyuhaalladziina aamanuu aaminuu
bilaahi warosuulihi walkitaabilladzii nazzala 'alaa
rosuulihi walkitaabilladzii anzala min qoblu waman yakfur
bilaahi wamalaa-ikatihi wakutubihi warusulihi
walyawmil-aakhiri faqod dholla dholaalan ba'iidaa
[4:136] Wahai orang-orang yang beriman,
tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah
turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya.
Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya,
rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat
sejauh-jauhnya. [Q.S. An Nisa (4:
136)]
·
Ayat
di atas memberikan penjelasan bahwa bila kita ingkar kepada Allah, maka akan
mengalami kesesatan yang nyata. Orang yang sesat tidak akan merasakan
kebahagiaan dalam hidup. Oleh karena itu, beriman kepada Allah sesungguhnya
adalah untuk kebaikan manusia.
·
Setelah
membenarkan dengan hati, langkah iman selanjutnya adalah mengucapkan dengan lisan,
seperti yang diungkapkan dalam Surah An_Nuur
(24 :51) :
innamaa kaana qawla
lmu/miniina idzaa du'uu ilaallaahi warasuulihi liyahkuma
baynahum an yaquuluu sami'naa
wa-atho'naa waulaa-ika humu lmuflihuun
[24:51] Sesungguhnya jawaban orang-orang
mu'min, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum
(mengadili) di antara mereka1046
ialah ucapan. "Kami mendengar,
dan kami patuh". Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.
· Iqrar
seorang muslim terhadap ketentuan hukum syar’i, baik apa itu yang diperintahkan
maupun yang dilarang yang memiliki hujjah/dalil yang shaheh selalu akan
memposisikan dengan mengucapkan ”sami’naa wa atha’naa” (kami mendengar
dan kami patuh).
· Unsur
ketiga dari iman yang merupakan tindakan eksekusi dari apa yang diakui
kebenarannya dengan hati dan di iqrarkan dengan lisannya, kemudian melakukan
dengan perbuatan yang konkrit yang akan menunjukan keimanannya. Ia akan berbuat atas atas dasar aqidah
islamiyah seperti Iman Kepada Allah SWT, maka wujud konkrit perbuatan yang akan
dilakukan adalah akan melaksanakan semua perbuatan yang diperintahkan dan
menjauhi semua yang dilarang semata-mata karena Iman Kepada Allah SWT.
· Gambaran
orang yang beriman sebagaimana disabdakan oleh Rasululloh SAW : “laa yaznii az-zaanii hiina yaznii wahuwa mu’minun,
walaa yasyrabu al-khamra hiina yasyrabuhaa wa huwa mu’minun, walaa
yasriqu as-saariqu wahuwa mu’minun. Wa zaada fii riwayatin: walaa
yantahibu nuhbatan dzaata syarafin yarfa’u an-naasau ilaihi abshaarahum fiihaa
hiina yantahibuhaa wahuwa mu’minun (Tidak
akan berzina seorang pelacur di waktu berzina jika ia sedang beriman. Dan tidak
akan minum khamar, di waktu minum jika ia sedang beriman. Dan tidak akan
mencuri, di waktu mencuri jika ia sedang beriman. Di lain riwayat: Dan
tidakakan merampas rampasan yang berharga sehingga orang-orang membelalakkan
mata kepadanya, ketika merampas jika ia sedang beriman (HR. Muttafaq
’alaih).
· Contoh
konkrit dalam kehidupan sehari-hari bagaimana mewujudkan keimanan ini dengan
ketiga unsure iman tersebut. Misal, kita bekerja mendapat amanat untuk melayani
masyarakat/customer (mulai tingkatan pengusaha, masyarakat menengah sampai
masyarakat biasa), kita mempercayai dalam hatinya bahwa Allah itu ada. Ia
membenarkan bahwa Allah SWT memerintahkan supaya berlaku jujur, rendah hati,
dan bersikap ramah kepada siapapun tanpa melihat status orang yang dilayani,
karena derajat seseorang dihadapan Allah ditentukan oleh derajat
ketaqwaannya.
· Kemudian
lisannya membenarkannya pula dengan mengucap ‘sami’na wa atha’na ha’za al-amr’ (aku mendengar dan aku taat terhadap perintah ini). Kemudian apa yang sudah diyakini kebenarannya
dalam hati dan diikrarkan dengan lisan untuk dilaksanakan, maka dieksekusi
dalam perbuatan, maka kita termotivasi untuk memberikan pelayanan terbaik
kepada customer/masyarakat tersebut karena dilandasi semata-mata agar mendapat
keridoan Allah dan dicatat sebagai ibadah.
· Subhanalloh
! begitu indah tuntunan Islam bagi yang beriman. (kalau kenyataan dalam keseharian masih banyak pemegang amanat dinegeri
ini tidak saja kurang ramah, malah juga tidak jujur dengan apa yang diamanati
bahkan termasuk mengkorupsi, yah itu harus terus diperbaiki keimanannya)
Peranan Akal dalam Masalah
Keimanan
· Akal
manusia memiliki kemampuan untuk membuktikan sesatu diluar jangkauan
keinderaannya, jika ada sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk atas keberadaan
hal tersebut. Misal, kemampuan suku
Indian (seperti dalam film) mampu mendeteksi arah manusia atau hewan yang
diburu yang sudah jauh meninggalkannya, dari jejak yang ditinggalkan.
· Sama
halnya kalau kita bertanya kepada orang muslim awam, “bagaimana engkau mengenal Rabbmu ?” tentu jawabnya sederhana “bumi, langit dan isinya menunjukan bahwa
ada Yang Maha Kuasa”?
· Ayat-ayat
Al Qur’an adalah bukti eksistensi Allah SWT, tentang adanya Sang Pencipta,
dengan cara mengajak manusia memperhatikan makhluk-makhluk-Nya. Sebab, kalau
akal diajak untuk mencari Dzat-Nya, maka tentu saja akal tidak mampu
menjangkaunya, seperti firman-Nya [Al-Jaatsiyat (45:3-4)] :
inna fiissamaawaati wal-ardhi
laa-ayaatin lilmu/miniin
[45:3] Sesungguhnya pada langit dan
bumi benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) untuk orang-orang yang
beriman.
wafii kholqikum wamaa yabutstsu min daabbatin aayaatun liqowmin
yuuqinuun
[45:4] Dan pada penciptakan kamu dan
pada binatang-binatang yang melata yang bertebaran (di muka bumi) terdapat
tanda-tanda (kekuasaan Allah) untuk kaum yang meyakini.
·
Karena
keterbatasan akal dalam berfikir, Islam melarang manusia untuk berfikir
langsung tentang Dzat Allah, karena Dzat Allah sudah berada diluar kemampuan
akal untuk menjangkaunya. Selain itu juga karena manusia mempunyai
kecenderungan (bila ia hanya menduga-duga tanpa memiliki acuan kepastian)
menyerupakan Allah SWT dengan suatu makhluk. Dalam hal ini Rasulullah bersabda : “Berfikirlah kamu tentang makhluk Allah
tetapi jangan kamu fikirkan tentang Dzat Allah. Sebab, kamu tidak akan sanggup
mengira- ngira tentang hakikatnya yang sebenarnya.” (HR. Abu Nu’im
dalam Al-Hidayah).
·
Akal
manusia yang terbatas tidak akan mampu membuat khayalan tentang Dzat Allah yang
sebenarnya; bagaimana Allah melihat, mendengar, berbicara, bersemayam di atas
Arsy-Nya, dan seterusnya. Sebab, Dzat Allah bukanlah materi yang bisa diukur
atau dianalisa. Ia tidak dapat dikiaskan dengan materi apapun, keberadaan Allah
SWT hanya harus diyakini dengan iman.
Hubungan Antara ‘Aqidah dan Iman
·
Secara
literal/etimologi ‘aqidah adalah ‘ikatan’, atau “bundelan” (Bhs Jawa). ‘Aqidah merupakan ‘sesuatu’ yang
berada di luar diri manusia. Ketika kata ‘aqidah’ dirangkai
dengan kata ‘Islam’, menjadi ‘aqidah Islam’, secara praktis berarti bahwa Islam
sebagai sebuah ikatan yang mengikat kita yang mengaku beragama Islam. Wujud ‘aqidah Islam adalah wahyu yang
konkritnya adalah al-Qur’an al-Kariim dan as-Sunnah ash-shahihah
al-maqbuulah, (sunnah yang shahih dan dapat diterima sebagai dasar
beragama) dan mengikat kita yang mengaku beragama Islam.
·
Iman adalah aktifitas batin
dari diri manusia, posisi ‘aqidah merupakan sesuatu yang
bersifat pasif dan berada di luar diri manusia, ‘aqidah merupakan
sesuatu yang diyakini/dipercayai oleh hati. Dalam keadaan demikian ini, dengan
sarana hati kita mengikatkan diri kepada ‘aqidah (al-Qur’an dan as-Sunnah
ash-shahihah al-maqbulah).
·
Aqidah
Islamiyah adalah iman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para
rasul-Nya, hari akhir, kepada qadla dan qadar baik-buruk keduanya dari Allah,
sebagaimana difirmankan Allah SWT pada Surah
An_Nisaa (4:136) tersebut. Sedangkan makna iman adalah pembenaran yang
bersifat pasti (tashdiiqul jazm), yang sesuai dengan kenyataan, yang muncul dari
adanya dalil/bukti.
·
Bersifat
pasti (tashdiiqul jazm), artinya seratus persen kebenaran/keyakinannya
tanpa ada keraguan sedikitpun. Sesuai dengan fakta artinya hal yang diimani
tersebut memang benar adanya dan sesuai dengan fakta, bukan diada-adakan (mis.
keberadaan Allah, kebenaran Quran, wujud malaikat dll). Muncul dari suatu dalil
artinya keimanan tersebut memiliki hujjah/dalil tertentu, tanpa dalil yang
mendasrinya sebenarnya tidak akan ada pembenaran yang bersifat pasti .
·
Suatu
dalil untuk masalah iman, ada kalanya bersifat aqli dan atau naqli,
tergantung perkara yang diimani. Jika perkara itu masih dalam jangkauan
panca indra/akal, maka dalil keimanannya bersifat aqli, tetapi jika tidak
(yaitu di luar jangkauan panca indra), maka ia didasarkan pada dalil naqli.
·
Hanya
saja perlu diingat bahwa penentuan sumber suatu dalil naqli juga ditetapkan
dengan jalan aqli. Artinya, penentuan sumber dalil naqli tersebut dilakukan
melalui penyelidikan untuk menentukan mana yang boleh dan mana yang tidak boleh
dijadikan sebagai sumber dalil naqli. Oleh karena itu, semua dalil tentang
aqidah pada dasarnya disandarkan pada metode aqliyah.
·
Dalam
hal ini, Imam Syafi’i berkata: “Ketahuilah bahwa kewajiban pertama bagi seorang
mukallaf (seseorang muslim yang telah dikenai keberlakuan syariat Islam, baliq
dan sehat akal) adalah berfikir dan mencari dalil untuk ma’rifat (meningkatkan
jenjang penyerahan diri) kepada Allah Ta’ala. Arti berfikir adalah melakukan
penalaran dan perenungan kalbu dalam kondisi orang yang berfikir tersebut
dituntut untuk ma’rifat kepada Allah. Dengan cara seperti itu, ia bisa sampai
kepada ma’rifat terhadap hal-hal yang ghaib dari pengamatannya dengan indra dan
ini merupakan suatu keharusan. Hal ini seperti merupakan suatu kewajiban dalam
bidang ushuluddin.” (Fiqhul Akbar, Imam Syafi’i hal. 16)
·
Hubungan
antara iman dan ‘aqidah, secara kejiwaan, saling
mempengaruhi dan bergerak seirama dengan fluktuasi keimanan. Kondisi Iman
kadang tebal dan kadang menepis, atau keimanannya kadang timbul dan kadang tenggelam
dalam diri seorang muslim. Saat imannya
timbul atau menebal, berarti saat itu ikatan aqidah mempengaruhi kuat terhadap dirinya, sebakliknya, saat imannya
tenggelam atau tipis, maka itu berarti ikatan aqidah mengendor.
·
Dalam
‘aqidah’ ada kandungan yang bersifat ‘punishment’,
apabila apa yang dilarang dilakukannya, dan ‘reward’ apabila melakukan apa yang
diperintahkan. Dalam posisi imanya lagi menebal, berarti fungsi ancaman tersebut
amat kuat mempengaruhi dirinya, dan harapan untuk mendapatkan apa yang
dijanikan juga sangat besar. Atau ketika
iman menebal, ikatan ‘aqidah’ juga menguat.
·
Dalam
posisi kandungan fungsi ancaman atau ‘punishment’ menipis/lemah atau tdk
ditakuti dan fungsi ‘reward’ tetap diinginkan (sudah sifat manusia). Dalam
posisi demikian maka derajat keimanan seseorang menipis/turun atau
tenggelam. Atau Ketika iman menipis,
ikatan ‘aqidah’ mengendor.
·
Ketika
iman hilang, ikatan ‘aqidah juga hilang, dalam posisi yang demikian,
Allah SWT mengingatkan dengan keras kepada manusia yang telah kehilangan
imannya, Firman Allah SWT dalam Al_Qur’anul Karim Surah Yassin (36:69-61):
alam a'had ilaykum yaa banii aadama an laa
ta'buduusysyaythoona innahu
lakum 'aduwwun mubiin
[36:60] Bukankah Aku telah memerintahkan
kepadamu hai Bani Adam supaya kamu tidak menyembah syaitan? Sesungguhnya
syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu",
wa-ani u'buduunii haadzaa shiroothun
mustaqiim
[36:61] dan hendaklah kamu menyembah-Ku.
Inilah jalan yang lurus.
‘Aqidah Islamiyah.
·
Akidah Islamiyyah adalah keimanan
yang teguh dan bersifat pasti kepada Allah dengan segala pelaksanaan kewajiban,
bertauhid dan taat kepada-Nya, ber iman kepada Allah, kepada Malaikat, kepada Kitab-kitab, kepada
Rasullullah, kepada Yaumil akhir, Takdir baik & buruk /Qodho-qodhar ( Man Amanna Billahi, Wal Malaaikatihi, Wakutubihi, Wa
Rasullihi, Wal Yaumil Akhiri, Wassabihi Ajma’in )
·
Dengan kata lain, keimanan yang pasti tidak
terkandung suatu keraguan apapun dengan apa yang diyakini, sesuai dengan
kenyataannya; yang tidak menerima keraguan atau prasangka. Jika hal tersebut
tidak sampai pada tingkat keyakinan yang kokoh, maka tidak dinamakan aqidah.
Dinamakan aqidah, karena orang itu mengikat hatinya diatas hal tersebut.
·
Seorang mukmin harus menetapi akidahnya dalam beribadah untuk menjadi seorang muslim dan mukmin yang
kaffah. Hendaknya Istiqomah menjaga keimanan kepada Allah.
·
Istiqomah,
adalah teguh pendirian dalam tauhid
dan tetap beramal yang saleh. Dalam QS. Al (46: 13-14), Allah SWT
menggambarkan suasana bathin orang yang istiqomah dengan keimanannya
serta balasannya dari Allah SWT :
innalladziina qaaluu
rabbunaallaahu tsumma istaqaamuu falaa khawfun 'alayhim walaa
hum yahzanuun
[46:13] Sesungguhnya orang-orang yang
mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah", kemudian mereka tetap istiqamah
maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka
cita.
ulaa-ika ash-haabu ljannati khaalidiina fiihaa jazaa-an bimaa kaanuu ya'maluun
[46:14] Mereka itulah penghuni-penghuni
surga, mereka kekal di dalamnya; sebagai balasan atas apa yang telah mereka
kerjakan.
Tauhid Ar_Rububiyyah dan
Al_Ulluhiyyah.
·
Setelah berikrar dengan mengucap syahadat
tauhid dan shahadat rosul, dengan membaca dua kalimah syahadat tersebut,
seseorang telah berhijrah dari alam
kafirun kepada alam muslimun-mukminun. Pengakuan terhadap keesaan Allah sebagai satu-satunya Tuhan mengandung
kesempurnaan keimanan kepadaNya, dan katauhidannya terhadap Ke-Esaan Allah SWT,
baik Tauhid Ar_Rububuiyyah, Tauhid
Al_Uluhiyyah, maupun Tauhid Al_Asma’ was
Sifat.
·
Tauhid Ar-Rububiyyah,
meng-Esakan Allah dalam perbuatan-Nya, yakni mengimani dan meyakini bahwa hanya
Allah yang mencipta, menguasai dan mengatur alam semesta ini. Bahwa hanya Dzat yang bernama ALLAH saja yang menciptakan dan memelihara
dan menguasai alam semesta berikut isinya ini.
·
Tauhid Al-Uluhiyyah,
meng-Esakan Allah dalam ibadah, yakni beribadah hanya kepada Allah dan
karena-Nya semata. Ini sebagai konsekunsi dari Tauhid
Ar_ Rububiyyah, karena hanya Dzat Allah yang menciptakan alam beserta isinya
ini, maka hanya Allah lah yang patut disembah dan dimohon ampunan dan
pertolongannya. Maka komitmen yang dibangun adalah : iyyaaka na’budu/hanya
kepada Engkau kami menyembah); wa iyyaka nasta’in/dan
hanya kepada Engkau kami minta pertolongan (QS. Al-Fatihah (1:5)
·
Tauhid Al-Asma' was-Sifat, meng-Esakan Allah dalam Asma dan Sifat-Nya,
artinya mengimani bahwa tidak ada makhluk yang serupa dengan Allah, dalam dzat,
asma maupun sifat.
·
Penegasan Tauhid Ulluhiyyah dan Rububiyyah
ini seperti yang ada dalam ayat-ayat Al_Qur’an seperti pada Surah Al_An’aam
(6:101-102):
badii'ussamaawaati wal-ardhi
annaa yakuunu lahu waladun
walam takun lahu shaahibatun
wakhalaqa kulla syay-in wahuwa bikulli syay-in 'aliim
[6:101] Dia
Pencipta langit dan bumi. Bagaimana Dia mempunyai anak padahal Dia tidak
mempunyai isteri. Dia menciptakan segala sesuatu; dan Dia mengetahui segala
sesuatu.
dzaalikumullaahu rabbukum laa ilaaha illaa huwa
khaaliqu kulli syay-in
fa'buduuhu wahuwa 'alaa kulli
syay-in wakiil
[6:102] (Yang
memiliki sifat-sifat yang) demikian itu ialah Allah Tuhan kamu; tidak ada Tuhan
selain Dia; Pencipta segala sesuatu, maka sembahlah Dia; dan Dia adalah
Pemelihara segala sesuatu.
· Suatu keyakinan yang hanya tertuju kepada Allah SWT, baik sifat Rububiyah dan uluhiyahnya, maka kita
akan terhindar dari perbuatan syirik,
perbuatan yang masih menggantungkan pertolongan atau beriman selain kepada
Allah SWT.
· Dan
perbuatan syirik ini merupakan perbuatan yang sangat dilaknat oleh Allah SWT.sebagaimana
Firman-Nya QS. An-Nisaa’ (4:48) :
innallaaha laa
yaghfiru an yusyraka bihi wayaghfiru maa
duuna dzaalika liman yasyaau waman yusyrik bilaahi faqadi iftaraa itsman 'azhiimaa
[4:48] Sesungguhnya Allah tidak akan
mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari
(syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan
Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.
· Tauhid uluhiyah, yaitu tauhid
ibadah, karena ‘ilah’ maknanya adalah
‘ma'bud‘ (yang disembah). Maka tidak
ada yang diseru dalam do'a kecuali Allah, tidak ada yang dimintai pertolongan
kecuali Dia, tidak ada yang boleh dijadikan tempat bergantung kecuali Dia,
tidak boleh menyembelih kurban atau bernadzar kecuali untukNya, dan tidak boleh
mengarahkan seluruh ibadah kecuali untukNya dan karenaNya semata.
yaa ayyuhaa nnaasu u'buduu rabbakumulladzii khalaqakum walladziina min qablikum la'allakum
tattaquun
[2:21] Hai manusia, sembahlah Tuhanmu
yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa, [QS.
Al-Baqarah (2:21)]
allaahu laa ilaaha illaa huwal hayyul qoyyuum
[3:2] Allah, tidak ada Tuhan (yang
berhak disembah) melainkan Dia. Yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus
makhluk-Nya181. ((Maksudnya: Allah
mengatur langit dan bumi serta seisinya.)
QS. Ali-‘Imraan (3:2)
wamaa khalaqtu ljinna wal-insa illaa liya'buduun
[51:56] Dan aku tidak menciptakan jin
dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. [QS.
Adz-Dzariyat (51 : 56)
· Sedang, tauhid rububiyah adalah bukti wajibnya
tauhid uluhiyah . Makanya, tauhid uluhiyah itu merupakan hasil dari keyakinan
seseorang akan tauhid Rububiyah.
dzaalikumullaahu rabbukum laa ilaaha illaa huwa
khaaliqu kulli syay-in
fa'buduuhu wahuwa 'alaa kulli
syay-in wakiil
[6:102] (Yang memiliki sifat-sifat yang)
demikian itu ialah Allah Tuhan kamu; tidak ada Tuhan selain Dia; Pencipta
segala sesuatu, maka sembahlah Dia; dan Dia adalah Pemelihara segala sesuatu. [QS.
Al-An'am (6:102)]
· Memang
seseorang sudah memiliki keyakinan terhadap Tuhan sebagai Sang Pencipta (Rububiyyah).
Tetapi dengan pertanyaan, “Siapa yang memberi rezeki kepadamu?” Di sini tauhid Rububiyah diuji,
apakah juga meyakini bahwa, hakikatnya yang mengurus kita adalah Allah swt.
· Nah, kenapa masih ada orang menjadikan pekerjaannya sebagai
Ilaah/Tuhan? Kenapa orang menjadikan uang sebagai Ilaah/Tuhan? Itu karena ia lemah
pada Rububiyahnya. Dia kira, dia dapat rezeki dari semata-mata karena dia
bekerja. Dari sini kita tahu betapa pemantapan tauhid Rububiyah menjadi penting
sekali. Karena Rububiyah ini menyangkut tauhid al-af’al.
· Rububiyyah adalah aspek-aspek Allah sebagai Rabb yang terjabar pada al-Akwan
(Alam Semesta) dan al-Kitab. Hukum-hukum yang terlaksana di alam semesta (makro
kosmos) maupun alam manusia (mikro kosmos, secara fisik) merupakan penjabaran
Rububiyyah Allah.
QS. Al_Fatihah (1.2)
alhamdulillaahirabbil'aalamiin
QS.
An Naas (114:1),
qul a'uudzu birabbi nnaas
[114:1] Katakanlah: "Aku berlidung
kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia.
· Rabb (Tuhan)
diterjemahkan Tuhan yang ditaati Yang
Maha Mengatur, Yang Maha Memiliki, Yang Maha Mendidik dan Yang Maha Memelihara.
Kata
"Rabb" atau "Rabbi" atau "Robbuna" hanya
dinisbahkan/dikaitkan kepada Allah.
· "Alhamdu
lillahi rabbil ‘alamiin" (segala puji milik Allah, Rabb
seluruh semesta alam), rabb di sana diterjemahkan sebagai Pengatur, Pemelihara
dan Penguasa. Sesuatu dikatakan pengatur kalau memiliki aturan. Kepengaturan
Allah di alam semesta selanjutnya diistilahkan sebagai Rubbubiyah Allah
QS. Yusuf
(12:40)
maa ta'buduuna min duunihi illaa asmaa-an
sammaytumuuhaa antum waaabaaukum maa
anzalallaahu bihaa min sulthaanin inilhukmu
illaa lillaahi amarallaa ta'buduu illaa
iyyaahu dzaalikaddiinulqayyimu walaakinna
aktsara nnaasi laa ya'lamuun
[12:40] Kamu tidak menyembah yang selain
Allah kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu
membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun tentang nama-nama
itu. Keputusan itu hanyalah kepunyaan
Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah
agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui."
· Ketika Nabi Musa bersama kaumnya dalam kondisi terjepit sewaktu
di kejar Fir’aun dan pengikutnya, karena di depan ada laut. Kaumnya berkata, “Musa, kita tak akan selamat”. Jawab
Nabi Musa, “Tidak, kita tak akan bisa
terkejar, karena kita punya Tuhan”. Makanya di ayat itu kalimatnya, Inna
ma’ya Rabbi, bukan inna ma’iya Ilaahi.
Dalam kasus ini, pengikut Musa as. Bukan tidak percaya adanya Allah swt,
Sebagai Ilaah dia percaya, tetapi sebagai Rabb dia lemah.
Lemahnya keyakinan terhadap Allah swt sebagai Rabb ini yang
membuat orang yang beribadah, tetapi kadang masih meminta pertolongan kepada
selain Allah, serta mengeluh kepada Allah,. “Ya
Allah swt, saya menyembah-Mu tetapi kenapa saya masih susah?”
Nah ini khan karena ia tak memiliki kesadaran bahwa Allah swt,
selain Yang Maha Disembah (Ilaah), juga Yang Memelihara Hidup (Rabb). Apapun
yang diberikan Allah SWT, tentu Allah yang Maha Tahu apa yang ada dibalik itu
semua. Banyak manusia tidak kuat godaan,
akhirnya menita pertolongan kepada yang lain selain Allah Ta’ala.
Kesatuan tauhid rubbubiyah dan
ikhtiyar, menghasilkan tawakkal
· Harus ada
kesatuan antara keyakinan Rububiyah dengan usaha manusia, kesatuan ini terdapat
pada usaha untuk mendudukkan secara proporsional, antara usaha dan hasil. Hidup ini menjadi susah, karena kita ikut-ikut
mengurusi hasil dari usaha yang kita lakukan. Padahal wilayah kita di usaha
itu. Inilah konsep tawakkal di Islam.
· Sebuah
riwayat, seorang sahabat yang membawa kuda bertanya kepada Rasululloh saw, “Ya Rasul, apakah saya harus mengikat kuda
ini atau saya tawakkal saja?”, Kemudian Rasululloh berkata i’qil fatawakkal
‘ala Allah swt (ikatlah, baru tawakkal kepada Allah swt).
· Di sini
terlihat bahwa tawakkal itu ada di titik terakhir, ketika ia ingin menguatkan
tauhid Rububiyah. Ketika kita tawakkal, apapun usaha kita, itu adalah kewajiban
kita sebagai manusia, mrngrnai hasilnya kita kembalikan kepada Allah swt.
Demikian seseorang bisa memposisikan Allah swt sebagai Rabb.
Formula 3i
· Maka dari
itu, untuk mencapai tauhid Rububiyah haruslah dilakukan ‘3i’ sebagai wilayah
manusia,
- dimulai
dengan ikhtiyar/berusaha,
- lalu
kemudian ijtihad/profesionalitas dalam bidang yang dikerjakan,
- serta ihtiyath/hati-hati
agar usahanya tak menghalalkan segala cara.
· Nah
ketika manusia sudah ikhtiyar, ijtihad, dan ihtiyath,
pasti ia berharap mendapatkan hasil sesuai dengan apa yang diinginkan? Di
sinilah titik tawakkal berada. Pada titik ini
tawakkal menyatu dengan tauhid Rububiyah.
· Keduanya
(Uluhiyah dan Rubbubiyah) ternyata saling mensyaratkan; keyakinan kita kepada
Allah swt yang patut disembah (ululhiyah), harus dibarengi dengan keyakinan
bahwa Allah swt-lah yang mengatur, mengurusi, dan membimbing segenap praktik
hidup, mulai dari soal rezeki, karir, jodoh, nasib, cita-cita, dsb.
(Rubbubiyah). Kesatuan dalam ketauhidan Rubbubuyah dan ulluhiyah ini yang
menjadikan seseorang tenang dalam hidupnya.
Keduanya saling mensyaratkan
· Tauhid Uluhiyah
dan Rubbubiyah ternyata saling mensyaratkan; keyakinan kita kepada Allah swt
yang patut disembah (ululhiyah), harus dibarengi dengan keyakinan bahwa Allah
swt-lah yang mengatur, mengurusi, dan membimbing segenap praktik hidup, mulai
dari soal rezeki, karir, jodoh, nasib, cita-cita, dsb. (Rubbubiyah).
· Kesatuan
dalam ketauhidan Rubbubuyah dan ulluhiyah ini yang menjadikan seseorang tenang
dalam hidupnya.
Bila kedua tauhid, terpisah
· Seorang
muslim taat dalam ibdahnya (ya sholat, zakat, puasa, atau bahkan sudah haji),
tetapi ketika ia lebih takut urusan duniawinya (dalam aktivitasnya tidak
mengikutsertakan keberadaan Allah swt, tidak mengapresiasi adanya surga dan
neraka), ia bisa dikatakan lebih men-tuhankan duniawinya seperti harta,
jabatan, karier, dll.
· Maka,
segenap ibadah Ilahiyah kehilangan makna, sehingga ketika yang diinginkan tidak
tercapai, ia mengeluh ; “Ah, ternyata aku sholat, puasa, zakat,
bahkan sudah haji, hasilnya ya begini-begini saja.”. Padahal, orang tak bisa menentukan dirinya
sendiri, karena yang menentukan adalah Allah swt. Yang bisa dilakukan adalah ‘3i’
tadi (ikhtiyar,
ijtihad, ikhtiyath).
· Jadi
kalau ada orang miskin kok susah, itu bukan karena kemiskinannya, tetapi karena
Rabb nya telah hilang dari dirinya, karena orang yang beriman, akan memiliki
keyakinan bahwa Allah SWT menyayangi dengan caranya sendiri. Demikian juga kalau ada orang kaya merasa
bahagia, itu pasti bukan karena hartanya, tetapi karena Rabb ada dalam dirinya,
karena banyak juga orang kaya yang hidupnya gelisah, takut jatuh miskin, takut
dirampok dll.
· Orang
demikian ini, telah kehilangan tauhid uluhiyah-nya, karena dalam praktik
sehari-hari ia tak memiliki tauhid Rububiyah.
Dengan kata lain, pada level syar’i, ketika seorang muslim mengikrarkan
diri beriman kepada Allah Swt. namun dalam praktek hidupnya tak sesuai dengan syariat Allah swt, dan
mencabangkan Allah SWT dengan ilah-ilah
yang lain, maka ia belum disebut beriman dan bertauhid.
· Dalam hal
ini, Allah swt mengingatkan seperti firmannya dalam Kitabulloh :
QS. Yassiin (36:74) :
Wattakhodzuu min duu nillahi
aalihatal la’al lahum yunshoruun.
[36:74] Mereka mengambil
sembahan-sembahan selain Allah agar mereka mendapat pertolongan.
· Sedang
tanda-tanda orang yang beriman (imannya kuat) seperti yang di sampaikan Allah
SWT dalam Firmannya :
innamal-mu’minuunal-laziina izaa zukirallaahu wajilat quluubuhum wa-izaa
tuliyat-alaihim aayaatuhuu zaadathum imaanaw wa’ala robbihim yatawakkaluun
[8:2]
Sesungguhnya orang-orang yang beriman[594] ialah mereka yang bila disebut nama allah[595] gemetarlah hati mereka,
dan apabila dibacakan ayat-ayatnya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan
hanya kepada tuhanlah mereka bertawakkal
· Penuhanan
Allah SWT pada level batin dan ibadah ritual, haruslah dibuktikan dengan
penuhanan Allah swt, melalui jalan hidup yang sesuai dengan syari’at-Nya,
maksudnya ibadah ritualnya berimplikasi dalam kehidupan sosialnya. Yang demikian itulah beriman secara kaffah,
secara totalitas, yaitu meyakini dalam hati, membenarkan dengan ucapan dan
melaksanakan dalam perbuatan.
Waloohu a’lam
bishowab
Demikian yang saya sampaikan
bila itu kebenaran, merupakan kebenaran yang datangnya dari allah semata,
karena sifat-nya yang al haaq/yang maha benar,
Kalau ada salahnya, itulah
kesalahan saya sebagai manusia,
Yang sifatnya memang deket
dengan kekhilafan
Seperti kata pepatah arab :
“al
insaanu makhallul khoto wan nisyaan”.
ﺳُﺒْﺤَﺎﻧَﻚَ
ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﻭَﺑِﺤَﻤْﺪِﻙَ ﺃَﺷْﻬَﺪُ ﺃَﻥْ ﻻَ ﺇِﻟﻪَ ﺇِﻻَّ ﺃَﻧْﺖَ ﺃَﺳْﺘَﻐْﻔِﺮُﻙَ
ﻭَﺃَﺗُﻮْﺏُ ﺇِﻟَﻴْﻚ
Subhanakallahumma
wabihamdika
Asyhadualla ilahailla
anta
Astagfiruka wa’atubu
ilaik
“maha suci engkau ya allah, dengan memuji-mu aku bersaksi bahwa
tiada sesembahan yang haq disembah melainkan diri-mu, aku memohon
pengampunan-mu dan bertaubat kepada-mu.”
(hr.
Tirmidzi, shahih).
Nas-alullah
as-salamah wal ‘afiyah/
Hanya kepada allah kita mohon keselamatan.
Wallahu
waliyyut taufiq was sadaad.
Wassalamu’alaikum
warahmatulloohi wabarokatuh
Ya Rabb,
“Allaahumma
innii as’aluka ta’jiila ‘aafiyatika
wa sabron
‘alaa baliyyatika
wa khuruujan
minad dunyaa ilaa rohmatika”
“Ya Allah,
aku memohon
kepada-Mu agar disegerakan curahan keselamatan dari sisi-Mu kepadaku, diberikan
kesabaran dalam menghadapi cobaan-Mu,
dan diberikan
jalan keluar dari dunia menuju kepada kasih sayang-Mu”
(H.R. Hakim)
Amien.
Ya Rabb
!!
“Allahumma yaa muqollibal quluubi sabbit qalbii ‘ala diinika” /
“Ya Allah, wahai Tuhan yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah
hatiku pada agama-Mu. (H.R.
Tirmizi)”
“Allaahumma innii a’uuzubika min fitnatin naari, wa ‘azaabin
naari, wa min fitnatil qabri, wa ‘azaabil qabri,wa min syarri fitnatil ginaa, wa
min syarri fitnatil faqri, wa min syarri al-masiihid dajjaali” /
“Ya Allah, sungguh aku mohon perlindungan kepada-Mu dari bencana
api neraka, siksa neraka, bencana kubur, dan siksa kubur. Aku berlindung
kepada-Mu dari kejelekan ujian atas kekayaan, dari kejelekan ujian atas
kefakiran, serta dari kejahatan dajjal.
(H.R.
Tirmizi)”
********
0 komentar:
Posting Komentar